Thursday 31 December 2009

TREASURE HUNTER : Balapan Perburuan Harta Karun

Storyline:
Novelis muda, Lan Ting lewat suatu inspirasi bertekad menulis novel tentang pencarian harta karun yang pernah diceritakan ayahnya. The Company merupakan suatu sindikat yang mengawali perburuan tersebut melalui selembar peta yang dimiliki Boss Tu yang menyerahkannya pada asistennya, Qiao Fei. Pada saat bersamaan, putri tunggal Boss Tu, Ting Ting diculik oleh seterunya. Selama petualangan berlangsung, Qiao Fei dan Lan Ting bersama arkeolog, Hua Ding Bang menemui banyak rintangan. Belum lagi tantangan terbesar dari Desert Eagle yang muncul. Siapa yang akhirnya mendapatkan harta karun tersebut?

Nice-to-know:
Diproduksi oleh Chang-Hong Channel Film & Video Co. dan Yen Ping Films Production.

Cast:
Terakhir tampil dalam Kungfu Dunk, Jay Chou sebagai Qiao Fei
Baru saja sukses mendukung dwilogi Red Cliff, Lin Chiling sebagai Lan Ting
Eric Tsang sebagai Chop
Chen Daoming sebagai Master Hua

Director:
Chu Yen Ping merupakan salah satu sutradara kawakan Hongkong yang mengawali karirnya lewat Shi da wang pai (1982).

Comment:
Antusiasme awal melihat 3 nama sebagai daya tariknya mulai dari Jay Chou dan Lin Chiling beserta sutradara Kevin Chu mendadak sirna setelah setengah jam berlalu. Plotnya merupakan campur aduk yang sangat tidak orisinil, comotan sana sini dari Indiana Jones ataupun The Mummy yang Hollywood style dikonversikan ke nuansa Asia. Bahkan latar belakang padang pasir dan bangunan tersembunyi di bawahnya juga lengkap tersaji! Oh well..
Mood menonton yang langsung drop semakin hilang ketika Jay dan Lin yang diharuskan membangun chemistry malah terasa berakting sendiri-sendiri. Satu persatu karakter datang dan pergi tanpa andil merekonstruksi bangunan cerita yang ingin dihadirkan termasuk beragam tokoh antagonis yang pada akhirnya dikalahkan dengan mudahnya. Sayang sekali Chen Daoming dan Eric Tsang yang sudah senior menyia-nyiakan bakat mereka dengan bermain disini.
Sutradara Kevin harusnya realistis pada kemampuan terbatasnya mengarahkan komedi modern masa kini saja seperti yang sudah dilakukannya sebelum ini bersama Jay lewat Kungfu Dunk (2008) yang jauh lebih berhasil itu. Konflik yang ingin dihadirkannya terasa berputar-putar saja dan tidak benar-benar menjadi permasalahan yang harus diselesaikan pada akhirnya. The Treasure Hunter merupakan salah satu contoh adaptasi Hongkong yang gagal yang menghasilkan tontonan tidak berisi dan hanya akan membuat penonton menangis karena mencoba bertahan menyaksikannya hingga durasi berakhir dengan harapan menemukan ending yang memuaskan.

Durasi:
105 menit

Overall:
6 out of 10

Movie-meter:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent

Wednesday 30 December 2009

UNDER THE MOUNTAIN : Saudara Kembar Penguasa Batu Api

Tagline:
Believe In The Power Of Two

Storyline:
Theo dan Rachel adalah saudara kembar yang hidup di pinggir New Zealand. Sekembali dari sekolah pada suatu hari, mereka mendapati ibunya meninggal dalam kecelakaan mobil yang menyebabkan mereka dikirim terpisah ke sanak saudaranya. Meski berjauhan keduanya memiliki telepati yang kuat satu sama lain. Tidak lama kemudian muncullah pria misterius bernama Mr. Jones yang memberi Rachel dan Theo batu berkekuatan api yang hanya bisa digunakan jika mereka saling percaya. Waktu tidak banyak karena sekelompok gargantua yang ingin menguasai bumi mengincar nyawa si kembar itu yang mampu menghalangi rencana jahat mereka itu.

Nice-to-know:
Remake dari film berjudul sama di tahun 1982.

Cast:
Aktor senior Sam Neill yang paling dikenal lewat Jurassic Park (1993) kali ini berperan sebagai Mr. Jones
Sophie McBride sebagai Rachel
Tom Cameron sebagai Theo

Director:
Baru karya kedua bagi Jonathan King sejauh ini setelah Black Sheep (2006).

Comment:
Film-film di luar Amerika pada khususnya sulit mendapat perhatian dari pecinta film dunia, apalagi dari Australia/Selandia Baru. Namun nama Sam Neill bisa menjadi pertimbangan sendiri bagi anda untuk menyaksikan film ini. Neill tergolong sukses memandu dua bintang cilik McBride dan Cameron untuk tidak canggung di depan kamera.
Sentralisasi memang ditekankan pada kakak beradik Rachel dan Theo dalam menemukan kepercayaan dirinya sendiri terhadap hubungan lahir batin kembarannya satu sama lain untuk mengalahkan monster-monster mengerikan yang bertekad menguasai dunia. Plot yang berbau sains fiksi itu demikian simple untuk dicerna, tentu saja karena segmentasinya juga anak-anak jadi jangan terlalu berharap adanya unsur epik disini.
Spesial efek yang digunakan juga tergolong sederhana dengan kualitas yang cukup bisa diterima. Untungnya karakterisasi Cameron dan McBride juga ditampilkan sewajar mungkin tanpa kesan berlebihan seperti film-film sejenis buatan Hollywood.
Selayaknya film-film buatan Selandia Baru, masih terdapat kesenjangan standarisasi yang kentara. Under The Mountain bisa jadi membosankan bagi penonton dewasa, tetapi sebagai pengisi waktu satu jam setengah untuk kemudian terlupakan seharusnya tidak jadi masalah.

Durasi:
90 menit

Overall:
6.5 out of 10

Movie-meter:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent

Monday 28 December 2009

See you in 2010....

Taking the week off.  Thanks for the pleasure of your company in 2009.  See you in 2010....

Sunday 27 December 2009

BODYGUARDS AND ASSASSINS : Perlindungan Bapak Revolusi Republik China

Storyline:
Untuk mewujudkan perubahan yang diimpikannya, Dr. Sun Yat Sen mau tidak mau harus berhadapan dengan Dinasti Ching yang saat itu masih berkuasa. Para pembunuh profesional pun dikerahkan untuk menggagalkan rencana Dr. Sun saat kedatangannya di Hongkong. Namun lima pengawal setia Dr. Sun bertekad sekuat tenaga melindunginya walau harus mengorbankan jiwanya sendiri. Harga yang dibayar untuk sebuah perubahan memang kadang terlalu mahal apalagi menyangkut modernisasi di negeri China yang terkenal kuno pada masanya itu.

Nice-to-know:
Diproduksi atas kerjasama China Film Group, Cinema Popular dan Shanghai Media & Entertainment Group.

Cast:
Donnie Yen sebagai Sum Chung-yang
Leon Lai sebagai Lau Yuk-bak
Wang Xueqi sebagai Li Yue-tang
Tony Leung Ka Fai sebagai Chen Xiao-bai
Nicholas Tse sebagai Ah Si
Hu Jun sebagai Yan Xiao-guo
Li Yuchun sebagai Fang Hong
Eric Tsang sebagai Detective Smith
Simon Yam sebagai Fang Tian
Fan Bingbing sebagai Yuet-yu
Le Cung sebagai Sa Zhen-shan
Wang Bo-Chieh sebagai Li Chung-guang
Zhou Yun sebagai Ah Suen

Director:
Merupakan karya kedelapan Teddy Chan sejauh ini sejak terakhir Wait 'Til You're Older (2005).

Comment:
Premis film ini menunjukkan sejarah Kebangkitan China di akhir tahun 1800an. Buang jauh-jauh kata "membosankan" saat mendengarnya karena film ini justru bercerita dengan luar biasa. Aspek drama berpadu kuat dengan unsur actionnya di sepanjang durasinya.
Sutradara Teddy Chan mengemas plotnya dengan padat, bisa dikatakan sedikit mengesampingkan detail yang seharusnya diangkat. Namun yang terpenting adalah semangat juang yang ingin ditampilkan para pahlawan dan pembunuh bayaran tersebut. Dan Teddy memiliki jajaran ensambel cast yang luar biasa disini sebagai pendukungnya. Donnie Yen yang biasanya dominan kali ini berbagi porsi yang sejajar dengan Leon Lai, Simon Yam, Wang Yueqi, Liang Cia Hui. Junior mereka macam Nicholas Tse, Fan Bingbing, Zhou Yun, Wang Bo-Chieh hingga biduanita Li Yuchun juga terampil mengisi perannya masing-masing. Tanpa lupa menyebutkan Hu Jun, Le Cung dkk yang memainkan karakter antagonis dengan cukup meyakinkan. Masing-masing dibebatkan karakterisasi dengan motivasi yang berbeda-beda.
Bagian pertama mungkin sedikit slow karena penjelasan historis yang melatar belakangi cerita disertai dengan pengenalan tokoh-tokoh utamanya dan korelasi di antara mereka semua. Bagian kedua merupakan full aksi seru bertensi tinggi yang menakjubkan yang tidak jarang disematkan semangat pengorbanan dan dedikasi tinggi di dalamnya. Dipastikan anda akan trenyuh dibuatnya apalagi momen kematian para pahlawan tersebut dibuat slow motion dengan texting penjelasannya yang mempertegas kiprah mereka. Semua yang saya uraikan itulah keunggulan Bodyguards & Assassins yang juga plus dari sisi sinematografi, setting, kostum dan permainan kameranya. Saksikan dan anda akan mengakui ini sebagai salah satu film Asia terbaik selama beberapa dekade terakhir. Tidak percaya?

Durasi:
135 menit

Overall:
8 out of 10

Movie-meter:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent

Saturday 26 December 2009

ALVIN AND THE CHIPMUNKS 2 : Trio Chipmunks Kontra The Chipettes?

Quotes:
Theodore-Hi, I'm Theodore. Hi, I'm Theodore. Hi, I'm Theodore.
[Simon grabs Theodore and cover Theodore's mouth]
Simon-Tes, he's Theodore in case you missed it.

Cerita:
Ketika manajer mereka, Dave Seville cedera dalam konser trio Chipmunks, Alvin, Simon dan Theodore harus dirawat oleh keponakan Dave yaitu Toby. Sejenak harus menyisihkan segala hal yang berbau musik, trio Chipmunks harus kembali ke sekolah dan bertemu dengan teman-teman baru, baik yang menyukai maupun yang membenci mereka. Kepala Sekolah, Dr. Rubin meminta Alvin, Simon dan Theodore untuk tampil mewakili sekolah demi menyelamatkan program musik mereka dengan memenangkan kompetisi berhadiah $25,000. Tetapi hal itu tidak akan mudah karena trio Chipettes yang beranggotakan Brittany, Eleanor dan Jeanette menunjukkan talenta luar biasa apalagi digawangi oleh Ian, mantan manajer The Chipmunks yang jahat itu.

Gambar:
Penggabungan animasi dan live action masih terlihat mulus disini selayaknya apa yang ditampilkan dalam Alvin and the Chipmunks (2007) itu.

Voice:
Trio Chipmunks, Alvin, Simon, Theodore disuarakan oleh Justin Long, Matthew Gray Gubler dan Jesse McCartney.
Sedangkan The Chipettes, Brittany, Jeanette, Eleanor diisi oleh Christina Applegate, Anna Faris dan Amy Poehler.
Karakter live action, Toby dimainkan oleh Zachary Levi yang pernah bermain dalam serial televisi, Chuck.
Jason Lee dan David Cross masing-masing tetap memegang Dave dan Ian.

Sutradara:
Melejit setelah menggarap Doctor Dolittle (1998), Betty Thomas kembali menangani film berkategori Semua Umur yaitu Alvin And The Chipmunks : The Squeakquel ini yang awalnya direncanakan beredar pada tanggal 19 Maret 2010.

Comment:
Meskipun ringan, saya menikmati film pertamanya yang banyak dibantu lagu-lagu ear-catchy itu. Lantas apa yang ditawarkan sekuelnya ini? Masih dengan formula yang sama yaitu plot cerita yang mudah dicerna beserta beberapa penampilan panggung yang menggemaskan. Namun ingat untuk singkirkan logika anda saat menontonnya karena apapun yang diperlihatkan disini tidak akan masuk akal! Bagian pertama bercerita tentang perjuangan Alvin, Simon, Theodore untuk beradaptasi dengan penjaga dan lingkungan sekolah yang baru. Meski tidak terlalu banyak penjelasan, film terus bergulir ke bagian kedua. Disini kemunculan Brittany, Jeanette, Eleanor cukup mencuri perhatian dengan kostum dan gaya panggung yang sangat feminin dan kocak itu. Beberapa hits yang mereka nyanyikan malah lebih menarik dibandingkan milik The Chipmunks itu sendiri. Karakter aslinya masih tetap stabil yaitu persaingan Dave dan Ian yang konyol itu juga kemunculan Dr. Rubin yang eksentrik. Pesan yang ingin disampaikan adalah anjuran untuk tidak bersikap egois yang mungkin mempengaruhi orang-orang terkasih di sekitar anda. Beberapa lelucon yang dipertontonkan mungkin klise tapi tetap sesuai dengan pangsa pasar film ini yaitu anak-anak, remaja dan dewasa yang pernah menyukai serial kartun teve The Chipmunks di masa muda mereka. Satu pesan saya, jangan buru-buru meninggalkan bioskop setelah kemunculan credit title karena The Squeakquel ini masih menyimpan potongan-potongan scene yang menarik.

Durasi:
85 menit

U.S. Box Office:
$75,589,048 in mid Dec 2009 (opening week)

Overall:
7 out of 10

Movie-meter:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent
No such perfect 9.5 or 10!

Friday 25 December 2009

LOURDES : Dokumenter Kisah Kelumpuhan Gadis Muda Katolik

Cerita:
Dikarenakan penyakit sklerosis yang dideritanya, gadis muda bernama Chistine sedikit patah semangat menjalani hidupnya saat mengetahui bahwa dirinya akan berada di kursi roda seumur hidupnya. Agar tidak terasing, Christine melakukan perjalanan ke kota ziarah kecil di pegunungan Pyrenees bernama Lourdes. Hari-hari dilaluinya dengan mengikuti sejumlah ritual sesuai jadwal hingga pada suatu pagi ia terbangun dan suatu keajaiban terjadi, Christine mampu berjalan! Pimpinan kelompok ziarah tersebut, seorang sukarelawan tampan berusia 40 tahunan yang berasal dari Malta, mulai tertarik padanya. Namun Christine mencoba menahan hasrat kebahagiaan yang mulai menghampirinya, disaat kesembuhan menimbulkan kecemburuan dan kekaguman.


Gambar:
Bersetting langsung di kota kecil Lourdes yang terletak di pegunungan Pyrénées, Perancis beserta beberapa scene di Vienna, Austria, film ini kental dengan nuansa Eropa.


Act:

Kesemuanya merupakan aktor-aktris asli Perancis yang belum dikenal namanya.

Sylvie Testud sebagai Christine
Léa Seydoux sebagai Maria
Gilette Barbier
sebagai Fr. Hartl

Gerhard Liebmann
sebagai Pater Nigl

Bruno Todeschini
sebagai Kuno

Elina Löwensohn
sebagai Cécile


Sutradara:
Film keenam bagi sutradara wanita kelahiran Austria bernama Jessica Hausner ini.

Comment:
Dengan gaya semi dokumenter, film ini mengisahkan satu chapter perjalanan hidup Christine yang menderita kelumpuhan di usia muda hingga terdampar di komunitas orang-orang lumpuh yang kemudian menjalani terapi pengobatan dengan mendekatkan diri kepada Tuhan. Misa demi misa Katolik ditampilkan secara aktual tanpa dramatisasi apapun. Namun menurut pandangan saya tanpa bermaksud menyinggung unsur SARA, hal tersebut justru memperlihatkan imej Katolik dengan ambigu dan monoton. (Catatan kecil: saya sangat menghormati agama Katolik sebagai organisasi paling rapi di dunia). Terlepas dari fakta tersebut, Lourdes merupakan tontonan yang bisa jadi refleksi kehidupan kita masing-masing, bagaimana mengatasi masalah demi masalah dengan tetap berpegang pada keyakinan dan optimisme. Sayangnya, film ditutup tanpa konklusi apapun sehingga penonton dibiarkan bertanya-tanya dan menyimpulkan sendiri terhadap apa yang baru mereka saksikan.

Durasi:
90 menit

Overall:
6.5 out of 10

Movie-meter:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent
No such perfect 9.5 or 10!

Thursday 24 December 2009

BUKAN MALIN KUNDANG : Komedi Parodi Kutukan Anak Durhaka

Quotes:
Nenek Rapiah-Anak muda..

Cerita:
Tiga sahabat, Rian, Ado dan Luna memiliki hobi yang sama yaitu bolos kuliah dan bersenang-senang juga menghindari keluarga. Ado dimaklumi karena ia hanyalah satu dari sekian banyak anak orangtuanya. Luna malah terlalu dijaga ayah-ibunya hingga ingin berontak. Sedangkan Rian yang hidup bersama orangtua tunggal kerapkali memperlakukan ibunya semena-mena. Pada suatu ketika saat Rian sedang menyetir tidak sabar melihat seorang nenek tua yang berjalan lambat di depan mobilnya. Timbul niat iseng mereka bertiga untuk mengikat nenek tersebut di tiang listrik tanpa menyadari sang nenek mengucapkan sumpah serapah. Sesampainya di rumah, Ryan terkejut mendapati patung seorang wanita di kamar ibunya yang disertai dengan menghilangnya sang ibu. Berusaha mencari jawaban atas keanehan tersebut, seorang dukun menyarankan mereka mencari sang nenek yang belakangan diketahui bernama Rapiah itu untuk mencabut kutukannya kembali.

Gambar:
Rumah Ado, Luna dan Rian mendapat sorotan yang berharga disini termasuk lokasi panti jompo yang didominasi nenek-nenek dengan berbagai karakter.

Cast:
Sissy Priscillia terakhir mendukung trio juga dalam Krazy Crazy Krezy kali ini kebagian peran Luna yang dimanjakan orangtuanya hingga berontak di luar.
Kerjasama kedua Ringgo Agus Rahman dan Desta di tahun ini setelah Get Married 2 sebagai dua sahabat, Rian yang manja dan Ado alias Fernando yang pasrah.
Sebelumnya menjadi preman gemulai dalam Perjaka Terakhir, disini Aming memegang karakter Nenek Rapiah yang judes dan "sakti".

Sutradara:
Sutradara muda kelahiran Samarinda, 21 Januari 1984, Iqbal Rais masih di zona nyamannya yaitu drama komedi terutama setelah mendulang kesuksesan besar lewat dwilogi The Tarix Jabrix yang memunculkan ikon tersendiri itu.

Comment:
Plot ceritanya merupakan twist dari legenda tradisional Malin Kundang yg terkenal sejak dulu kala itu. Pengembangan ceritanya memang cukup menarik tetapi masih terlalu menggampangkan logika sehingga terkesan norak dan dibuat-buat. Sang sutradara memang pernah berhasil dalam genre komedi yaitu dwilogi Tarix Jabrix lebih karena faktor para personil The Changcuters. Namun dengan trio Desta, Sissy, Ringgo nanti dulu. Mereka terbukti bisa melucu disini dengan polah tingkah lakunya tetapi imejnya terlalu komikal, entah karena tuntutan skrip atau apa. Aming terlihat kreatif dengan kostum dan make-up nya sehingga terlihat meyakinkan sebagai perempuan tua, tetapi yang parah gaya khasnya masih belum berusaha dihilangkan untuk benar-benar menjadi orang lain di luar kebiasaan dirinya. Pesan moral yang ingin disampaikan cukup mengena meski lewat proses yang aneh. Alhasil Bukan Malin Kundang yang katanya dipersiapkan untuk menyambut hari Ibu ini pada akhirnya akan dilupakan orang begitu saja setelah cukup menghibur hanya pada paruh pertamanya.

Durasi:
90 menit

Overall:
6.5 out of 10

Movie-meter:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent
No such perfect 9.5 or 10!i

The Man Who Came to Dinner - 1942


“The Man Who Came to Dinner” (1942) is the kind of sparkling Christmas comedy we don’t see anymore, with more glitz than guilt-ridden messages about finding the true meaning of Christmas. We’re not even looking for it, because it isn’t lost. Here, we are delightfully unburdened with pseudo-morality tales about commercialism. It’s all glamour, and slapstick. If there’s a message at all, it’s about clinging to life with an iron grip and a sense of fun.

Literate scripts are mostly out of fashion, too, and that is the driving force of this movie, taken from the hit stage play by Moss Hart and George S. Kaufman. Monty Woolley plays the noted author, columnist, radio personality and full-time egomaniac who, making a brief Christmas visit to the home of a small-town industrialist, slips on the steps and is forced to spend his holiday with them as an invalid. Mr. Woolley is spectacular, never missing a beat in his sarcasm, his wit, and his impatience with lesser mortals. This is the role he created on Broadway, and deserved to play on film.

Bette Davis is his competent secretary, who is something of a revelation in this role. We’re used to seeing strong performances from her as larger-than-life characters, and waxing melodramatic in weepy flicks, but here she makes a smaller, quiet role pivotal to the story by being the sane and sassy anchor. She is one of the few people who cannot be bullied by Mr. Woolley by virtue of her sense of humor.

At the beginning of the film, we see the ever ditsy society matron Billie Burke fawning over Monty Woolley and inviting him to her home for dinner. She casts a brief sort of “also-ran” inclusion of the invitation to Bette Davis as his secretary. Davis accepts, quietly, with gracious humility and the self-deprecating smile worn by one who is used to being dismissed as unimportant in the great man’s shadow, but who really runs the show. It’s a subtle gesture and tells us more about her character in 30 seconds than another actress would take the entire film to convey.


Davis casts a warm glow of serenity, shaken up only by unexpectedly falling in love with the small-town newspaperman who comes to interview Woolley, and who squires her about at the community ice skating party. Davis’ character takes a header on the ice, and she cheerfully basks in the uncomplicated company of locals who are neither clever nor acerbic, just kind. (I know her character is not supposed to have been on skates before, but you’d think Davis, as a good New England girl, would skate better than that. Tenley Albright she’s not.)

Grant Mitchell (excellent here in “The Secret Bride”), plays the industrialist, proud of his ball bearing factory contributing to the war effort. In his own way he is as equally self-important as Woolley, but is only a big fish in a small pond. Ruth Vivian, playing his fey, fragile, and quite weird sister, along with the wonderful Mary Wickes who plays Nurse Preen, are the only ones in the cast, besides Mr. Woolley, to have appeared in the original Broadway play. (Ruth Vivian went back to Broadway next for “The Strings, My Lord, Are False”, the Elia Kazan flop mentioned in this week’s Tragedy and Comedy in New England.)


Mary Wickes is hysterical from beginning to end, as the severe nurse who gets the lion’s share of bullying from the great man, and who in the end, in her own diva scene, renounces her Florence Nightingale Pledge to serve a suffering mankind and instead get a job in a munitions factory. His obnoxious treatment of her has driven her to thoughts of destruction.

The lines are fast and funny, and almost too numerous to quote. All the lesser characters, just as with Miss Wickes’ final scene, all get great lines to say, too. The local doctor attending Wooley aspires to be an author, and seeks Woolley’s help.

“I’ve just got one patient who’s dying, then I’ll be perfectly free.”


Reginald Gardiner is as quick-witted and sophisticated as Woolley, and does a drop-dead impression of a stuttering Englishman to fool Ann Sheridan. What is perhaps most charming about Davis’ performance is her frequent lapse into delightfully natural giggles at the antics of Gardiner and Woolley playing off each other.


Ann Sheridan is a hoot. The opposite of Davis’ down-to-earth character, Sheridan is off the walls as a self-important, man-grabbing stage actress. Her first scenes playing kissyface on the phone with Woolley, and alternately hollering at her manicurist are hysterical.


Woolley turns the home of the industrialist and his ditsy society matron wife upside down, and even conducts his annual Christmas Eve radio broadcast, complete with a boys choir, in their living room. Jimmy Durante plays a raucous pal from Hollywood who leers seductively Nurse Preen,

“Come to my room in a half hour and bring some rye bread!”

The son and daughter of the house, teenagers who befriend the really-a-nice-guy-under-all-the-bluster Woolley are encouraged to pursue their own dreams and escape from their bourgeois parents. About the only weak link in the chain is Richard Travis, who plays the newspaperman in love with Davis. Probably he does not stand out simply because everyone else in the cast is so over-the-top.

Possibly the funniest aspect of this script is the constant name-dropping. We are told that Woolley’s character is so important, that he is friends with Winston Churchill, the Roosevelts and the Duke and Duchess of Windsor, that he has received Christmas gifts from Gypsy Rose Lee and Deanna Durbin. New York Governor, and presidential candidate Thomas E. Dewey is his lawyer. The film ends memorably with the voice of Eleanor Roosevelt on the phone calling her dear friend to wish him a Merry Christmas.


To anyone with a cursory knowledge of popular history of the late 1930s and early ‘40s, this script is as fresh and funny as if it were written yesterday. However, I wonder if to someone not familiar with these names, does this make a good part of the film a mystery, and that much over-used word to describe old movies: dated?

The play was revived on Broadway in 2000 with Nathan Lane in the role. I didn’t see it (though I have seen another production), and I’m not going to review or compare it, except to imagine that these same topical references would not have had quite the same impact coming from Nathan Lane as from Monty Woolley, no matter how knowledgeable the audience might be on this time period.

And speaking of name-dropping, I’m not going to explain who Tenley Albright is. If you don’t know, shame on you and too bad.

A revival, or film remake, is always nostalgic. But this film produced in 1942 was not nostalgic. It was up to the minute and topical, and late-breaking news. Watching it, it still feels that way, decades later. That is the marvel of it.

May your Christmas have a little glitz, and glamour, too. But without the escaping penguins.

Monday 21 December 2009

ZOMBIELAND : Bertahan Hidup di Dunia Jajahan Zombie

Quotes:
Tallahassee-I'm not great at farewells, so uh... that'll do, pig.

Columbus-That's the worst goodbye I've ever heard. And you stole it from a movie.


Cerita:
Dua pria yang berhasil menemukan cara untuk selamat dari dunia yang sudah dikuasai kaum zombie yaitu Columbus, mahasiswa cupu Universitas Texas yang berusaha kembali ke kampung halamannya dan Tallahassee yang terobsesi membunuh sebanyak mungkin zombie. Dalam perjalanan, mereka bertemu dua remaja yaitu Wichita dan Little Rock, yang juga berhasil bertahan hidup karena hanya saling mempercayai satu sama lain. Menarik bagaimana mereka berempat bekerjasama di dunia yang bisa dikatakan sudah mati itu.

Gambar:
Keseluruhan syuting dilakukan di Georgia termasuk 490 West Paces Ferry Rd, Atlanta rumah Bill Murray dan bulevar Hollywood yang terkenal itu.


Act:
Terkenal setelah dinominasikan aktor terbaik dalam ajang Oscar lewat The People Vs Larry Flint (1996), Woody Harrelson sebagai Tallahassee yang eksentrik sekaligus tangguh.

Pernah mendampingi Richard Gere dalam The Hunting Party (2007), Jesse Eisenberg sebagai Columbus, remaja pecundang dalam asmara yang akhirnya menemukan potensi sejatinya.

Baru saja terlihat dalam Ghosts Of Girlfriends Past, Emma Stone sebagai Wichita, remaja dewasa yang pemberani bergaya gothic.
Terakhir tampil mengharu-biru dalam My Sister's Keeper, Abigail Breslin sebagai Little Rock, remaja putri yang polos dan tak kenal takut.


Sutradara:

Karya penyutradaraan keduanya setelah The Girls Guitar Club (2001), Ruben Fleischer maju menggarap horor komedi yang bertagline It's Time To Nut Up Or Shut Up ini.


Comment:

Pernah menyaksikan film bertemakan zombie selayaknya Resident Evil ataupun Shaun/Dawn of the Dead? Zombieland kurang lebih menawarkan hal yang sama tetapi dikemas dalam unsur komedi hitam. Sedikit menakutkan yang membuat anda terkejut tetapi banyakan tertawa geli, itulah semangat yang ditawarkan film ini. Dengan beberapa aturan dasar bertahan hidup yang kreatif, plot ceritanya bergulir begitu saja dengan lugas selama kurang dari satu setengah jam. Jangan tanyakan adegan sadis disini karena darah berceceran dimana-mana meskipun dengan cara-cara unik. Cast tergolong tepat, chemistry dinamic duo Harrelson dan Eisenberg terasa klop. Dialog antar mereka sangat sarkastis dan efektif untuk membangun suasana fun. Stone merupakan pilihan tepat untuk peran Wichita walau kombinasinya dengan Breslin terasa minim disini. Ohya, kemunculan aktor senior Bill Murray sebagai cameo patut diapresiasi karena beraninya ia tampil beda di kediamannya sendiri yang megah itu sebagai salah satu zombie. Bagi penonton di luar Amerika, mungkin akan sedikit sulit menyukai film ini dikarenakan perbedaan gaya bercerita dan budaya masing-masing.

Durasi:
80 menit

U.S. Box Office:
$75,590,286 till mid Dec 2009

Overall:
7 out of 10

Movie-meter:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent
No such perfect 9.5 or 10!

Meanwhile, Back at the Blog...December 2009

Just a few posts I enjoyed recently, and I hope you do, too.

From “Bygone Brilliance”, Merriam lists her observations if real life were like a classic film.

From “Sidewalk Crossings”, DKoren posts a fascinating description of one of the “Barbara Stanwyck Show” episodes now available on DVD, with an especially astute analysis of the work of actor Vic Morrow.

“Allure” needs no particular post to recommend it; all of them are a bonanza for discussing the careers of early Hollywood actresses, many of whom I’ve never heard of, and providing the most diverse collection of photos there exists anywhere.

Raquelle at “Out of the Past” serves up the many menus of “Christmas in Connecticut” in a most creative, culinary post.

Sunday 20 December 2009

AVATAR : Petualangan Marinir Lumpuh Sebagai Avatar Pejuang

Quotes:
Jake Sully-They've sent us a message... that they can take whatever they want. Well we will send them a message. That this... this is our land!


Cerita:
Saat saudara kandungnya terbunuh pada perang, marinir lumpuh Jake Sully memutuskan untuk ikut serta dalam misi penjelajahan dunia Pandora. Disana ia belajar bahwa kepala perusahaan yang ambisius, Parker Selfridge berniat mengusir penduduk asli "Na'vi" demi mendapatkan material berharga di tanah mereka. Dalam pertukaran yang disepakati dengan operasi yang mungkin saja menyembuhkan kakinya, Jake bertemu kelompok militer yang dipimpin Kolonel Quaritch yang berusaha memanfaatkan teknologi "avatar" untuk mengelabui kaum Na'vi. Jake pun mulai menjalani kehidupannya sebagai penduduk asli Na'vi dan dekat dengan si cantik tangguh Neytiri. Kolonel Quaritch tidak tinggal diam dan dengan taktik kekejaman yang memaksa tentara bertempur. Pertempuran antara Na'vi dan manusia pun tak terelakkan yang pada akhirnya menentukan nasib dari dunia Pandora itu sendiri.


Gambar:
Berbagai lokasi dijadikan setting film ini mulai dari Hamakua Coast di Hawai'i, Hughes Aircraft di California hingga Studio Stone Street di New Zealand. Animasi yang ditampilkan dengan warna-warninya sangatlah memanjakan mata.


Act:
Film besar keduanya di tahun 2009 setelah Terminator : Salvation, Sam Worthington yang kelahiran UK ini semakin menemui kebintangannya apalagi dengan peran marinir pincang Jake Sully yang bertualang di dunia Avatar.

Salah satu pendukung Center Stage (2000) dalam debutnya, Zoe Saldana kini kebagian tokoh Neytiri, alien Na'vi yang cantik dan mandiri walaupun sebagian tubuhnya tertutup potret animasi.

Aktris senior, Sigourney Weaver menjadi ilmuwan Dr. Grace Augustine yang lembut hati.
Bertolak belakang dengannya, aktor kawakan Stephen Lang menjadi Kolonel Miles Quatrich yang tangguh dan tidak berperikemanusiaan.
Jangan lupakan Giovanni Ribisi dan Michelle Rodriguez sebagai Parker Selfridge dan Trudy Chacon.


Sutradara:
Mulai menjadi sutradara di usia 24 tahun lewat Xenogenesis (1978), James Cameron adalah salah satu sutradara paling perfeksionis yang dimiliki Hollywood. Avatar adalah karyanya yang ke-16 dengan bujet sekitar 230 juta dollar!

Comment:
Avatar yang sudah digadang-gadangkan Cameron sejak tahun 1984 baru memulai syutingnya pada tahun 2008 lalu. Hal ini dikarenakan secara artistik dan bujet, sulit mewujudkannya pada masa itu dan terlalu beresiko besar. Dan untungnya Cameron tidak putus asa mewujudkan visinya terhadap film luar biasa ini. Plot ceritanya simpel tetapi bermakna sangat dalam mulai dari isu rusaknya keseimbangan alam hingga perkembangan dunia baru yang masih misterius hingga saat ini. Tentunya belum menarik jika tema cinta, perseteruan, perjuangan tidak diturutsertakan. Semuanya itu didukung oleh visualisasi yang nyaris sempurna, lingkungan Pandora yang indah, makhluk-makhluk khayalan yang eksotis yang juga peka dan emosional. Meski awalnya terlihat aneh, niscaya penonton akan jatuh cinta dengan karakter tersebut. Detail yang ditampilkan selama lebih dari dua setengah jam rasanya tidak akan membuat anda jenuh. Apalagi WETA Workshop dan ILM melengkapinya dengan teknologi 3D. Dari cast, aktor-aktrisnya sendiri bermain baik disini terutama Worthington yang secara fisik terlihat rapuh tapi sangat tangguh jiwanya. Lang memainkan peran antagonis dengan meyakinkan. Belum lagi Weaver, Ribisi yang selalu maksimal. Saldana, Rodriguez juga cantik memukau. Namun tidak semuanya sempurna, eksplorasi cerita cenderung klise dan mudah ditebak karena pernah ditampilkan di berbagai media sebelumnya. Sebuah tontonan yang mungkin akan selalu diingat sebagian besar orang dan tidak heran jika berjaya di ajang penghargaan insan film dunia seperti Golden Globe yang sejauh ini menganugerahkan nominasi di empat kategori yaitu sutradara terbaik, film drama terbaik kategori drama, musik original terbaik dan lagu original terbaik untuk Leona Lewis dengan I See You.


Durasi:

155 menit


U.S. Box Office:

$77,025,481 in mid Dec 2009 (opening week)

Overall:

9 out of 10

Movie-meter:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable

7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good

9-excellent
No such perfect 9.5 or 10!

Saturday 19 December 2009

JU-ON 4 : Kepingan-Kepingan Horor Yang Saling Terkait

Cerita:
Pada suatu rumah, seorang remaja putra secara sadis membantai lima anggota keluarganya setelah gagal dalam ujian. Ia kemudian menggantung dirinya sendiri di sebuah pohon, meninggalkan rekaman suaranya sendiri di sebuah tape recorder yang berbunyi, “Go… Go now.” diikuti dengan suara perempuan yang aneh. Suara tersebut ternyata milik seorang gadis yang pada masa kecilnya berteman akrab dengan Akane. Saat keduanya duduk di bangku sekolah dasar, mereka seringkali merasakan pengalaman supernatural yang kuat yang ternyata memiliki motif sendiri.

Gambar:
Dengan pencahayaan minimalis dan scene close-up, film yang berjudul internasional White Ghost ini masih menyajikan gambar-gambar menyeramkan.


Act:

Hiroki Suzuki

Ichirôta Miyakawa
Natsuki Kasa

Akina Minami

Chinami Iwamoto
Shûsei Uto

Sutradara:

Mengawali karir penyutradaraan serial televisi yang diangkat ke layar lebar Tales Of Terror (2004), Ryuta Miyake kembali dalam film keduanya yang merupakan episode lanjutan franchise Ju-On atau The Grudge yang terkenal itu dengan skenario yang ditulis bersama Takashi Shimizu.


Comment:
Tiga cerita pertama membuka film berjudul Jepang Shiroi Rojo ini dengan cukup menegangkan. Penampakan tiba-tiba dengan sound memekakkan telinga disertai pencahayaan yang lembut bisa jadi membuat anda memekik ketakutan. Membuat saya dan penonton lain bertanya-tanya, apa yang selanjutnya disuguhkan? Tetapi jawabannya sangatlah tidak memuaskan. Kepingan demi kepingan yang lebih mengarah ke sadisme berdarah-darah dibandingkan horor ditampilkan satu persatu dengan subjudul nama-nama tokoh yang saling terkait satu sama lain. What the heck? Tentunya membingungkan bagi sebagian besar penonton karena dipaksa menerima adegan demi adegan begitu saja tanpa rangkaian penjelasan yang masuk akal sampai akhirnya tidak peduli lagi pada bangunan cerita. Di Indonesia, film yang beredar di jaringan Blitz Megaplex ini diberi titel Ju-On 4 walaupun sesungguhnya tidak terhubung dengan tiga prekuelnya. Mana Takeo? Kayako? Atau Toshio yang cuma tampil beberapa detik? Sosok hantu cilik dan gadis dewasa serta seorang nenek memegang bola basket malah berulang kali ditampilkan. Mengecewakan fans Ju-On tentunya dan rasanya tidak terlalu penting untuk berusaha meneruskan satu dari beberapa franchise horor ternama jepang.

Durasi:
115 menit

Overall:
6 out of 10

Movie-meter:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent
No such perfect 9.5 or 10!

Friday 18 December 2009

Jennifer Jones 1919-2009

We make icons of film stars, particularly those who suffer the tragedy of dying young. It is as if we mourn these stars more for losing them while they are at the peak of their beauty or talent, and their brilliance is frozen in time forever.

As irresistible as that is, there is a finer and more meaningful, if less glamorous, alternative.

Jennifer Jones was beautiful, and most certainly talented. She conveyed in her acting, even in the stronger and funnier roles, a vulnerability that sprang from her own quiet personality. There were also tragic incidents in her life where she might have died young. Had that happened, perhaps she would have been fast tracked to that transcendent icon status, and remained there. There would be no need to revive reasons many decades later since she stopped working, why she was so special. As it is, at 90 years old she has few contemporaries in the industry left to mourn and remember her. Whether she intentionally retired from films in middle age or was simply not in demand, or a combination of both, is a question less easily answered. She just seemed to have quietly slipped away.

Growing old is seldom forgiven by the movie industry, particularly where ladies are concerned. But with luck, and courage, and grace, she survived both the tragic incidents of her personal life and the awesome pressures of her film career, and applied herself in other directions in another kind of wonderful transcendence.

And that is the triumph of her life. Notoriously shy, (she was one of those actresses who took her work seriously, but hated stardom) Jennifer Jones devoted her later life to supporting art, and contributing both funds and her personal time to the treatment of cancer and mental illness.

The immeasurable significance that she died an old lady, in her own bed, with those she loved to say goodbye (what we should call a lifetime achievement award) may, understandably, be lost on young movie buffs just discovering a love for classic films based on a crush for beautiful young icons. We’ve just lost a great actress and a special lady whose greatest gift was neither her beauty nor her talent, but probably her resiliency.

Those who are unfamiliar with her work will likely have opportunity now, as always happens after the death of a star, to watch a number of her films. They may find themselves adding the incomparable, transcendent, Jennifer Jones to their list of favorites. She deserves this, and more.

SANG PEMIMPI : Kala Remaja Bermimpi Tentang Cinta dan Cita-Cita

Cerita:
Tiga sekawan masing-masing Ikal, Arai dan Jimbron memiliki guru favorit yang sama yaitu Pak Balia yang rajin membahas kutipan-kutipan tokoh terkenal nasional maupun internasional. Pelan-pelan mereka bertiga memiliki impian untuk keluar dari tekanan hidup yang semakin menghimpit dan bercita-cita menjelajahi Eropa demi mengarungi kehidupan. Kepala sekolah SMA, Pak Mustar bertolak belakang dengan Pak Balia memiliki sikap keras dan tak segan-segan menjatuhkan hukuman bagi yang lalai. Semua mimpi-mimpi berbaur dengan cinta seperti halnya Arai pada Zakiah Nurmala dan mengungkapkannya mulai dari puisi sampai belajar lagu Melayu pada Bang Zaitun, pemusik Melayu keliling. Sedangkan Jimbron jatuh hati dengan Laksmi, gadis pemurung pekerja pabrik cincau yang tak pernah tersenyum sejak orang tuanya meninggal. Beda halnya dengan Ikal yang tertarik pada gambar aktris perfilman di bioskop yang memutar film nasional. Semua perjalanan itu membuat mereka mengerti makna kehidupan terlepas dari rumitnya semua simpul kehidupan yang harus mereka urai satu persatu.

Gambar:
Tiga lokasi yang digunakan yaitu Belitung, Bogor dan Jakarta menyuguhkan gambar-gambar yang apik dari film yang bermasa syuting lebih kurang satu setengah bulan ini.

Cast:
Kompaknya Vikri Septiawan, Rendy Ahmad dan Azwir Fitrianto dalam memerankan Ikal, Arai, Jimbron remaja membuat semua sekuens yang melibatkan mereka menjadi penuh canda tawa.
Lukman Sardi dan Ariel 'Peterpan' mewujudkan karakter Ikal dan Arai dewasa.
Mathias Muchus dan Rieke Dyah Pitaloka mendapat sentuhan make-up penuaan dalam menokohkan ayah dan ibu Ikal.
Kepala Sekolah Pak Mustar dan Pak Balia dimainkan oleh Landung Simatupang dan Nugie.
Love interestnya Arai, Zakiah diambil oleh Maudy Ayunda yang pernah bermain dalam Untuk Rena.

Sutradara:
Masih bekerjasama dengan Salman Aristo selaku penerjemah tulisan Andrea Hirata menjadi skrip dan skenario, Riri Riza mendapat tantangan berat meneruskan Laskar Pelangi yang sukses komersil dan kualitas itu.

Comment:
Melanjutkan kesuksesan sebuah film adalah hal yang sangat sulit bagi sineas sekaliber manapun di Indonesia sejak dulu. Itulah yang juga terjadi pada sekuel Laskar Pelangi ini. Sinematografi yang ditampilkan memang masih cukup menjual. Namun sayang dirusak oleh editing yang tidak mulus dikarenakan beberapa frame yg seringkali terkesan terpisah2 di beberapa bagian. Dari segi cast, aktor-aktor remaja pemeran ketiga tokoh utama bermain cukup mengesankan dalam menjiwai perannya termasuk Rendy Ahmad yang berpuisi dan bernyanyi dengan lugas. Untuk transisi karakter, Lukman adalah aktor yang baik tapi terlalu tua untuk peran Ikal, Nazril Irham alias Ariel bemain lumayan manis sebagai Arai. Riri Riza seperti mengalami kesukaran dalam menerjemahkan skrip cerita dari novel ratusan halaman ke dalam tontonan yang menghibur. Tema tentang kaum remaja dari kota kecil yang memiliki impian pun disajikan datar-datar saja. Beberapa riak yang berusaha disematkan di beberapa bangunan cerita cukup berhasil walau tidak mampu menghapus kesan unenjoyable. Score musik masih terdengar prima walau tidak sekuat dalam Laskar Pelangi. Akhir kata Sang Pemimpi hanya berusaha menjual bayang-bayang mimpi tanpa benar2 bercerita tentang esensi mimpi itu sendiri. Sebuah tontonan berisi yang terasa kekurangan nyawa karena konflik-konflik yang disuguhkan kurang kuat apalagi dengan tidak adanya tokoh antagonis di dalamnya.

Durasi:
125 menit

Overall:
7.5 out of 10

Movie-meter:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent
No such perfect 9.5 or 10!

Thursday 17 December 2009

PLANET 51 : Kala Astronot Amrik Dianggap Alien Penduduk Planet Setempat

Tagline:
Something strange is coming to their planet...Us!

Cerita:
Remaja biasa yang bekerja di planetarium, Lem tidak menyadari bahwa dirinya adalah alien. Begitulah setidaknya menurut astronot Amerika, Captain Charles T. Baker yang mendarat sendirian bersama anjingnya Rover di planet Lem hanya untuk menancapkan bendera dan mengambil beberapa gambar kehidupan disana. Sayangnya media telanjur mencap astronot sebagai zombie yang bisa mengubah seseorang menjadi monster dan memakan otaknya. Charles pun terpaksa bersembunyi di rumah Lem yang berkarakter polos sehingga mau saja membantunya. Di sisi lain, Charles berusaha mengajarkan Lem dalam mendapatkan gadis idamannya, Neera sekaligus berpacu dengan waktu untuk kembali ke planet asalnya dalam hitungan jam. Atau diktator militer, Jenderal Grawl dan ilmuwan gila, Profesor Kipple punya rencana lain yang mengerikan bagi Charles.


Gambar:
Tampilan hijau penghuni planet disuguhkan dengan menarik berpadu dengan tampilan manusia sang astronot. Penggambaran planetnya pun terasa unik di berbagai sudut lokasi.


Voice:

Film anak-anak kedua berturut-turut setelah Race to the Witch Mountain, Dwayne Johnson terlibat dalam animasi pertamanya dalam menyuarakan suara Captain Charles T. Baker.
Remaja lugu baik hati, Lem disuarakan oleh Justin Long yang terakhir tampil dalam After Life di tahun yang sama. Si cantik seksi yang aktif bermain film terakhir muncul dalam Powder Blue, Jessica Biel dipercaya mengisi suara Neera.

Sutradara:
Karya animasi perdana Jorge Blanco yang dibantu astradanya Javier Abad. Jika Planet 51 sukses, tidak menutup kemungkinan munculnya karya-karya animasi selanjutnya dari mereka.


Comment:
Dibuka dengan pengenalan makhluk-makhluk hijau dengan segala pengenalannya tentang kehidupan sehari-hari hingga kedatangan sosok alien yang berwujud manusia dalam profesi astronot Amerika yang tampan, dandy dan idola di tempatnya berasal. Sepertinya plot yang tidak asing, hanya saja situasinya dibalik. Cerdik bukan? Saksikan saja trailernya yang sangat kocak itu. Dari awal sampai akhir, anda akan dihibur dengan petualangan menarik sekaligus kocak antara Lem dan Captain Charles. Dari suara, Justin Long memang meyakinkan tetapi Dwayne Johnson lah bintangnya disini. Sejenak kita lupa akan sosok aslinya dan fokus pada setiap intonasi sang astronot. Pada beberapa poin, beberapa film anak-anak terdahulu mungkin menginspirasi film ini seperti contohnya Wall-E pada karakter Rover, E.T. pada pelarian dengan sepeda, trilogi Shrek pada tampilan hijau karakter-karakternya yang digambarkan bisa berbahasa Inggris dan masing-masing dengan empat jari tangan. Sepintas kerja CGI tidak terlalu mengesankan tetapi dialog lah yang membuat kita terkesan pada nasib masing-masing tokoh. Nuansa 1950an kental disini termasuk soundtracknya yang ceria dominan. Planet 51 adalah animasi tambal sulam yang menyenangkan untuk ditonton terutama bagi anak-anak dan sebagian besar orang dewasa juga, terlepas dari mudahnya menerka endingnya.


Durasi:

85 menit


U.S. Box Office:
$34,052,876 till Dec 2009

Overall:
7.5 out of 10

Movie-meter:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent
No such perfect 9.5 or 10!

More Movie Christmas Trees

As a follow-up to last year’s look at some movie Christmas trees, here are a few more to deck the halls.



“Peyton Place” (1957), discussed in this post, shows how fun Christmas can be with Hope Lange and her little brother until abusive stepfather Arthur Kennedy shows up and spoils the afternoon. Not only that, the tree gets knocked over (gasp!). And Arthur gets knocked off. But hey, pass the eggnog.




In “Bell, Book, and Candle” (1958), discussed in this post, we see perhaps the ultimate in artificial Christmas trees, a kind of tree-inspired metal sculpture around which some witches switch presents, which is fun for witches.






Here in “Stella Dallas” (1937), we get the old fashioned traditional enormous tree with visiting papa John Boles and daughter Anne Shirley sharing a brief happy moment in an another traditional dysfunctional family.



That’s what Christmas is all about, Charlie Brown, making the best of it. And being grateful for the socks and underwear. Or, whatever is it those witches are gifting to each other.

Wednesday 16 December 2009

STORM WARRIORS : Pertarungan "Spesial Efek" Pendekar Andalan

Storyline:
Lord Godless berhasrat menaklukkan China dengan menyandera sejumlah ahli beladiri dan memaksa mereka mengabdi padanya. Di antaranya terdapat Cloud dan Nameless. Wind datang untuk menyelamatkan keduanya. Namun ketiganya terluka parah, begitupun dengan Chu Chu walau akhirnya selamat dengan bantuan para pendekar lainnya. Wind memilih untuk mempertajam ilmu dengan mencari Makam Naga meskipun hal tersebut dapat mengubahnya menjadi jahat. Cloud memilih jalan yang lebih aman dengan bekerjasama dengan pihak-pihak yang mampu menandingi Lord Godless. Pada akhirnya mereka semua harus bertarung satu sama lain di atas kekuatan baik dan jahat yang sulit berpihak pada siapapun jua.

Nice-to-know:
Dinominasikan kategori Best Visual Effect dalam Asian Film Awards 2010.

Cast:
Sebagian besar masih melanjutkan peran dari The Storm Riders (1998).
Aaron Kwok sebagai Cloud
Ekin Cheng sebagai Wind
Kenny Ho sebagai Nameless
Nicholas Tse sebagai Heart
Charlene Choi sebagai Second Dream
Simon Yam sebagai Lord Godless

Director:
Kembar asal Thailand yang menamakan diri Pang Brothers ini pertama kali dikenal luas lewat horor cult, Gin Gwai alias The Eye (2002).

Comment:
Meski bukan pecinta serial komiknya tetapi saya menyukai prekuelnya The Storm Riders yang keren itu. Tetapi 11 tahun berlalu, sekuel yang harusnya bertambah baik malahan hancur begitu saja. Film dibuka seperti berada di antah berantah tanpa banyak penjelasan terkait yang dapat mengingatkan penonton akan posisi mereka berpijak. Hal yang menegaskan bahwa plot cerita tidak dikembangkan dengan baik apalagi karakterisasi tokoh-tokohnya. Dari awal sampai akhir, penonton hanya dIbombardir dengan pertunjukan spesial efek yang tetap saya rasakan kurang relevan untuk tahun 2009 ini. Karakter Nicholas Tse terasa tidak penting. Sedangkan dua peran utama wanitanya, Charlene Choi dan Yan Tang juga tidak banyak membantu selain menjadi pemanis belaka. Jika anda penonton yang tidak terlalu mengindahkan pemikiran dalam menonton sebuah film, anda mungkin dapat terhibur dengan duduk manis menyaksikan kombinasi warna memanjakan mata beserta efek visual adegan laga yang ditonjolkannya. Namun jika tidak, lebih baik anda mencari hiburan lain daripada berusaha bersimpati pada tokoh-tokoh film ini tanpa alasan yang jelas.

Durasi:
105 menit

Overall:
6.5 out of 10

Movie-meter:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent

Tuesday 15 December 2009

CENTER STAGE : TURN IT UP

Quotes:
Tommy Anderson-OK, well I suck at it and... I need some help.

Kate Parker-Well that's why your at the ABA.
Tommy Anderson-Yeah, I know they'll give me steps but... they cant give me what I really need.
Kate Parker-And what do you really need?
Tommy Anderson-Fire.
Kate Parker-What?
Tommy Anderson-My instructor told me to find fire.
Kate Parker-What, and I look like two sticks you can rub together?
Tommy Anderson-Kinda.

Cerita:
Impian terbesar Kate Parker ialah menari bersama American Ballet Academy. Namun ketika ia tidak diterima, ia belajar bahwa tidak hanya sekedar bakat untuk menjadi sukses. Maka bergabunglah Kate dengan klub penari hip-hop, dan dengan bantuan seorang partner yang mantan pemain hockey, Tommy mungkin saja impiannya dapat menjadi kenyataan. Sayangnya semua itu bergantung pada kelanjutan hubungan Kate dan Tommy yang menghadapi banyak rintangan termasuk dari saingannya, Suzanne.

Gambar:
Film yang bersetting di New York dan Vancouver ini menyajikan tarian-tarian dinamis di sanggar, klub hingga pentas panggung.

Act:
Perannya sebagai remaja oportunis yang tidak suka ditolak Kate Parker merupakan debut pertama Rachele Brooke Smith yang cantik ini.
Beberapa peran sebelumnya memang sebagai penari termasuk dalam You Got Served (2004), Kenny Wormald disini sedikit mengalami kemajuan dengan peran utama prianya, Tommy Anderson.
Penari berbakat ambisius Suzanne Von Stroh dimainkan oleh Sarah Jayne Jensen.
Jangan lupakan aktor lawas Peter Gallagher yang melanjutkan peran Jonathan Reeves, sang pemandu bakat dari film prekuelnya.

Sutradara:
Pernah menjadi astrada kelas dua dalam Dreamgirls (2006), Steven Jacobson memulai debut penyutradaraannya lewat sekuel Center Stage : Turn It Up ini yang masih bernafaskan musik dan tari.

Comment:
Rasa penasaran yang mendorong saya menyaksikan film ini sebab Center Stage (2000) adalah salah satu dance flick favorit saya sepanjang masa. Meski demikian saya tidak terlalu berharap banyak karena kategorinya yang direct-to-dvd movie. Kerja keras dan dedikasi tinggi terhadap dunia balet yang muncul di film pertamanya tidak terlalu dominan di film keduanya ini. Plot cerita subtitel Turn It Up ini terasa tidak fokus dan tidak terlalu mendalam. Alhasil eksekusi ceritanya juga menjadi tanggung. Pemilihan bintang-bintang utamanya yang notabene berusia muda hanya "fresh" di mata tetapi minim pengalaman berakting. Beberapa sekuens di club malam rasanya tidak terlalu penting tetapi cukup menjual selayaknya yang disuguhkan dalam Step Up. Tarian, dalam hal ini balet, yang biasanya menjadi nilai jual film sejenis masih terasa kurang menggigit, terutama di ending yang biasanya terkesan wah tetapi hanya begitu saja. Secara keseluruhan, Center Stage jauh lebih unggul dari tarian, skrip, penyutradaraan dibanding Turn It Up yang konon diproduksi Australia ini.

Durasi:
95 menit

Overall:
6.5 out of 10

Movie-meter:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent
No such perfect 9.5 or 10!

Monday 14 December 2009

OLD DOGS : Dagelan Dua Pria Paruh Baya dan Dua Anak Kecil

Quotes:
Dan-If I'm gonna be an old dad, you're gonna be Uncle Charlie. We can do this.
Charlie-We?

Cerita:
Dan beserta Charlie adalah dua pria paruh baya yang mengelola bisnis bersama selama lebih dari 30 tahun. Di luar itu, mereka bersahabat akrab dan melakukan aktifitas bersama mulai dari tinggal di apartemen yang sama, melewatkan waktu di klub hingga berlibur. Beberapa bulan setelah perkenalan Dan dengan wanita cantik bernama Vicki, tiba-tiba Vicki kembali dan divonis hukuman penjara selama 2 minggu. Tidak tanggung-tanggung, ia menitipkan putra-putrinya pada Dan dan Charlie. Hari demi hari dua lajang yang sudah tidak muda itu lagi pun menjadi tidak mudah. Bahkan berbagai jadwal pertemuan bisnis mereka pun terganggu. Akankah pada akhirnya kepusingan tersebut dapat diatasi? Bagaimana masa depan kerjasama Dan-Charlie dengan perusahaan Jepang yang sudah sangat diidam-idamkan itu?


Gambar:
Berbagai area seperti Arena at Harbor Yard, Stasiun Grand Central, Terminal 4 Bandara JFK, Stadium Shea, Kebun Binatang Santa Ana hingga apartment Dan di New Jersey menjadi setting bervariasi yang menyenangkan bagi komedi keluarga ini.


Act:

Kedua kali diarahkan setelah Wild Hogs (2007), John Travolta yang sudah berusia 55 tahun ini bermain sebagai Charlie yang playboy dan flamboyan sekaligus blak-blakan. Karakter Dan yang rendah hati sekaligus lembut diambil oleh Robin Williams yang memulai karir aktingnya lewat film Popeye (1980. Istri Travolta dalam kehidupan nyata, Kelly Preston disini berperan sebagai Vicki, seorang wanita cantik dengan dua orang anak masing-masing Zach dan Emily yang dijiwai oleh Conner Rayburn dan putrinya sendiri, Ella Bleu Travolta.

Sutradara:

Pertama kali memulai debutnya dalam komedi remaja yang akhirnya cukup dikenal Van Wilder (2002), Walt Becker menyutradarai film kelimanya ini sekaligus kerjasama kedua berturut-turut dengan John Travolta. Patut ditunggu kiprahnya di masa mendatang.


Comment:

Dari jajaran cast terbilang menjanjikan, Williams, Travolta, Green bukan nama-nama asing yang mampu bermain dalam drama dan komedi sama baiknya. Terutama Williams yang belakangan semakin fasih berlakon dalam drama keluarga yang terkadang mengumbar kelucuan slapstick termasuk saat Green dalam pelukan seekor gorila di kebun binatang. Kolaborasi ketiganya dalam memancing tawa disini memang cukup berhasil, baik secara disengaja ataupun tidak, baik lelucon kasar ataupun halus. Dengan fakta tersebut, rasanya perlu berpikir dua kali jika ingin mengajak anak-anak di bawah umur menyaksikannya terutama beberapa lelucon selayaknya pasangan gay ataupun hal-hal yang berbau rasis. Permasalahan lain adalah plot ceritanya tergolong klise dan berpuluh-puluh kali diangkat sebelumnya sehingga tidak akan sulit menebak kelanjutan bahkan endingnya. Hal itu seharusnya bisa disiasati jika sutradara cermat bermain dengan eksplorasi dan eksekusi yang berbeda darri biasanya. Namun hal itu tidak terjadi disini. Dengan bantuan anjing tua milik Dan-Charlie, Old Dogs yang juga disokong oleh Walt Disney Pictures pun "mencoba" menghibur anda dengan beberapa nilai jual didalamnya termasuk unsur kekeluargaan antara orangtua dan anak. Tertawalah jika anda merasa itu lucu apalagi jika anda memiliki waktu luang ke bioskop. Just sit, stay and play dad!


Durasi:

90 menit


U.S. Box Office:
$33,924,385 till Dec 2009


Overall:

7 out of 10


Movie-meter:
Art can’t be below 6
6-poor

6.5-poor but still watchable
7-average

7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good

9-excellent

No such perfect 9.5 or 10!