Monday 30 August 2010

KING OF FIGHTERS : Pusaka Pembuka Pertarungan Dimensi Virtual

Tagline:
Live-action feature based on the video game "King of Fighters".

Storyline:
Agen CIA, Terry Bogard menugaskan Mai Shianui untuk bekerjasama dengan Iori Yagami yang memiliki teori bahwa kalung dan cermin yang dimiliki Chizuru jika disatukan akan membuka jalan ke dimensi lain. Juga ada pedang pusaka milik Saisyu Kusanagi yang diincar Rugal Bernstein untuk berkuasa sebagai pendekar dunia virtual King of Fighters. Tujuan Rugal hanya satu yaitu menggabungkan dunia virtual tersebut dengan dunia nyata. Kini klan Kusanagi mengandalkan Kyo yang harus tandem dengan Mai, Iori dan Terry untuk menghentikan aksi Rugal yang ingin menghancurkan peradaban tersebut.

Nice-to-know:
Untuk peredaran Asia nya dipercayakan pada Micott & Basara K.K. sebagai distributor resmi.

Cast:
Sempat mendukung ansambel drama New York, I Love You kini Maggie Q kebagian peran utama sebagai Mai Shiranui
Publik Indonesia mengenalnya dalam Never Back Down (2008), Sean Faris kali ini bermain sebagai Kyo Kusanagi yang harus menuntaskan dendamnya terhadap musuh keluarganya.
Will Yun Lee sebagai Iori Yagami
David Leitch sebagai Terry Bogard
Ray Park sebagai Rugal Bernstein
Sam Hargrave sebagai Ryo Sakazaki
Françoise Yip sebagai Chizuru

Director:
Gordon Chan merupakan nama besar di Hongkong yang memulai debut penyutradaraannya lewat 18 Golden Destroyers (1985).

Comment:
Tidak jera nampaknya produser berusaha mengangkat live action video game ke dalam film aksi laga meski biasanya diprediksi gagal apalagi berkaca pada sejarah film-film sejenis yang muncul lebih dahulu. Kali ini seorang Gordon Chan yang sudah tersohor di Hongkong dan mulai menapak tangga Hollywood dipercayakan bujet sebesar 12 juta dollar untuk mengangkat KoF dengan jajaran bintang terbaik yang bisa ia kumpulkan (sebisanya) dan tidak heran jika menemukan nama-nama Asia yang sudah berkiprah di Hollywood sebelumnya. Sebut saja Maggie Q dan Will Yun yang divisualisasikan cool dengan kostum berwarna gelap. Belum lagi Sean Farris yang terlihat good looking dan digambarkan berdarah Kaukasia-Jepang sekaligus. Walaupun trio tersebut sudah melakukan kinerja maksimal, tampaknya belum mampu menyelamatkan identitas film yang berdiri di tengah sisi Asian dan Hollywood sekaligus.
Faktor utama adalah plotnya yang non eksis, absurd seperti video gamenya yang nyaris tanpa storyline. Dari kenyataan tersebut, apapun subplot yang coba dikembangkan untuk merekonstruksi cerita tidak ada gunanya. Koreografinya juga terkesan hancur dimana proses editing yang tidak mulus terasa sekali. Coba perhatikan scene dimana fighting motion Maggie ataupun Faris sangat terlihat visual efeknya. Belum lagi sinematografi serba kelam dan hitam yang mungkin dimaksudkan untuk membangun nuansa magis nan misterius tapi maaf, malah membuat saya mengantuk dan beberapa penonton lain mati kebosanan (atau kelaparan?) menunggu jam berbuka puasa, beberapa diantaranya meninggalkan bioskop lebih awal.
The King Of Fighters seharusnya memiliki pilihan terbaik yaitu tidak perlu mencoba bercerita tetapi langsung fokus pada laga di dunia virtual saja, one-on-one match ataupun tandem. Setidaknya hal itu bisa lebih memuaskan calon penonton yang sudah mengenal gamenya terlebih dahulu. Atas semua kekeliruan itu, kualitas Street Fighter : The Legend Of Chun Li serasa dua kali lebih bagus ataupun Tekken yang tiga kali lipat daripada ini! Ouch!!!

Durasi:
90 menit

Overall:
6 out of 10

Movie-meter:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent

Norman Rockwell and the Movies

In 2008, Norman Rockwell was named the official state artist of the Commonwealth of Massachusetts, but he brought his finely detailed illustration technique far beyond his famed depictions of small-town America. He sometimes tackled Hollywood as a subject.

Currently at the Norman Rockwell Museum in Stockbridge, Massachusetts an exhibit called “Rockwell and the Movies” displays the artist’s work on original paintings, along with posters and lobby cards for films such as “The Magnificent Ambersons”, “The Song of Bernadette”, “The Razor’s Edge”, and the 1960 version “Stagecoach.” The collection includes 25 works on Hollywood subjects.

This exhibition also coincides with one currently shown at the Smithsonian American Art Museum in Washington, D.C. This collection displays 57 paintings and drawings done by Norman Rockwell on the movie themes, called “Telling Stories: Norman Rockwell from the Collections of George Lucas and Steven Spielberg.”

For more on the Norman Rockwell Museum exhibit, including photos of samples of his movie work, have a look at this website. For more on the Smithsonian American Art Museum exhibit, have a look at this website.

Sunday 29 August 2010

GROWN UPS : Kedewasaan Pria Berkeluarga Dalam Reuni Sekolah

Tagline:
Some guys need a little extra time to mature.

Storyline:
Tahun 1978, lima sekawan yaitu Lenny, Eric, Kurt, Rob, Marcus memenangkan kejuaraan basket SMP. Saat perayaan kemenangan, pelatih mereka Buzzer mengingatkan mereka untuk menyikapi hidup selayaknya permainan tersebut.
30 tahun kemudian, mereka semua dipersatukan lagi ketika upacara kematian Buzzer dengan kehidupan yang sudah jauh berbeda. Lenny adalah agen pencari bakat Hollywood yang menikah dengan designer Roxanne, Eric ialah pemilik perusahaan furnitur taman yang beristrikan Sally. Kurt adalah pria rumah tangga yang menjadi suami Deanne yang mencarikan nafkah, Rob mennjalani pernikahan ketiganya dengan Gloria yang jauh lebih tua sedangkan Marcus tetap melajang. Dalam liburan keluarga tersebut, kelimanya sekali lagi merasakan kedewasaan yang terus tumbuh sambil menggali apa yang hilang dalam kehidupan mereka selama bertahun-tahun terakhir.

Nice-to-know:
Adam Sandler mengenakan topi atau kaos area New England yang berbeda-beda di tiap scenenya termasuk University of New Hampsire tempat ia dibesarkan.

Cast:
Bisa dikatakan Adam Sandler rajin bermain setidaknya 1 film bergenre komedi setiap tahunnya termasuk sebagai Lenny Feder, suami wanita sukses sekaligus ayah tiga anak. Karirnya diawali Going Overboard (1989).
Kevin James sebagai Eric Lamonsoff
Chris Rock sebagai Kurt McKenzie
David Spade sebagai Marcus Higgins
Rob Schneider sebagai Rob Hilliard
Salma Hayek sebagai Roxanne Chase-Feder
Maria Bello sebagai Sally Lamonsoff
Maya Rudolph sebagai Deanne McKenzie
Joyce Van Patten sebagai Gloria
Ebony Jo-Ann sebagai Mama Ronzoni

Director:
Seringkali merangkap sebagai aktor pembantu maupun sebagai sutradara yaitu Dennis Dugan yang terakhir melakukan hal serupa dalam You Don't Mess With The Zohan (2008) yang tidak rilis di Indonesia itu.

Comment:
Adam Sandler merupakan jaminan sukses drama komedi Hollywood selama beberapa tahun terakhir. Apalagi disini didukung dengan aktor-aktor komedi yang sudah tidak asing namanya yaitu James, Rock, Spade, Schneider. Didukung pula oleh aktris-aktris yang sudah menguasai berbagai genre sebelumnya terutama Hayek dan Bello di samping Rudolph. Kesemuanya disini seperti bermain sebagai pria wanita biasa sehari-hari yang sudah berkeluarga dan harus menghadapi anak-anak ataupun masalah-masalah kehidupan yang terus berkembang.
Tema reuni lah yang sesungguhnya ingin disampaikan yang diramu dengan kekonyolan orang dewasa dalam mengulangi masa-masa remaja mereka. Apakah humor tersebut cukup untuk menaikkan pamor film? Bagi saya yang berpikiran open-minded, sah-sah saja, terbukti saya mampu tertawa lepas membahana selepas kepenatan jam kerja di kantor. Namun tampaknya tidak semua orang dapat menikmatinya karena sepanjang film adegan kejenakaan itu ditampilkan berlebihan dan bisa digambarkan dengan kata-kata seperti "jorok" , "tolol", "idiot", "kasar", "kekanak-kanakan", "norak", "cacat" dsb. Bayangkan scene seperti balita laki-laki 4 tahun yang masih disusui, lelucon jempol kaki gajah, kencing di kolam renang dst. Hal tersebut memang dimaksudkan untuk menghibur dengan cara yang ekstrim sekalipun, berulang-ulang! Penonton yang bertahan hingga akhir film akan terbagi dalam dua kelompok, yang mencerca setengah mati karena merasa dibodoh-bodohi ataupun yang merasa puas menertawakan lelucon klise yang umum.
Saya katakan Grown Ups nyaris tidak memiliki skrip yang baku ataupun baru, semuanya seakan hasil improvisasi segerombolan cast tersohor yang sudah dianggap gape menerjemahkan keinginan sutradara Dugan yang juga berpengalaman sebagai aktor dan penulis dalam mengemas formula lawas. Satu pesan moral yang berusaha disampaikan adalah kebersamaan keluarga dengan memaksimalkan seluruh peran baik istri-suami, orangtua-anak merupakan hal yang terpenting dalam membina rumah tangga.

Durasi:
100 menit

U.S. Box Office:
$158,951,332 till end of Aug 2010.

Overall:
7 out of 10

Movie-meter:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent

Saturday 28 August 2010

PIRANHA : Danau Teror Ikan Monster Pra Sejarah

Quotes:
Jake Forester-What's going on over there?
Sheriff Julie Forester-Whatever you do, do not go into the water.

Storyline:
Danau Victoria semasa Spring Break setiap tahunnya selalu mengalami lonjakan pengunjung yang ingin menikmati sinar matahari dan keriaan di sepanjang pesisir pantai. Namun kali ini, gangguan tampaknya datang bukan hanya dari aparat ataupun penduduk setempat yang merasa terganggu tetapi kedatangan ribuan ikan pra sejarah bergigi tajam bernama Piranha. Sebuah kelompok yang terdiri dari sheriff Julie Forester beserta putra remajanya Jake dan kekasihnya Kelly, peneliti ekosistem laut Matt Hooper dan juga kepala polisi Fallon harus bersatu untuk menghentikan teror tersebut sebelum berjatuhan lebih banyak korban lagi. Bagaimana caranya?

Nice-to-know:
Sutradara Aja mengungkapkan idenya untuk meminta sutradara Piranha (1978), Joe Dante dan Piranha 2 (1981), James Cameron untuk menjadi cameo disini. Dante sempat menyanggupinya tetapi Cameron terlalu sibuk dengan jadwalnya.

Cast:
Pernah memenangkan Piala Oscar Aktor Terbaik lewat The Goodbye Girl (1997), Richard Dreyfuss kali ini berperan sebagai Matt Hooper
Ving Rhames sebagai Deputy Fallon
Elisabeth Shue sebagai Julie Forester
Christopher Lloyd sebagai Mr. Goodman
Eli Roth sebagai Wet T-Shirt Host
Jerry O'Connell sebagai Derrick Jones
Steven R. McQueen sebagai Jake Forester
Jessica Szohr sebagai Kelly

Director:
Merupakan karya ketujuh bagi Alexandre Aja yang mengawali debut penyutradaraannya lewat Over The Rainbow (1997).

Comment:
Genre hewan penebar teror baik spesies buaya, ikan raksasa, beruang, singa dll pernah populer di tahun 1990an yang sebagian di antaranya merupakan film kelas B dengan bujet rendah dan pemain-pemain tidak ternama. Beberapa pernah mencatat sukses di bioskop Indonesia semisal Krocodylus yang bertahan cukup lama di bioskop. Kini tahun 2010 dan seorang Alexandre Aja yang merupakan generasi muda sutradara thriller/horor berbakat asal Perancis nekad membuat ulang Piranha yang pernah populer di penghujung tahun 1970an itu. Meskipun demikian plotnya tidak dijiplak mentah-mentah melainkan ditambah twist disana-sini, kejutan yang tidak terlalu menyenangkan serta modernisasi setting dan spesial efek yang digunakan. Hasilnya? Suasana mencekam terjaga konsisten dari awal sampai akhir dengan cipratan darah yang lumayan boros disana-sini mewarnai lautan dan aneka potongan tubuh yang terkoyak-koyak tidak jelas. Terasa sangat riil! Gerombolan piranha penyerang dan kelompok manusia yang mencoba bertahan seakan silih berganti memimpin layar, terkadang antagonis menang dan di waktu lain protagonis yang unggul. Sungguh rollercoaster yang menarik! Bermacam subplot yang dihadirkan juga menyatu padu dengan bangunan utama cerita tanpa ada kesan tidak penting atau dibuat-buat.
Cast yang dihadirkan boleh dibilang kumpulan tua yang nyaris tidak bergaung lagi mulai dari Dreyfuss, Shue, O'Connell ataupun Rhames tetapi jangan lupakan kaliber akting mereka yang benar-benar berguna untuk meningkatkan prestise film sejenis ini. Sedangkan dari generasi muda Szohr, McQueen dll juga tidak kalah mengecewakan. Sebagian besar di antara cameo gadis-gadis belia bahkan tidak canggung mempertontonkan payudara dan pantat mereka dalam balutan bikini ketat aneka warna. Cukup memanjakan mata memang!
Dengan kombinasi seperti itu, Piranha bisa jadi kuda hitam di tangga box-office dunia. Dapat dikategorikan film kelas B, Aja justru dengan gemilang memaksimalkan seluruh potensi yang dimiliki sekalian menjawab kepercayaan produser padanya. Teriakan kaget dan jeritan miris penonton dalam menyaksikannya mungkin saja membahana di dalam gedung bioskop seolah mereka diajak larut dalam situasi yang sesungguhnya. Sayangnya yang beredar di Indonesia hanya versi non 3D. Jika tidak, tentunya menarik menyaksikan ikan pemangsa bergigi tajam dan berkulit keras tersebut seakan nyata di hadapan anda. Jangan lewatkan dan patut ditunggu sekuelnya!

Durasi:
90 menit

U.S. Box Office:
$10,106,872 in opening week Aug 22, 2010.

Overall:
8 out of 10

Movie-meter:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent

Thursday 26 August 2010

ASYLUM : Sejarah Kampus Eks Rumah Sakit Jiwa

Tagline:
Once you're in, you can never get out.

Storyline:
Madison McBride pernah mengalami trauma di masa kecil saat ayahnya bunuh diri di hadapan ibunya dikarenakan mengalami delusional. Hal yang sama menimpa kakak kandungnya, Brandon di Universitas Richard Miller beberapa tahun kemudian. Madison lalu memutuskan masuk kampus yang sama dan bertemu beberapa teman baru yaitu mantan pecandu Holt, kutu buku cerdas String, korban penyiksaan seksual Ivy dan Maya serta atlet jayus Tommy. Penasihat angkatan Rez ditugaskan mengawasi mereka. Diam-diam kelimanya menelusuri masa lalu kampus dimana dulunya adalah RS Jiwa dengan Dr. Magnus Burke sebagai kepalanya yang kemudian dihakimi sendiri karena suatu insiden. Benarkah hal tersebut mempengaruhi keganjilan yang kerap terjadi disana?

Nice-to-know:
Mengambil lokasi syuting di South Carolina termasuk Winthrop University.

Cast:
Kesemua aktor-aktris muda yang bermain disini pernah bermain sebagai pendukung film-film remaja ataupun serial televisi sebelumnya.
Sarah Roemer sebagai Madison
Jake Muxworthy sebagai Holt
Mark Rolston sebagai Doctor Burke
Travis Van Winkle sebagai Tommy
Ellen Hollman sebagai Ivy
Carolina Garcia sebagai Maya
Cody Kasch sebagai String

Director:
Lebih banyak berpengalaman sebagai stunt coordinator, ini merupakan film kelima bagi David R. Ellis setelah terakhir Snakes On A Plane (2006) yang cukup memuaskan hasil box-officenya itu.

Comment:
Tergolong lambat diputar di Indonesia dimana posternya sudah menghiasi bioskop sejak tahun 2009. Nyaris tidak ada yang baru dalam film ini dimana penonton terutama saya sebagai penggemar film horor sudah berkali-kali menyaksikan hal serupa sebelumnya. Beruntung lah ini bukan produksi Indonesia sehingga masih tergolong layak tonton.
Sekelompok mahasiswa-mahasiswi dengan berbagai karakter dasar terdampar di kampus yang berhubungan dengan bekas rumah sakit jiwa dimana pernah hidup seorang dokter sinting di dalamnya. Yang terjadi kemudian bisa ditebak dimana satu persatu menemui ajal dengan ketakutannya masing-masing. Bagi anda yang familiar dengan A Nightmare On Elm Street, Dr. Magnus Burke disini bisa disamakan dengan Freddie Krueger, hanya saja pembunuhan terjadi di alam nyata, bukan di alam mimpi. Jika Freddie mengenakan sweater hijau merah garis-garis, Magnus memakai tali kulit yang mengikat sekujur tubuhnya. Sebetulnya lebih terlihat seperti kostum S&M konyol pada tubuh seorang pria tua daripada kesan menakutkan seorang dokter sinting pembunuh. Roh Magnus yang awalnya tinggal di dalam bangunan yang terkunci rapat pada akhirnya bisa keluar mengejar Madison dan Holt sampai ke hutan. Bingung? Belum lagi ternyata sampai pada satu kenyataan dimana ia menyandera seluruh arwah muda-mudi yang pernah dibunuhnya. Aneh? Mohon jangan terlalu dipikirkan.
Dari jajaran cast tidak ada yang istimewa dikarenakan peran-peran serupa terlalu stereotype dan tidak ada pengembangan yang berarti. Sutradara juga tampaknya lebih memperhatikan aspek lighting yang remang-remang dan setting gedung tua yang terbengkalai dibandingkan elemen-elemen lain yang lebih penting.
Asylum hanyalah predictable horror movie dengan kualitas straight-to-DVD sambil berusaha menakuti-nakuti audiens dengan beberapa scene yang mengagetkan tiba-tiba yang herannya masih cukup berhasil pada teman menonton saya. Menyaksikan ini pada akhirnya hanya akan membuat anda menggeleng-gelengkan kepala saat credit title menutup ending yang dipaksakan demikian.

Durasi:
90 menit

Overall:
6.5 out of 10

Movie-meter:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent

Enter the Screenwriter

An article printed in The Scientific American in June of 1909 heralded a new change in American popular culture. The screenwriter. This blurb was reprinted in the magazine in June 2009.

Moving pictures are exhibited in about ten thousand theaters and halls in the United States. With the rapid spread of this new amusement has also come a marked change in the public taste. Spectators were once quite content with a view of factory employees going to and from their work, the arrival and departure of railway trains, and similar scenes. Nowadays, a more or less coherent story must be unfolded, for which reason the makers of moving pictures have been compelled to write plays (or at least to conceive them) and to have them acted before the camera.

“More or less coherent” is a quality which seems to have remained with screenplays a century later.

Wednesday 25 August 2010

TRADE : Kepahitan Perbudakan Remaja dan Wanita Mexico City

Tagline:
You'll pay for this.

Storyline:
Di daerah kumuh Mexico City, remaja Jorge memberikan sepeda baru bagi adiknya Adriana yang berulang tahun ke-13. Uang tersebut didapatkan Jorge yang bekerjasama dengan teman-teman sebayanya dari hasil merampas turis Amerika yang kebetulan lewat. Sayangnya saat mengemudikan sepeda, Adriana diculik kawanan Rusia yang dikepalai Manuelo. Adriana kemudian bergabung dengan wanita Polandia, Veronika yang datang ke Amerika untuk memasukkan putranya. Keduanya bersama imigran lainnya menjadi komoditi human-trafficking yang berpindah dari satu tangan ke tangan lain. Jorge berusaha keras mendapatkan adiknya kembali dengan bantuan polisi Texas, Ray Sheridan yang juga mempunyai misi tertentu.

Nice-to-know:
Sempat dikabarkan Milla Jovovich akan membintangi dan Roland Emmerich akan menyutradarai film ini tetapi batal.

Cast:
Satu-satunya yang punya nama di film ini yang juga peraih Oscar Aktor Pembantu Terbaik lewat A Fish Called Wanda (1988), Kevin Kline bermain sebagai Ray Sheridan, polisi Texas yang kehilangan putrinya bertahun-tahun silam dan kini harus membantu remaja Mexico yang malang.
Cesar Ramos sebagai Jorge
Alicja Bachleda sebagai Veronika
Paulina Gaitan sebagai Adriana
Marco Pérez sebagai Manuelo
Linda Emond sebagai Patty Sheridan
Zack Ward sebagai Alex Green
Kate del Castillo sebagai Laura

Director:
Merupakan film ketujuh yang disutradarai Marco Kreuzpaintner yang asli Jerman itu.

Comment:
Ceritanya diangkat dari artikel Peter Landesman di majalah New York Times pada tanggal 25 Januari 2004 yang mengetengahkan perbudakan seks. Ide tersebut kemudian dikembangkan menjadi human-trafficking yang sudah berulang kali diangkat ke dalam beberapa versi film dan hingga saat ini masih menjadi isu sosial berbagai negara di dunia. Formula itu akhirnya mendatangkan beragam apresiasi bagi film ini di festival film mancanegara. Bukan sesuatu yang patut dipertanyakan.
Jajaran cast bermain sangat baik disini. Kline menunjukkan kelasnya sebagai aktor senior dengan peran polisi paruh baya yang rumit kehidupannya mulai dari ekspresi hingga bahasa tubuh yang matang. Dua remaja Amerika Latin, Ramos dan Gaitan juga sangat natural memainkan karakter kakak beradik dengan keluguan masing-masing. Namun juara akting disini dipegang oleh Bachleda yang asli Mexico tetapi fasih beraksen Polandia, lihat gesturenya saat memvisualisasikan perasaan takut, marah, bingung hingga putus asa yang berujung pada pengorbanan.
Jika ditelaah lebih jauh, hubungan tidak biasa antara Kline dan Ramos disini memiliki banyak arti. Kline yang kesepian tanpa anak sedangkan Ramos yang membutuhkan figur pria dewasa. Sudut pandang keduanya menjadi sentral tersendiri. Dan sutradara Kreuzpaintner menerjemahkan skrip dengan baik dan mengeksekusi adegan demi adegan dengan brilian tanpa terkesan mengeksploitasi unsur kekerasan ataupun seksual secara berlebihan.
Trade mungkin saja bukan film yang menghibur (bahkan cenderung depresif) tetapi sangat kuat dalam menyampaikan pesan moralnya. Bagaimana ini membuka sekaligus membasahi mata anda akan kenyataan menyedihkan di luar sana yang belum terselesaikan oleh pihak-pihak yang berwenang. Akankah anda tergerak untuk mewujudkan perubahan itu?

Durasi:
110 menit

U.S. Box Office:
$214,202 till end Oct 2007 (limited showing).

Overall:
8 out of 10

Movie-meter:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent

Tuesday 24 August 2010

THE LAST SONG : Romansa Musim Panas Kontradiksi Benci Ayah

Quotes:
Steve Miller: [in letter to Ronnie] Love is fragile. And we're not always its best caretakers. We just muddle through and do the best we can. And hope this fragile thing survives against all odds.

Storyline:
Ronnie bersama adiknya Jonah harus menghabiskan musim panas di rumah ayahnya Steve 5 tahun paska perceraian dengan ibunya Kim. Ronnie tumbuh menjadi gadis pemberontak yang antipati pada ayahnya sampai ia bertemu pemuda lokal bernama Will dimana keduanya saling tertarik pada pandangan pertama. Tanpa Ronnie ketahui, ayahnya menderita kanker paru-paru dan hidupnya tinggal sebentar lagi. Dalam kebingungan, musik lah yang akhirnya menyatukan Ronnie dan ayahnya itu sambil membuat keputusan terbaik apakah melanjutkan asmara yang berliku dengan Will.

Nice-to-know:
Film pertama yang diadaptasi Nicholas Sparks ke dalam novel karangannya.

Cast:
Peran utama pertamanya di luar karakter Hannah Montana, Miley Cyrus berperan sebagai Ronnie Miller, gadis pemberontak yang berusaha percaya pada cinta yang dialaminya.
Pernah dinominasikan Aktor Pembantu Terbaik Oscar lewat As Good As It Gets (1998), Greg Kinnear bermain sebagai Steve Miller, ayah pemusik yang berupaya berdamai dengan putrinya paska perceraian dengan istrinya.
Bobby Coleman sebagai Jonah Miller
Liam Hemsworth sebagai Will Blakelee
Kelly Preston sebagai Kim

Director:
Merupakan debut layar lebar pertama bagi Julie Anne Robinson yang sebelumnya hanya menyutradarai beberapa serial televisi termasuk 5 episode Grey's Anatomy.

Comment:
Saya harus katakan film ini sebetulnya memiliki potensi yang baik tetapi sayangnya banyak sekali kesalahan mendasar di dalamnya. Saya ingin sekali menyukainya seperti saya mampu menontonnya dengan cukup antusias tapi banyak hal yang sebetulnya buruk untuk ukuran sebuah tontonan.
Pertama, Miley Cyrus mencoba usaha terbaiknya untuk berakting disini. Di beberapa scene cukup berhasil tetapi secara keseluruhan tidak ada alasan yang kuat untuk mengubah moodnya dari on (bercinta, bergembira) menjadi off (marah, memaki) ataupun sebaliknya sepanjang film. Sayang sekali upayanya untuk keluar dari karakter Hannah Montana belum berhasil.
Kedua, plot film terkadang kebingungan untuk memberikan porsi lebih untuk hubungan ayah dan putrinya yang bermasalah atau dua remaja berlawanan jenis yang putus sambung? Berbagai subplot yang dibebankan di antaranya juga tidak berhasil membelokkan fokus film.
Ketiga, skripnya teramat klise dan mudah ditebak. Sutradara Robinson juga tidak mampu memberikan kontribusi untuk memasukkan hal-hal baru untuk menghindari stereotype film-film adaptasi penulis Nicholas Sparks. Terlalu banyak elemen-elemen sejenis yang terbawa disini.
Beruntung masih ada beberapa nilai plus yang menyelamatkan film ini dari kategori sampah seperti gemilangnya akting Kinnear dan Coleman sebagai ayah dan anak yang menampilkan perubahan emosi dengan baik. Juga harus diakui Cyrus dan Hemsworth terlihat good looking serta kisah cinta di dunia nyata mempengaruhi chemistry keduanya disini.
Selebihnya The Last Song hanyalah drama remaja biasa yang gampang sekali ditebak alurnya. Inkonsistensi mewarnai keseluruhan durasi. Ada scene tertentu yang disajikan mellow tapi tidak benar-benar menohok perasaan penontonnya. Sayang sekali!

Durasi:
105 menit

U.S. Box Office:
$62,933,793 till mid July 2010.

Overall:
7 out of 10

Movie-meter:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent

Monday 23 August 2010

COUPLES RETREAT : Liburan Pulau Tropis Penyuluhan Pasutri Bermasalah

Quotes:
Dave: [Referring to Twitter] I call it twatting.

Storyline:
Tiga pasang suami istri masing-masing Dave-Ronnie, Jason-Cynthia, Joey-Lucy saling bersahabat satu sama lain disamping Shane-Jennifer yang telah bercerai. Krisis pernikahan telah dialami ketiga pasang tersebut dan Jason-Cynthia yang pertama kali menyatakan pada acara kumpul bersama di suatu malam. Namun Jason-Cynthia memiliki ide untuk berlibur ke pulau tropis dan mengikuti konseling pernikahan. Demi menghemat biaya, mereka memaksakan teman-temannya untuk ikut dengan dalih menikmati perjalanan saja. Sesampai disana, merekapun dihadapkan pada serangkaian tes bersama yang mungkin menentukan kelanjutan hubungan masing-masing. Berhasilkah mereka melewati semua itu?

Nice-to-know:
Karakter kakek Jim Jim di film ini merupakan ayah kandung asli dari Vince Vaughn yang bernama Vernon Vaughn.

Cast:
Jason Bateman sebagai Jason Smith
Kristen Bell sebagai Cynthia
Faizon Love sebagai Shane
Vince Vaughn sebagai Dave
Jon Favreau sebagai Joey
Malin Åkerman sebagai Ronnie
Kristin Davis sebagai Lucy
Kali Hawk sebagai Trudy
Tasha Smith sebagai Jennifer
Carlos Ponce sebagai Salvadore
Jean Reno sebagai Marcel

Director:
Merupakan karya kedua bagi Peter Billingsley setelah The Sacred Fire (1994).

Comment:
Ide film ini harus diakui menarik apalagi bertaburan aktor-aktris komedi (kebanyakan serial televisi ternama Amerika) yang memang gape di bidangnya. Sebut saja Vince Vaughn yang belakangan ini komedi-komedinya seringkali tembus angka 100 juta dollar di Amerika Utara saja. Belum lagi ada Kristin Davis yang kali ini lepas dari kwartet Sex and the City. Juga Kristen Bell, Jon Favreau, Jason Bateman juga bukan nama-nama asing. Penokohan semua karakternya bisa dikatakan beragam dan masing-masing mendapat porsi yang seimbang. Menarik melihat berbagai macam tingkah laku dan cara pandang mereka dalam memecahkan masalah rumah tangga.
Unsur humoris yang coba dihadirkan sepanjang film masih terasa naik turun, terkadang lucu, terkadang hambar. Komedi situasional yang diangkat juga masih terkesan tanggung disana-sini. Walaupun demikian problema pasangan yang sudah menikah lama memang terasa umum dam bisa menjadi refleksi anda sendiri, ketika kehadiran anak, kesibukan karir bisa menyebabkan kurang komunikasi yang berujung salah pengertian. Semua itu bukan berarti tidak bisa dipecahkan bersama jika anda mau saling terbuka dan memahami, bukan?
Couples Retreat seharusnya bisa menjadi film drama komedi yang lebih berisi jika skripnya dimatangkan dengan eksekusi yang lebih cerdas. Sayangnya sutradara kurang memaksimalkan potensi yang sebenarnya sudah ada sehingga hasil akhirnya hanya menjadi hiburan ringan seenteng cemilan di tangan anda saat menyaksikannya.

Durasi:
110 menit

U.S. Box Office:
$109,176,215 till end of Jan 2010.

Overall:
7 out of 10

Movie-meter:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent

More Cement, Take Two


For Jean Harlow, whose stardom seemed cemented after her soon to be nationally released “Dinner at Eight” (1933), it was case of “try, try again” when getting the star treatment at Grauman’s Chinese Theater.

On September 25, 1933, she was the main attraction on stage at the Chinese Theater for a live ceremony before a paying audience to watch her plunk her hands and her high-heeled shoes into a slab of wet cement. Presumably flashbulbs, presumably applause, and presumably a handy towel to wipe the gunk off her hands and shoes.

Not presumed at all was the quick-drying cement, which had dried so quickly that when the slab was attempted to be moved, it was dropped. Smashed to smithereens.

Take two. Four days later, a very game Jean Harlow repeats the ceremony, this time outdoors on the sidewalk, on September 29, 1933. “To Sid in Appreciation - Jean Harlow” she signed the new slab of wet cement, and presumably Sid Grauman appreciated her return engagement.

Jean Harlow, sadly, did not have too many more second chances in her young life. She died four years later in 1937, at 26 years old.

For more on the footprints in cement occasion, have a look at this website.

Sunday 22 August 2010

CATS & DOGS : THE REVENGE OF KITTY GALORE

Tagline:
Just like real spies... only furrier.

Storyline:
Sejak dulu kucing dan anjing selalu bermusuhan. Namun mantan agen terbaik MEOWS bernama Kitty Galore memiliki dendam terhadap anjing dan manusia sekaligus dikarenakan pernah terjatuh dalam cairan kimia yang menyebabkan bulunya rontok dan disingkirkan. Menjadi kucing peliharaan pesulap sirkus The Mighty, Kitty diam-diam merencanakan pembalasan yaitu meluncurkan "Panggilan Liar" ke seluruh dunia yang akan membuat anjing-anjing menjadi kalap dan akhirnya disingkirkan manusia. Kini mantan anjing polisi Shane bernama Diggs yang dibebas tugaskan harus bekerjasama dengan agen MEOWS, Christine untuk menggagalkan rencana gila tersebut.

Nice-to-know:
Mantan pemeran James Bond, Roger Moore mengisi suara karakter bernama Lazenby disini, mengingatkan saat ia mengambil peran Bond dari tangan George Lazenby sebelumnya.

Voice:
James Marsden sebagai Diggs
Nick Nolte sebagai Butch
Christina Applegate sebagai Catherine
Katt Williams sebagai Seamus
Bette Midler sebagai Kitty Galore
Neil Patrick Harris sebagai Lou
Jangan lupakan missing actor, Chris O'Donnell sebagai polisi Shane di awal dan akhir film!

Director:
Pria kelahiran Kanada bernama Brad Peyton ini belum banyak dikenal karya-karyanya termasuk yang terakhir A Tale of Bad Luck (2004) .

Comment:
Film pertamanya menurut saya cukup menghibur terlepas dari stereotype-stereotype yang tidak masuk akal. Bagaimana nasib sekuelnya ini setelah 9 tahun dikembangkan? Dari segi modernisasi tentunya berkembang pesat, terbukti berani mengambil tema spionase anjing dan kucing yang dibekali dengan peralatan canggih mulai dari kalung serbaguna, pesawat udara hingga markas yang super megah dan komplit! Para anjing diberikan misi lalu diharuskan bekerjasama dengan kucing untuk memerangi antagonis yang ingin menghancurkan dunia. Satu plot yang tidak asing bagi spy movies dari berbagai jaman. Pendekatan komedi parodi merupakan cara teraman daripada berusaha terlalu serius tetapi beresiko kegagalan yang dalam. Lihat beberapa scene yang mengingatkan pada franchise James Bond ataupun Silence Of The Lambs saat Christine menginterogasi Mr. Tinkles. Dari segi sulih suara, aktor-aktris yang sudah memiliki nama melakukan yang terbaik hanya saja kedalaman karakternya memang tidak terlalu dituntut disini.
Beberapa adegan memang terasa membodohi penonton seperti protagonisnya melakukan "googling" dan muncullah semua data-data yang dibutuhkan. Atau semua situasi sulit yang dihadapi protagonisnya tiba-tiba diselesaikan begitu saja. Itulah yang mungkin membuat film ini masuk dalam 100 film berating terendah di IMDB. Kelemahan skenario yang kentara semakin diperjelas dengan kinerja sutradara yang tidak matang. Efek CGI yang digunakan sepanjang film juga tidak menawarkan hal baru, jauh berbeda dengan G-Force yang lebih hi-tech itu. Lantas dibebatkan pula elemen 3D. Entah apa yang ada di pikiran sang produser? Namun satu pesan saya, sikapilah Cats & Dogs : The Revenge Of Kitty Galore sebagai hiburan belaka dengan menggunakan kacamata kanak-kanak anda dan kualitas keseluruhannya akan sedikit termaafkan. Ada baiknya mengajak rekan menonton yang lebih muda agar lebih menetralkan persepsi anda. Ohya, cuplikan kartun 5 menit sebagai pembuka film mungkin akan membuat anda terpingkal-pingkal.

Durasi:
80 menit

U.S. Box Office:
$35,218,937 till mid August 2010.

Overall:
6.5 out of 10

Movie-meter:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent

Saturday 21 August 2010

STREETDANCE : Memecahkan Konflik Berfokus Kompetisi Tari

Tagline:
Two Worlds. One Dream.

Storyline:
Carly tengah kelimpungan saat ditinggalkan kekasih sekaligus rekan tarinya Jay yang ingin rehat untuk sementara waktu di tengah persiapan grup mereka menghadapi Kejuaraan Nasional Dance Inggris. Secara tidak sengaja ketika mengantar fast food, Carly berjumpa Miss Helena yang kemudian menawarkan tempat berlatih bagi grupnya asalkan bisa berbagi dengan grup balet yang beranggotakan salah satunya Tomas yang tertarik pada Carly sejak awal. Perbedaan dasar tari jalanan dan balet sempat membuat Carly dan grup balet Tomas bersitegang. Namun mau tak mau Carly harus bekerjasama sebaik mungkin untuk tampil maksimal di Kejurnas dengan sisa waktu dua minggu sekaligus menantang juara bertahan The Surge.

Nice-to-know:
Diproduksi oleh Vertigo Films yang bekerjasama dengan BBC Films dan Little Gaddesden Productions.

Cast:
Para pemainnya belum banyak dikenal karena berasal dari Inggris Raya
Charlotte Rampling sebagai Helena
Nichola Burley sebagai Carly
Richard Winsor sebagai Tomas
George Sampson sebagai Eddie
Rachel McDowall sebagai Isabella
Frank Harper sebagai Fred
Ukweli Roach sebagai Jay

Director:
Kerjasama pertama bagi Max Giwa dan Dania Pasquini yang sama-sama pernah membintangi satu dan dua episode serial televisi The Real Extras (2007).

Comment:
Plotnya nyaris serupa dengan Step Up yaitu penyatuan balet dan tari jalanan, bedanya kerjasama kelompok lebih ditekankan daripada sepasang penari utama disini. Dan ini produksi Inggris, bukan Amerika yang sudah mencatatkan banyak sekali film sejenis. Tidak terlalu sulit menerka jalan ceritanya dari awal sampai akhir. Kinerja sutradara dan akting para pemainnya pun tergolong standar dikarenakan mereka benar-benar penari dan samasekali tidak berpengalaman di dunia akting! Walaupun tetap eye-candy dengan good looking dan hot body tentunya. Lantas apa yang berusaha diunggulkan?
Pertama, koreografinya terasa original terutama di awal dan sebagian di pertengahan yang diakhiri dengan kreatifitas dan sinergi yang sangat baik untuk finale.
Kedua, musiknya sangat menyengat dengan nuansa rap dan hip hop yang sangat kental, berhasil membangkitkan energi penonton yang menyaksikannya.
Dua unsur itu rasanya sudah cukup menempatkan Street Dance sebagai film tari yang fresh. Belum lagi dibekali dengan konsep 3D dan menjadikannya yang pertama walaupun akan segera disusul oleh Step Up 3 beberapa minggu lagi. Sayangnya di Indonesia hanya beredar non 3D nya tetapi itupun sudah membuat saya menikmati dengan cukup antusias sepanjang durasinya dan terus terang akan mencari soundtracknya. Tak lupa nuansa persahabatan, pengkhianatan, romantika juga dihadirkan. Pesan moral yang ingin dibebatkan adalah perbedaan seharusnya menyatukan dan kemenangan akhir rasanya tidak terlalu penting lagi nilainya jika kerja keras sudah terbayar dengan maksimal. Go see it in British style and taste the difference!

Durasi:
95 menit

U.K. Box Office:
£11,488,200 till early July 2010.

Overall:
7.5 out of 10

Movie-meter:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent

Thursday 19 August 2010

Roz Russell's Waterbury Premiere

Rosalind Russell experienced a very special, but precarious, movie premiere when her comedy “The Girl Rush” (1955) premiered in her hometown of Waterbury, Connecticut. What began as an exciting and poignant celebration of, as the newsreel narration put it, “hometown girl makes good”, ended in a frightening disaster when an unforeseen flood nearly obliterated Waterbury that night.

She wrote in her autobiography, “Life is a Banquet” (with Chris Chase, Random House, NY, 1977) “Nineteen fifty-five was my year for attracting natural disasters.”

Mayor Snyder, Rosland Russell, and Gloria DeHaven.



The festivities were scheduled for August 18th. Roz (as she was referred in the local paper), was due to arrive by train along with her co-stars from the film, Fernando Lamas, Eddie Albert, and Gloria DeHaven (who we last saw in this post on “Summer Stock” - 1950)

According to author Bernard F. Dick’s biography, “Forever Mame - The Life of Rosalind Russell” (University Press of Mississippi, 2006), Miss Russell arrived the day before, visited with siblings and her elderly mother, and prepared to take on the public mantle of hometown hero.

Miss Russell remarks in her autobiography, “Waterbury authorities explained that I was the only motion picture star to have a theatre named for her (I don’t know whether they meant in Waterbury or in the United States or in the entire world, but how could such a declaration not go to a girl’s head?)”

In “Life is a Banquet” she puts us right in the middle of the scenario, “Before the rains came, I rode in a parade in a white satin dress that was all beaded, with a matching little thing that sat on my head, being Princess Grace all over the joint.”

The stars, along with the flock of Paramount newsreel men, the inevitable publicity department, and some 10,000 townspeople straggling on the sidewalks to watch the parade, would be taken from the railroad station to the Elton Hotel, the swank spot in town.

After a luncheon, the Hollywood contingent were then to be whisked away to City Hall where Mayor Raymond E. Snyder, Sr. (who incidentally had bought Rosalind Russell’s parent’s home a couple of decades before and turned it into a funeral parlor, which it remains), would present her with the key to the city. They were also to get a tour of town, including some of the Brass City’s famous industries, and Roz’s birthplace.

Dave Garroway (who is mentioned as having a problem with chimpanzees on the set of The Today Show in this post from Monday), showed up with his Today Show crew to film the festivities live on television from the Elton Hotel.

Roz’s take: “There was a big dinner at the great snob Waterbury Club, and my brother had to make a speech, and everything was to be televised - crews had been there for a week, setting up cameras all over the Waterbury green.”

They were in the right place to broadcast an even bigger surprise story the next day.

The evening of the 18th, they all headed over to the State Theater, which had just been re-named the Rosalind Russell State Theater, to watch the premiere of “The Girl Rush.” The Mattatuck Drum Band and a U.S. Marine Color provided escort.

Roz writes in her autobiography that, “there was a drum and fife corps - that’s very big in Connecticut; they always wear tricorne hats.”

The shots of Roz accompanying this post are all from a newsreel. Here is the plaque Roz unveiled marking the occasion.

Limos downtown, and powerful spotlights sweeping the cloud-covered night sky. Nothing like it had ever been seen in this factory town. Nothing ever would again. By morning, the Rosalind Russell State Theater, like much of the downtown, would be under several feet of water.

That cloud-covered sky. It had been raining pretty steadily all day during the celebrations on the 18th. By late that evening, smaller brooks in the Naugatuck River valley would jump their banks. The mighty Naugatuck itself, which powered so much industry in Waterbury, would morph in the wee hours to a monstrous thing that scraped factories, stores, and homes to rubble before morning, and leave some 30 people dead in Waterbury and over 90 people dead or missing and presumed dead total in the towns of the Naugatuck Valley.

Astonishing was the suddenness of the event. To be sure, Hurricane Diane had spent a couple of weeks sliding up the Eastern seaboard, but it made a sharp right turn out to sea before ever entering New England. It, and Hurricane Connie, dropped more rain than the already sodden ground could take, and what had begun as a gloomy day became a fearful night of torrential downpour, causing destruction no one could have predicted.

Roz fortuitously left right after the premiere, rented a car with her maid and a driver, and they made their way to New Haven while the bridges were being washed out in Waterbury.

From Roz’s autobiography: “I directed the driver - ‘Go up this hill, go down that lane, I know this town’ - because I realized if we could get to New Haven, we could get from there to New York. There was no hope of driving along the Naugatuck Valley toward Bridgeport; the Naugatuck River had overflowed.”

Her intention was to make it to the next publicity chore, the Ed Sullivan Show in New York City on the 21st, for an appearance with co-star Gloria DeHaven to promote “The Girl Rush.”

According to Mr. Dick's book, Miss DeHaven, however, got stuck in Waterbury temporarily until train service resumed.

Recovery took weeks, months, even years for some people. Some businesses, and people, never did recover.

According to this Cinema Treasures information, the State Theater had at various times, been called the Broadway, the Bijou, or the Rialto. It was torn down a couple decades ago. Currently, it is a parking lot.

This remarkable event was the last time Rosalind Russell ever visited Waterbury. Truly, the dual theatrical masks of comedy and tragedy were worn on this night.

For more on the New England Flood of 1955, have a look at tomorrow’s “New England Travels” blog.

VAMPIRES SUCK : Gadis Biasa Jatuh Cinta Dengan Vampir Berkilau

Tagline:
From the guys who couldn't sit through another vampire movie!

Storyline:
Remaja putri Becca Crane pindah ke kota baru bersama ayahnya dan mulai mengenal sekolah barunya. Disana ia berjumpa Edward Sullen dan kedua saling jatuh hati sejak pandangan pertama. Namun sesungguhnya Edward memang sangat berbeda dari remaja putra kebanyakan karena rahasia yang disimpannya. Belum lagi adanya Jacob White yang sudah bersahabat dengan Becca sejak kecil. Siapa yang akhirnya dipilih Becca untuk mendampinginya pada pesta dansa sekolah?

Nice-to-know:
Diproduksi oleh Regency Enterprises dan Road Rebel dan kemudian didistribusikan oleh Twentieth Century Fox untuk peredaran internasionalnya.

Cast:
Jenn Proske sebagai Becca Crane
Matt Lanter sebagai Edward Sullen
Diedrich Bader sebagai Frank Crane
Chris Riggi sebagai Jacob White
Charlie Weber sebagai Jack

Director:
Kolaborasi kelima sejauh ini bagi Jason Friedberg dan Aaron Seltzer termasuk Epic Movie (2007).

Comment:
Melihat poster dan premisnya, tidak sulit samasekali menduga film apa yang diparodikan. Betul sekali jika jawaban anda The Twilight Saga tapi hanya bagian pertama dan keduanya saja ditambah beberapa comotan film-film terkenal musim ini seperti Alice In Wonderland hingga serial televisi tenar Glee pun tidak ketinggalan. Plotnya sama persis dengan versi aslinya hanya saja dinuansakan humor slapstick nyaris di setiap scenenya. Jujur saya hanya menikmati 20-25 menit durasi awalnya (sama halnya dengan Disaster Movie) dimana personifikasi terdekat coba dilakukan mulai dari bahasa tubuh, gaya bicara para tokohnya sampai setting dan musik latar yang membelakanginya, lucu rasanya melihat aktris debutan Proske menirukan semua yang sudah dibawakan Stewart, Becca substitusi Bella?! Selepas itu kelucuannya menjadi absurd dan amat sangat dipaksakan. Seltzer dan Friedberg tampak terlalu "berusaha" memberikan lawak yang jitu meskipun basi sekaligus over-the-top dengan adegan-adegan dan dialog-dialog yang sungguh mengganggu akal sehat. Bagi pecinta The Twilight Saga, anda bisa jadi tersinggung melihat tokoh-tokoh idolanya diperlihatkan dalam kebodohan demi kebodohan yang tiada habisnya dan mungkin meninggalkan gedung bioskop lebih awal. Namun jika anda yang bukan fan, bisa jadi terhibur dengan parodi ini. Bagaimanapun juga, Vampires Suck hanyalah alternatif lain dari euforia The Twilight Saga yang sukses gila-gilaan di tangga box-office dunia itu. Tidak salah bukan? Walaupun hasil akhirnya belum tentu dapat dipertanggungjawabkan.

Durasi:
80 menit

U.S. Box Office:
$15,000,000 in first week, mid August 2010.

Overall:
6 out of 10

Movie-meter:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent

Tuesday 17 August 2010

IRREVERSIBLE : Telusur Balik Satu Kejadian Tak Terduga

Tagline:
Le temps détruit tout - Time destroys everything!

Storyline:
Diawali dengan sekuens gay club bernama The Rectum dimana dua pria masuk dengan tujuan mencari seseorang bernama Le Tenia. Lewat serangkaian adegan kemudian berpindah pada kejadian dimana wanita cantik bernama Alex diperkosa dan dianiaya dengan brutal oleh pria asing di terowongan bawah tanah. Sebelumnya pacar Alex, Marcus dan mantan kekasih Alex, Pierre tengah bercengkrama di sebuah pesta. Bagaimana semua kejadian tersebut terangkai menjadi sebuah frame utuh?

Nice-to-know:
Sutradara Noe hanya memiliki draft tiga halaman untuk film ini sebelum memulai syutingnya sehingga mengharuskan para pemainnya berimprovisasi sendiri dalam berdialog.

Cast:
Sebelum ini Monica Bellucci tampil dalam Asterix and Obelix Meet Cleopatra (2002) dan sekarang bermain sebagai Alex.
Sempat mendampingi Nicole Kidman dalam The Birthday Girl (2001), Vincent Cassel berperan sebagai Marcus.
Albert Dupontel sebagai Pierre.
Jo Prestia sebagai Le Tenia.

Director:
Pria kelahiran Buenos Aires bernama Gaspar Noé ini terakhir mendapat pujian besar lewat karyanya I Stand Alone (1998).

Comment:
Sedikit terlambat mengetahui film ini dan baru belakangan mendapat referensi menontonnya dari beberapa teman, saya menyempatkan menontonnya tanpa berekspektasi atau berpengetahuan apapun. Menit-menit pertama harus diakui sangat memusingkan dimana adegan nudis juga aksi seksual dalam sebuah gay club diekspos secara gamblang dengan pencahayaan gelap kemerahan menggunakan apa yang tampak seperti kamera tangan. Hal tersebut berlangsung lama dan kesengajaan sutradara tersebut sempat membuat 200 orang dari total 2400 orang melenggang keluar bioskop pada pemutaran Festival Film Cannes (2002). Setelah memasuki menit ke-30, kembali audiens dibuat shock dengan adegan perkosaan brutal di terowongan bawah tanah yang cukup panjang selama 9 menit. Banyak respon terhadap scene ini dimana sebagian penonton bahkan merasa turn on sedangkan sebagian lagi merasa miris dibuatnya. Dua sekuens tersebut merupakan aset terbesar film ini ditambah penampilan gemilang Bellucci yang cantik seksi tapi bernasib malang, Cassel dan Dupontel juga berakting baik sebagai dua orang sahabat yang juga rivalitas dalam cinta. Sutradara Noe patut diacungi jempol untuk kreatifitasnya memainkan timeline film yang berjalan mundur dari belakang ke depan dan keberaniannya menampilkan keekstriman aksi kekerasan secara nyata. Itulah yang membuat Irreversible menjadi cult movie yang sangat spesial dari Perancis dengan nuansa Eropa yang kental. Jelas bukan film yang bisa disukai siapapun juga karena akan menghadirkan perasaan campur aduk setelah menyaksikannya tetapi harus diakui sangat brilian dan tidak biasa pengeksekusiannya.

Durasi:
95 menit

U.S. Box Office:
$753,501 till April 2003.

Overall:
8 out of 10

Movie-meter:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent

Monday 16 August 2010

Lester Colodny's Hollywood Memoir


Lester Colodny learned many things in the course of his career, such as Frank Sinatra did not like to rehearse. Mr. Colodny found this out by attempting to direct him in a commercial.

Mr. Colodny also found out that several chimpanzees let loose on live television is not a happy situation. He discovered this as an associate producer for “The Today Show”. Host Dave Garroway, whose idea it was, must have seen his error immediately as the chimps assaulted Mr. Garroway and the rest of his stunned cast, including Frank Blair, Jack Lescoulie, and a very young, beautiful, and horror-stricken Florence Henderson.

In his recently published memoir, “A Funny Thing Happened - Life Behind the Scenes: Hollywood Hilarity and Manhattan Mayhem” (SciArt Media, publisher) written by Mr. Colodny with Susan Heller, an amazing career of twists and turns, often under the silliest of circumstances, is chronicled by this now 85-year-old gentleman who currently directs community theatre in New England.

Lester Colodny has been a writer of plays, ad copy, of news précis, and screenplays. He stumbled into acting and stumbled into Mae West, touring with her show “Diamond L’il”. He worked as a literary agent, a talent agent, and director of television commercials. He won an Emmy Award for a special with Jack Benny he wrote, directed and produced. He won several “Clio” awards for his unique “Xerox” commercials. He created the television show “The Munsters”.

He recounts a Hollywood party where Rod Steiger and Lee Marvin endured a spectacular fistfight. Colodny worked with, and partied with, and shares his memories of such Hollywood luminaries as Lana Turner (whom he dated), Cary Grant, Lucille Ball and Desi Arnaz (and several other party crashers that would be a name-dropper’s paradise), Jerry Lewis, and the Beatles, among a score of others.

He would also direct another commercial with a very young Richard Dreyfuss.

For more on my interview with Mr. Colodny, have a look here at my New England Travels blog, and here at my Tragedy and Comedy in New England blog. To order your copy of this unique memoir by a very funny guy, have a look here at the SciArt Media website.

Sunday 15 August 2010

THE BACK UP PLAN : Inseminasi Buatan Pengaruhi Romantisme

Tagline:
Fall in love.* Get married. Have a baby. *Not necessarily in that order.

Storyline:
Berulang kali Zoe putus cinta membuatnya pesimis untuk membina rumah tangga. Supaya tidak kesepian ia mematangkan rencananya yaitu menjalani inseminasi buatan dengan sperma dari bank donor yang tidak diketahuinya. Setelah menjalani proses tersebut dengan Dr. Scott, Zoe bertemu pria rupawan bernama Stan dan keduanya saling tertarik satu sama lain. Masalah mulai timbul saat Zoe mengetahui Stan tidak terlalu berkeinginan memiliki anak dikarenakan masa depannya yang belum jelas. Dilema semakin memuncak ketika Zoe akhirnya mengatakan semuanya kepada Stan. Akankah kedua orang dewasa ini dapat saling memahami satu sama lain di tengah sensitifitas dan ego masing-masing?

Nice-to-know:
Petshop milik J.Lo dalam film bertetangga dengan sebuah bangunan yang memiliki graffiti bertuliskan "M.A. + J.L." yang bisa dibaca inisial J.Lo bersama suami aslinya, Marc Anthony.

Cast:
Mulai mendapat perhatian lewat peran Selena (1997) yang membuatnya mendapatkan nominasi Aktris Terbaik Golden Globe, Jennifer Lopez kali ini bermain sebagai Zoe, wanita yang putus asa dengan cinta dan bertekad menjadi single parent.
Satu lagi aktor Australia yang memulai debutnya via Oyster Farmer (2004) bernama Alex O'Loughlin yang merambah Hollywood dan disini berlakon sebagai Stan, pemilik pertanian organik yang tidak menyukai anak-anak.
Michaela Watkins sebagai Mona
Eric Christian Olsen sebagai Clive
Linda Lavin sebagai Nana

Director:
Angkat nama sebagai produser serial televisi top Six Feet Under yang sempat mendapatkan nominasi Emmy Awards, Alan Poul pertama kalinya mengarahkan film layar lebar lewat film ini.

Comment:
Melihat trailernya, saya pikir cukup menarik untuk disaksikan apalagi premis taglinenya yang cukup kuat. Tema yang sebetulnya fresh dan belum banyak diangkat sebelumnya. Tapi hati-hati karena mengeksplorasinya cukup beresiko akan aspek realitanya. Dan kekhawatiran saya terbukti dengan kebingungan sutradara Poul menempatkan porsi film antara komedi dan drama secara seimbang. Apakah hal tersebut dipicu oleh kurang pengalamannya sebagai sutradara layar lebar? Harusnya tidak karena ia telah berpengalaman sebagai produser yang tentunya tahu bagaimana menjual film dengan baik.
Selayaknya komedi romantis yang menjual pasangan utamanya, disini Lopez dan O'Loughlin berbagi chemistry dengan baik. Alex terlihat fresh dan sangat hunky (walau kata yang disebut terakhir bisa jadi dipaksakan untuk memikat kamera dikarenakan banyaknya adegan topless yang dilakukannya). J.Lo pun tetap bugar dan seksi seperti biasanya walau nyaris tidak ada pengembangan karakter dari apa yang pernah ditampilkannya. Namun sayangnya tidak banyak alasan kuat yang dapat dijadikan pembuka atau penutup konflik di antara mereka sepanjang film. Coba anda bayangkan jika anda berada di posisi Stan apakah dapat berjiwa demikian besar menerima Zoe yang tengah mengandung bayi (entah milik siapa) bukan hanya satu tetapi dua terlepas dari kehidupan pribadi yang harus ia biayai sendiri? Hm, i don't think so. It's kinda too good to be true..
Bagaimanapun juga terlepas dari segala kekurangan yang tidak realistis itu, The Back Up Plan masih memiliki beberapa sentuhan romantisme di beberapa bagian disisipi dengan humor segar tentang proses melahirkan yang bisa jadi membuat anda tertawa spontan. Seharusnya bisa lebih baik lagi jika skenario digarap dengan lebih matang atau skrip dituangkan dengan lebih berbobot Satu konflik cinta yang mungkin saya alami sendiri tertuang disini lewat dialog: Why are u keep pushing people away? Ah, curhat jadinya..

Durasi:
105 menit

U.S. Box Office:
$37,481,242 till mid Jul 2010.

Overall:
7 out of 10

Movie-meter:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent

Saturday 14 August 2010

THE EXPENDABLES : Tuntaskan Misi Jantan Pembunuhan Diktator

Tagline:
Heroes today. Legends forever

Storyline:
Kelompok pejuang bernama The Expendables yang dipimpin Barney Ross beranggotakan ahli pisau Lee Christmas, jago kungfu Yin Yang, spesialis senjata berat Hale Caesar, peledak Toll Road dan penembak jitu Gunner Jensen. Ketika mereka semua ditugaskan Mr. Church yang misterius untuk membunuh diktator pulau kecil di Amerika Selatan, General Garza yang diback up oleh mantan anggota CIA, James Munroe dan asistennya, Paine. Tugas yang tidak mudah karena harus menghadapi ribuan tentara bayaran dan juga kehadiran Sandra, putri jenderal yang ingin menghentikan ayahnya sendiri. Akankah misi tersebut dapat diselesaikan dengan baik?

Nice-to-know:
Jean Claude Van Damme dan Wesley Snipes sempat ditawarkan peran tapi membatalkan keikut sertaannya hingga Dolph Lundgren dan Forest Whitaker mengisinya.

Cast:
Sylvester Stallone sebagai Barney Ross
Jason Statham sebagai Lee Christmas
Jet Li sebagai Ying Yang
Dolph Lundgren sebagai Gunner Jensen
Eric Roberts sebagai James Munroe
Randy Couture sebagai Toll Road
Steve Austin sebagai Paine
David Zayas sebagai General Garza
Giselle Itié sebagai Sandra

Director:
Pertama kali Sylvester Stallone merangkap sebagai aktor, penulis dan sutradara lewat Paradise Alley (1978) dan diulanginya beberapa kali sampai tahun 2010 ini.

Comment:
Daya pikat utama film ini harus diakui adalah jajaran cast yang sangat mendukung untuk sebuah film aksi, bukan hanya 1-2 nama tapi lebih dari 10 nama! Semua itu diprakarsai oleh Stallone seorang yang bekerja keras meyakinkan bintang-bintang tersebut untuk bermain. Jika sudah demikian, tinggal dibutuhkan skrip yang baik dan menurut saya Stallone cukup cerdas menyiasati apa yang bisa dimaksimalkan dan harus diminimalkan. Suatu misi mustahil yang harus dijalani sekelompok personil tentunya tidak asing lagi dan mungkin endingnya sudah dapat diduga, yang menarik sebetulnya proses menuju kesana.
Dari sisi maksimalnya, Stallone benar-benar menyuguhkan semuanya mulai dari ledakan besar, adu tembak, kebut-kebutan, pertarungan jarak dekat dll dengan bantuan granat, bom asap, bensin, pesawat tempur, mobil, pisau belati, peluru, senapan riffle, machine gun dsb yang dipastikan membuat darah berhamburan ataupun anggota tubuh yang tercerai-berai. Itulah sebabnya film ini tidak direkomendasikan bagi yang lemah jantung ataupun kemungkinan pencemaran suara karena tingginya volume yang digunakan.
Dari segi minimalnya, beberapa dari cast memang tidak muda lagi termasuk Stallone sendiri tetapi ia mengarahkan nama-nama tersebut sesuai porsinya masing-masing. Statham yang memang aktor action sejati saat ini memegang porsi terbesar berantem satu lawan satu, Jet Li di luar fisik "mini"nya tetap dibutuhkan untuk porsi beladiri, yang lainnya tetap dibiarkan masuk dengan bantuan senjata. Menarik bukan? Pembagian scene demi scene juga tergolong merata dan tidak ada unsur pemaksaan. Dialog di antara karakternya pun terasa tajam dan sinis terutama di paruh pertama film, mungkin ini yang menyebabkan tingginya rating yang kebanyakan diberikan penonton di Amerika Utara dan sekitarnya.
Yang juga terasa minus adalah spesial efeknya yang masih terasa kasar di sebagian besar adegan meskipun bujetnya sudah membengkak 15-20 juta dollar dari 60 juta yang semula direncanakan. Originalitasnya juga diragukan walau mungkin tidak akan terlalu penting.
The Expendables dari berbagai sisi terasa seperti film aksi tahun 1980an atau 1990an tetapi tetap terasa kekiniannya karena setia pada pakem yang ingin dinikmati penonton yang belakangan ini kesulitan mencari adegan aksi yang baik untuk memacu adrenalin mereka terutama kaum pria. Nantikan saja sekuelnya dengan misi yang lain lagi.

Durasi:
95 menit

U.S. Box Office:
$13,300,000 in opening day Aug 12, 2010.

Overall:
7 out of 10

Movie-meter:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent