Sunday 31 October 2010

TAKERS : Kolaborasi Pencurian Berbuntut Perpecahan

Quotes:
Gordon Jennings: We're takers, gents. That's what we do for a living. We take.

Storyline:
Kawanan perampok kawakan yaitu Gordon Jennings, John Rahway, A.J. dan kakak beradik Jake dan Jesse Attica sukses melengkapi misi terakhir mereka dan menuju kehidupan mewah sambil memikirkan pekerjaan mereka masing-masing selanjutnya. Ketika Ghost, mantan anggota mereka yang dibebaskan dari penjara, meyakinkan kawanan tersebut untuk membajak kendaraan yang membawa 20 juta dollar. Kesemuanya setuju dan merancang strategi terbaik walaupun diintai kawanan polisi termasuk duet Jack dan Eddie yang semakin dekat untuk membekuk mereka. Akankah misi tersebut berhasil?

Nice-to-know:
Dialog pertama dan terakhir antara karakter Idris Elba dan karakter Paul Walker benar-benar sama, hanya terjadi pertukaran di antara mereka.

Cast:
Mengawali karir aktornya lewat Belle maman (1999), Idris Elba disini didapuk sebagai Gordon Jennings.
Film pertamanya setelah tampil dalam Fast & Furious (2009), Paul Walker bermain sebagai John Rahway.
Terakhir muncul dalam Armored (2009), Matt Dillon kini berperan sebagai Jack Welles.
Chris Brown sebagai Jesse Attica
Hayden Christensen sebagai A.J.
Michael Ealy sebagai Jake Attica
Steve Harris sebagai Lt. Carver
T.I. sebagai Ghost (as Tip 'T.I'. Harris)
Jay Hernandez sebagai Eddie Hatcher
Zoe Saldana sebagai Rachel
Johnathon Schaech sebagai Scott
Marianne Jean-Baptiste sebagai Naomi

Director:
Sejauh ini baru karya penyutradaraan kedua bagi John Luessenhop setelah Lockdown (2000).

Comment:
Jalinan ceritanya mengingatkan saya akan The Italian Job yang legendaris itu. Plus dengan berbagai subplot di dalamnya yang saling kait-mengait terbilang mengadopsi gaya Crash. Namun jangan harapkan hasil akhirnya outstanding apalagi sampai memenangkan penghargaan internasional.
Penyebabnya adalah terlalu banyak yang berusaha disampaikan disini dan pada akhirnya tidak tertangkap dengan baik. Coba bayangkan segala permasalahan mulai dari kakak beradik yang bertengkar karena narkoba, dua rekan polisi yang bermasalah dengan keluarganya, cinta segitiga antar rekan pencuri dimana semuanya dibalut dalam nuansa pengkhianatan, persekutuan, kecurigaan, ketidakpercayaan dsb. Terdengar berat bukan?
Sutradara Luessenhop tampaknya sudah melakukan yang terbaik yang ia bisa, terlepas dari minimnya jam terbang yang dimilikinya. Yang paling kentara adalah pemberian karakterisasi yang maksimal pada setiap tokoh-tokoh di dalamnya. Namun sinematografi yang dihadirkannya tidak maksimal, salahkan kinerja kamera yang bergoyang-goyang selayaknya dilanda gempa terutama untuk adegan pengejaran.
Satu hal yang sebetulnya bisa menjadi nilai plus film ini adalah jajaran cast yang sangat menarik. Berbagai nama dari berbagai ras hadir disini, kesemuanya merupakan talenta-talenta yang dimiliki Hollywood. Sayangnya tidak cukup imbang pembagian scene di antara mereka semua. Lihat saja Saldana yang baru melambung dari Avatar tapi tidak mendapatkan banyak kans untuk mengeksplorasi aktingnya. Beruntung beberapa dari mereka yang diberikan porsi dominan seperti Dillon, Tip T.I.” Harris, Elba bermain cemerlang. Walau tidak demikian dengan Christensen yang tampil kaku ataupun Walker yang sepintas aktingnya tidak berbeda dari apa yang sudah-sudah. Kredit khusus dilayangkan bagi Ealy dan Brown yang berbagi chemistry kakak beradik secara pas.
Takers sudah mencoba menjadi film bertemakan pencurian dengan kandungan emosi di dalamnya yang diharapkan mampu menarik minat para penonton dewasa muda, tetapi sayangnya tidak mampu memaksimalkan segala potensi dasar yang sebetulnya ada. Pada akhirnya hanya akan menjadi action berkelas standar yang berusaha memuaskan anda para pecinta action flick pada khususnya. Bagi anda yang tidak menyukainya? Film ini hanya akan "mengambil" uang anda tanpa menawarkan sesuatu yang luar biasa!

Durasi:
100 menit

U.S. Box Office:
$57,263,480 till end of October 2010

Overall:
7 out of 10

Movie-meter:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent

Saturday 30 October 2010

MEGAMIND : Menjadi Pahlawan Atau Penjahat Itu Pilihan

Quotes:
Roxanne Ritchi-What’s the plan?
Megamind-It mostly involves *not dying*!
Roxanne Ritchi-That’s a good plan, I like that plan…!

Storyline:
Metro Man merupakan pujaan hati Metro City karena selalu berhasil menanggulangi kejahatan yang terjadi termasuk dari penjahat super Megamind yang menjalani hukuman kurungan berpuluh-puluh tahun. Namun asisten Megamind, Minion tidak tinggal diam dan berhasil membebaskan tuannya dari penjara. Megamind segera menyiapkan rencana besarnya yaitu menculik penyiar televisi Roxanne untuk menghancurkan Metro Man. Di luar dugaan rencananya berhasil dan Mega Mind segera menguasai dunia. Namun ia merasa bosan dan tidak ada tantangan lagi. Menggunakan gen Metro Man, Megamind mengubah si kameraman biasa Hal menjadi superhero baru Titan. Malangnya semua tidak berjalan sesuai rencana karena Titan justru menjadi jahat karena obsesif akan kekuatan barunya. Sekarang Megamind mesti menyelesaikan semua kekacauan yang telah dimulainya itu.

Nice-to-know:
Awalnya direncanakan berjudul “Master Mind.” Namun ternyata sudah dipatenkan oleh pembuat serial televisi dan board game tahun 1970an.

Voice:
Will Ferrell sebagai Megamind
Brad Pitt sebagai Metro Man
Tina Fey sebagai Roxanne Ritchi
Jonah Hill sebagai Titan / Hal
David Cross sebagai Minion

Director:
Tom McGrath sebelumnya mengerjakan dua film Madagascar yang tergolong sukses itu.

Comment:
Melihat trailernya tidak banyak yang saya harapkan dari film ini. Mengapa?
Karakter utamanya Megamind adalah super villain yang penampilannya tidak menjual. Wajah yang tirus, kulit berwarna biru gelap dengan jubah panjang hitam yang dikenakannya lebih mengingatkan saya akan tokoh Count Dracula! Sepintas tidak ada yang spesial darinya. Namun Dreamworks mengetengahkan konflik pergulatan batin dengan cukup matang. Sesungguhnya Megamind bukanlah orang jahat tetapi ia dianggap demikian. Yang terjadi kemudian adalah transformasi karakter yang dilakukannya sehingga pribadi aslinya yang berbicara pada akhirnya. Jujur storyline ini terasa agak berat bagi anak-anak meskipun yang sudah agak besar sekalipun.
Sekali lagi saya katakan, saya sulit menyukai seorang Will Ferrell. Namun dalam animasi yang hanya memakai suaranya, hal tersebut tidak mengganggu. Ferrell mampu menghadirkan sosok Megamind yang sinis sekaligus eksentrik dengan imej yang tepat. Brad Pitt seperti biasa “loveable” selayaknya seorang Metro Man yang dipuja-puja, tetapi film ini tidak bercerita mengenai dirinya. Tina Fey sendiri merupakan pilihan tepat bagi karakter reporter Roxanne yang witty sekaligus cerdas. Lain lagi dengan Jonah Hill yang sedari awal tone suara dan bahasa tubuh seorang Hal sudah demikian menyebalkan.
Sutradara McGrath tergolong berhasil menghadirkan visualisasi yang kreatif dengan pengeksekusian elemen 3D yang brilian sepanjang film. Namun saya merasa terlalu banyak hal yang ingin disampaikan pada dua pertiga durasinya sehingga film ini terasa sedikit membosankan bagi para penonton yang seakan dipaksa untuk diseret-seret mengikutinya. Beruntung endingnya ditutup dengan cukup manis dimana sisi emosionalnya tertangkap secara maksimal.
Megamind tidaklah sesolid Despicable Me dalam berbagai aspek tetapi masih cukup menyenangkan sebagai sebuah tontonan terutama jika anda bisa mencoba untuk menyukai sosok Megamind sejak menit awal film. Ohya kemunculan beberapa soundtracknya juga sangat tepat untuk menyokong bangunan cerita yang ingin dihadirkan. Pesan moralnya adalah jadilah dirimu sendiri dan selalu ikuti kata hatimu karena itulah karakter asli pembentuk kepribadianmu!

Durasi:
95 menit

Overall:
7.5 out of 10

Movie-meter:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent

Friday 29 October 2010

AKU ATAU DIA : Misi Kembali Ke Pelukan Mantan Pacar

Storyline:
Hubungan panjang Dafi dan Novi yang terjalin sejak kuliah menjadi kandas setelah Dafi memasuki dunia kerja. Tawaran partnership di law firm milik Amara tampaknya lebih menarik bagi Dafi apalagi Amara memberikan perhatian khusus padanya. Novi yang kecewa lantas menyewa jasa Heartbreak.Com yang dipimpin Mbak Eliza untuk memenangkan hati Dafi kembali. Tentunya Mbak Eliza tidak sendirian dan mengutus Rama untuk berpura-pura sebagai pacar Novi untuk mengusik perhatian Dafi. Semua berjalan lancar apalagi Novi juga dibantu saudara-saudaranya Pipit, Wawan dan Asep yang kompak. Namun akankah semua yang sudah rusak bisa dengan mudah diperbaiki?

Nice-to-know:
Diproduksi oleh One Star Productions dan gala premierenya dilangsungkan di Djakarta Theatre tanggal 16 Oktober 2010 yang lalu.

Cast:
Fedi Nuril sebagai Rama
Julie Estelle sebagai Novi
Rizky Hanggono sebag
Terbitkan Entri
ai Dafi
Ringgo Agus Rahman sebagai Asep
Ananda Omesh sebagai Wawan
Aline Adita sebagai Amara
Sophie Navita sebagai Mbak Elza
Alex Abbad sebagai Felipe
Edo Borne
Lukman Sardi
Yama Carlos

Director:
Masih ditangani oleh Affandi Abdul Rachman yang juga menggarap prekuelnya Heartbreak.Com

Comment:
Akhir tahun lalu ada sebuah drama komedi romantis lokal yang nilainya di atas rata-rata meskipun plotnya tidak terlalu orisinil. Itulah Heart-break.com yang dibintangi Ramon dan Raihaanun pada waktu itu.
Nyaris setahun kemudian muncul sekuelnya yang ditulis Affandi bersama Nataya Bagya dengan background cerita yang kurang lebih sama. Bedanya kali ini pihak wanita yang merasa tersakiti dan membutuhkan jasa Heart-break.com tersebut. Dan Julie Estelle lah yang mendapat tugas tersebut dan sebagai leading lady ia berhasil membagi peran dipasangkan dengan siapapun di setiap scenenya. Lihat transformasi karakter Novi di awal cerita yang rapuh dan tak berdaya menjadi tegar dan rasional di akhir cerita. Demikian juga dengan Fedi yang sedikit memberikan aksen berbeda dari peran-peran biasanya, karakter Rama dibawakannya dengan spontanitas yang natural. Cukup lama absen dari layar lebar, Rizky juga menunjukkan kharisma tersendiri sebagai Davi yang labil dan bimbang menentukan pilihan antara cinta dan karirnya.
Apresiasi patut diberikan pada sutradara Affandi yang mampu menekankan karakterisasi tokoh-tokohnya dengan maksimal dan menegaskan porsi yang seimbang di antara mereka. Maka dari itu meski trio Julie-Rizky-Fedi yang menjadi sentral cerita, aktor-aktris lainnya berhasil mencuri perhatian di setiap scene yang dipercayakan. Lihat bagaimana kocaknya duet Omesh dan Ringgo yang bodoh tetapi setia saudara. Sebagai kru inti Heart-break.com trio Sophie-Edo-Lukman juga tergolong konsisten dengan gaya khas masing-masing.
Keseluruhan elemen yang bersinergi dengan pas itu menjadikan Aku Atau Dia sebuah sekuel yang tergarap baik dan mampu meneruskan rasa gemas dan haru yang sama dalam menyaksikannya. Kelemahan justru terasa pada unsur non teknis dimana sinematografi yang dihadirkan terasa kurang maksimal, lebih disebabkan pada pencahayaan dan pengadeganan yang tidak stabil. Belum lagi produk-produk sponsor yang hadir terlalu dominan sampai seakan menjadi warna utama film. Endingnya mungkin menyenangkan penonton tapi bagi saya masih menyimpan beberapa pertanyaan dasar yang seharusnya bisa dituntaskan dengan tepat. Bagaimana menurut pendapat anda?

Durasi:
95 menit

Overall:
7.5 out of 10

Movie-meter:
6-sampah!
6.5-jelek ah
7-rada parah
7.5-standar aja
8-lumayan nih
8.5-bagus kok
9-luar biasa

Forced tragedy (Do Badan)

I have a question. Does Vikas perish beside the deathbed of Asha in the last scene of Raj Khosla's Do Badan? If so, what's the rationale behind it? For, he is suffering from no ailment as Asha is, has just got back his vision after a successful eye-operation and looks absolutely fit and fine? Given those, is the sight of seeing his ex-lover breathing her last, enough to take his life away?

Thursday 28 October 2010

MAFIA INSYAF : Romansa Ketua Mafia dan Polisi Wanita Bentrok Gank

Storyline:
Gank mafia bernama Macan Polkadot sudah diwariskan secara turun temurun kepada Kendra yang bersaudara juga dengan Romi dan Jodi. Awalnya Kendra sah-sah saja menjalani tuntutan dari sang ibunda, Dewi. Namun semua berubah saat ia berjumpa dengan Selma, gadis cantik enerjik yang juga jatuh hati padanya. Kendra pun mencari segala cara untuk memenangkan hati Selma termasuk mendengarkan saran dari asistennya yang bodoh, Bejo. Saat Kendra mengetahui bahwa Selma ternyata seorang komisaris polisi, ia berniat pensiun dari dunia yang membesarkannya itu. Keputusan yang tidak mudah karena rival mereka, gank Kampak Ungu berencana lain. Berhasilkah Kendra menjalani hidup barunya tersebut?

Nice-to-know:
Diproduksi oleh Kanta Indah Film bersama BIC Production dan gala premierenya dilangsungkan di fX tanggal 25 Oktober 2010.

Cast:
Atiqah Hasiholan sebagai Selma
Tora Sudiro sebagai Kendra
Indah Kallalo sebagai Alexa
Kieran Sindhu sebagai Bobby
Zaky Zimah sebagai Bejo
Ferry Ardiansyah
Guntur
Anindhika
H. Djaja Miharja

Director:
Merupakan debut penyutradaraan bagi Otoy Witoyo.

Comment:
Rasanya baru pekan lalu kita disuguhkan film nasional bergenre komedi aksi dalam judul Perjaka Terakhir 2 yang mengecewakan itu. Dan seperti sudah bisa diduga, semua nilai minus dalam film yang saya sebutkan itu terulang lagi dalam film yang diproduseri oleh Budi Mulyono ini.
Plot ceritanya tumpang tindih mulai dari romansa dua insan dengan profesi bertolak belakang, lalu ada perseteruan antar dua gank mafia besar, juga ada pertikaian antar pembasmi kejahatan dengan pelaku kejahatan itu sendiri, belum lagi kakak beradik pintar-pintar bodoh yang saling berinteraksi dengan cara yang teramat aneh, ditambah dengan aksi sensualitas di antara beberapa karakternya. Bisa anda bayangkan kesemuanya itu campur aduk tanpa benang merah yang jelas? Terus terang saya sendiri tidak berani melakukannya jika belum menyaksikannya dengan mata kepala sendiri!
Minimnya pengalaman sutradara Otoy memperparah eksekusi dari skrip yang sedemikian ruwetnya. Nyaris tidak ada penekanan apapun pada karakternya yang seakan hanya lalu lalang silih berganti di setiap scene yang dihadirkan. Alhasil konstruksi cerita menjadi lemah dan fokusnya menjadi tidak penting lagi. Semua dipaksakan mengalir dari awal sampai akhir tanpa peduli minat penonton yang sudah sedemikian jatuh sejak menit-menit pertama.
Dari jajaran cast, saya sedikit menyayangkan keputusan Atiqah bermain disini. Ia yang biasanya mampu mengangkat sebuah film, tidak mampu berbuat apa-apa terhadap tokoh Selma yang dipercayakan padanya tanpa latar belakang yang jelas. Sedangkan Tora mengulangi apa yang sudah beribu-ribu kali dilakukan sebelumnya dengan tokoh Kendra yang beridentitas sepuluh itu. Lain lagi dengan Indah yang lagi-lagi melakukan beberapa adegan syur, beruntung masih ditambahkan sedikit porsi laga yang harus dilakukannya. Jika tidak? Hm.. Kelucuan Zaky disini menjadi tidak berguna karena karakter yang diperankannya juga nyaris tidak berpengaruh apa-apa.
Mafia Insyaf lebih merupakan sebuah film medioker dengan gaya kelas film televisi yang tidak menawarkan apapun yang patut dibanggakan selain ide yang hanya menjadi ide kosong belaka. Satu-satunya yang mungkin masih berusaha dijual adalah porsi adegan laganya yang kerapkali ditampilkan mengisi keterbelakangan cerita, itupun jatuhnya masih tanggung. Apa mau dikata?

Durasi:
85 menit

Overall:
6 out of 10

Movie-meter:
6-sampah!
6.5-jelek ah
7-rada parah
7.5-standar aja
8-lumayan nih
8.5-bagus kok
9-luar biasa

Problem of plenty (Teen Deviyan)

I currently share the plight of Dev Anand in Amarjeet's 1965 romance Teen Deviyan. Just when one problem is dealt with, another worry is wickedly grinning from around the corner, all set to upset your peace of mind. You think that all matters of concern are laid to rest and you can at last call it a day, but then the work and worries keep piling up. The dilemmas cloud up your senses and very soon

The War of the Worlds, 1938 and 1953



(Don’t forget to scroll down to the bottom of the page and turn off the music so you can hear the video.)

“The War of the Worlds” (1953) is fondly recalled by many sci-fi fans as a classic. The special effects of the day are intriguing, and especially interesting is a look at the famed Northrup Flying Wing, which did not survive the imaginative era in which it was designed and manufactured. Imagination is the root of science fiction, unfettered, freewheeling imagination. For this reason, the movie “The War of the Worlds” for me, pales in comparison to the radio version.

With the Halloween season in full force (despite the Christmas items the stores are already foisting on us), some movie buffs have favorite scary movies they like to watch on Halloween. My tradition is to pull out Orson Welles’ “Mercury Theater” radio recording of his very special version of “The War of the Worlds.”

Probably most of us know by now the story had its origins in the H.G. Wells novel published in the 1890s. The famous radio broadcast of October 30, 1938 is often called the “Martian Hoax” broadcast that caused a panic, but it was never a hoax. It was excellent drama, using the new medium of radio at its most imaginative.

I’ve written more extensively about this broadcast here, but the upshot is, the Orson Welles version took the novel and turned it into first-person experience (at least the first half of the show. The second half returns to traditional narrative storytelling). It was drama as intimate as good stagecraft, but the unique properties of radio gave it a reality it would not have had on film or on stage.

From the start, there were the standard announcements inviting listeners to stay tuned for “The War of Worlds”, and several normal commercial breaks. The panic came from people who didn’t listen to the “Mercury Theater” on CBS. They were listening to the "Chase and Sanborn Hour" with Edgar Bergen and Charlie McCarthy over on NBC. When the first commercial came on, they channel surfed over to CBS. By then, the “The War of Worlds” program had already started, with screaming announcers describing what sounded like the end of the world.

One can’t entirely blame Mr. Welles for the channel surfers’ assumptions, nor can the channel surfers be ridiculed for their panic. These were the good old days of the Munich Pact Crisis when madmen were carving up Europe and we had constant bulletins about it on the radio. These were the good old days when one of the worse hurricanes that ever hit the US, hit where it wasn’t supposed to…New England, and killed nearly 700 people who had not the faintest clue it was coming. (More on the Hurricane of 1938 on my New England Travels blog: part 1, part 2, and part 3). Let’s just say, it had been a bad five or six weeks. And then October 30th, and Orson Welles goes, “Boo!”

Below, here is a newsreel featuring Orson Welles “day after” apology.



The movie “The War of the Worlds” was made in a different era, a bit more sophisticated (as the film points out, we had developed the atom bomb in the meantime), but this film still reeks of a warm innocence.

Instead of Grover’s Mill, New Jersey, as in the radio version, the beleaguered community is in California. Except for cameos by the Orson Welles’ script characters of Professor Pearson and reporter Carl Phillips, all the others are new characters.

Gene Barry plays a scientist on vacation near the town where the Martians land. Ann Robinson is a young teacher who at first hero-worships him because of his reputation in his field, and then spends the rest of the movie either in his arms being comforted or just plain running away from the Martians. They bond quickly.

We are shown a lot of good-natured yokel types who investigate the site of what they think is a meteor, and then some of them are evaporated by heat rays from the Martians. The yokels cheerfully hollered, “Welcome to California” moments before, wanting to make peace. These may be square-dancing type folk, but they’ve been around. They know that Martians visit occasionally, “Happens every 18 or 20 years, they say.” Best to stay on their good side.

Before long, the military gets involved trying to stop the invasion. Gene Barry spends a good deal of time at first looking bored and slightly amused by everything, until he’s running for his life. Ann Robinson’s uncle, the Pastor, played by Lewis Martin approaches the Martian capsule reciting the 23rd Psalm (King James Version), but they blast him anyway.

Interestingly, he explains his desire to get closer to them because he considers them “nearer the Creator” because they are a more highly advanced species. One wonders if this sounded at all blasphemous to the more conservative audiences then, but it’s a remarkable take on aliens from outer space.

We get rocket launchers and bazookas, tanks, and that spectacular Flying Wing, but the creatures are immune to shellfire. They are not, however, immune to germs, and so we all know how it ends for our Martian guests.

Just as Orson Welles’ version was set in his time and reflected it by use of the radio, just as author H.G. Wells’ original story reflected London of the 1890s, so too, this film gives us a glimpse of the early 1950s, our innocence and our sophistication, our atom bomb and our Martian eye that is “an electric eye like a television camera.”

Paul Frees, whose voice you may remember from zillions of cartoons, is a radio reporter on the spot for the dropping of the atom bomb on the Martians. He speaks into a reel-to-reel tape recorder strapped to his hip. If you think that’s corny, take a look at the spectators hiding behind clumps of dirt to avoid the bomb blast and radioactive fallout.

We are in the Cold War, and we snuggle up to the A-bomb to protect us from the strangers. Better the devil you know.

It is also the era where the first UFO sightings were reported. 

One of the fun things about this film is the cars. There are, of course, traffic jams on the new freeways, and all through this movie we get a good look at many cars from the era. It’s a classic car buff’s dream.

Also look for cameos by Ned Glass as a looter, and Alvy Moore as a yokel, who we last saw in a larger role in “5 Against the House” (1955) here.

Especially good are the scenes of Gene Barry stumbling through empty city streets, littered with trash and debris, while the battle rages just outside of town. His isolation may give us more discomfort than the death rays, because isolation is real.

It is a very imaginative film, as good science fiction must be, but when you compare the radio version and the film version of this story, you see that the film must bring to life the imagination of the writers and director, and artistic director, and cinematographer. Your imagination doesn’t come into it. And that’s the thing about good science fiction. It needs you to make it real.

Turn out the lights and listen to the CBS Mercury Theater production of “The War of the Worlds.” It’s October 30, 1938. Let your mind, and your imagination, run wild.



And if you see a hideous Martian somewhere in the dark, just cough on him. Spread those germs.

(If the above radio link doesn't work, download the program free to your computer from Internet Archive.

Monday 25 October 2010

BEAST STALKER : Kecelakaan Berbuntut Trauma Penyanderaan

Storyline:
Sebuah kecelakaan mengubah hidup mereka selamanya.. Sersan Tong Fei tanpa sengaja membunuh gadis kecil putri kembar Ann Gao. Untuk itu ia merasa benar-benar bertanggungjawab terhadap hidup Ling, putri kembar Ann yang tersisa. Sayangnya Ling justru diculik oleh penjahat Hung atas tuntutan Zhang Yidong untuk sejumlah tebusan dimana Ann harus menyerahkan sample darah kasus yang sedang ditanganinya. Berkejaran dengan waktu, Tong Fei harus mengerahkan segala usaha terbaiknya untuk meringkus Hung yang kejam yang juga harus mengobati istrinya yang terbaring lemah tanpa daya.

Nice-to-know:
Berjudul asli Ching yan untuk peredaran Hongkong nya.

Cast:
Nicholas Tse sebagai Sersan Tong
Zhang Jingchu sebagai pengacara Ann Gao
Nick Cheung sebagai buronan Hung
Liu Kai Chi sebagai Sun
Tung Cho 'Joe' Cheung sebagai Judge Lee
Sherman Chung sebagai Christy
Philip Keung sebagai Cheung Yat-Tung (as Ho-man Keung)

Director:
Dante Lam pertama kali mengawali debutnya lewat G4 te gong (1997).

Comment:
Cukup lama action flick buatan Hongkong tidak mencuat dari segi kreatifitas belakangan ini. Ide yang brilian biasanya dieksekusi dengan seadanya sehingga tidak ada yang baru. Berbeda dengan film ini. Meskipun elemen demi elemen yang dihadirkannya tidak unik tetapi untungnya disajikan dengan nuansa kekelaman yang tepat sehingga tercipta sebuah tontonan yang miris dalam arti yang positif.
Semua karakter disini terasa abu-abu. Mereka ditempatkan dalam situasi yang sulit sehingga jiwa aslinya muncul. Sebut saja Nic Tse yang lama tidak menunjukkan potensi terbaiknya dalam film. Disini ia mempotretkan karakter polisi dengan emosi kemarahan dan trauma kepedihan yang berbaur sempurna. Mewakili antagonis, Nick Cheung memang berbakat dalam memainkan kompleksitas pembunuh keji dengan mata kiri yang rusak mengerikan. Ada juga Zhang Jingchu yang semakin mengukuhkan premis aktris bertalenta sebagai wanita pengacara yang harus meindungi kasus dan keluarganya sendiri.
Itulah yang coba dijual sutradara Dante Lam disini. Eksplorasi karakter ketiga tokoh utama dilakukan dengan sangat baik sehingga mampu mempermainkan perasaan penonton dari awal sampai akhir seperti rollercoaster. Ditambah dengan ending yang cerdas, seakan meletakkan kepingan terakhir pada puzzle yang belum sempurna, The Beast Stalker yang memenangkan 28th Hongkong Film Award kategori Best Actor dan Best Supporting Actor ini akan membuat anda jatuh cinta kembali pada sinema Hongkong di tahun 2000an ini. Sedikit mengingatkan pada Babel ataupun Crash yang juga multi plot dan sanggup berbicara banyak di penghargaan festival film internasional.

Durasi:
110 menit

Overall:
8 out of 10

Movie-meter:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent

Night Must Fall - 1937

“Night Must Fall” (1937), a psychological thriller, tingles with unexpected humor and steely glints of horror that unbalance seemingly normal lives. A literate script brought vividly to life by acting intelligent, bold, and skillful, and it seems somehow a shame to merely lump this one into the “creepy old house in a storm” movies, but it has this, too, and more.

Certainly by the opening credits we are already convinced this movie may be something of a standard fright flick: a score that sounds like shrill monster movie music, spidery credits with the suggestion of looming twilight in the background. Surely doom awaits us if we stay to watch.


Rosalind Russell is the dogsbody niece to Dame May Whitty, an irascible old lady in a wheelchair. Roz is financially dependent on her, which makes her the constant victim of the Dame May’s foul moods.


Robert Montgomery is a lower class stumblebum, a hail-fellow-well-met, who takes on the job of Dame May’s new manservant. He uses a surprisingly credible Welsh accent for this film. One of the joys of this movie is just listening to him speak.

The story has its pedigree in a successful Broadway run, and before that in London, with Dame May reprising her role for this film. (In Roz’s role as the niece, a young English actress named Angela Baddeley appeared with Dame May in the London and Broadway productions. Decades later, we came to know and love her as Mrs. Bridges on “Upstairs/Downstairs.”)

We have all the other elements of English country life so beloved by Hollywood: the roses growing by the cottage, the comical servants, the winding country lane. Mrs. Miniver probably lives down the road.

Merle Tottenham is the not-too-bright scullery maid, and Kathleen Harrison is the no-nonsense cook, both are hysterical and break up the gloom of the movie by their exaggerated “type” characterizations.

In one scene, Kathleen Harrison, who has a way with sarcasm, replies to a police inspector when he is informed that the only visitors were the doctor and the district nurse, follows with a flat, “It’s been ever so gay.” She also describes a local woman as a “regular red hot mama.” When asked what that is, she replies, “Don’t you ever go the pictures?”

Roz is the repressed spinster. We know this because she wears glasses. Also, because Robert Montgomery makes a cutting remark that she is obviously repressed, in case we missed that.

Her soft, upper middle class English accent is also credible, but I read somewhere once that some movie mogul decided that New Englanders automatically were given English parts in Hollywood films because moviegoers in the Midwest thought they sounded British anyway and would not know the difference. If that’s true, it’s possible that Roz, Bette Davis, and Katharine Hepburn were taken as authentic automatically when they were placed into these roles. Not much of a challenge.  Sometimes the  moguls treated them less as skilled actors and more like chess pieces.  Nevertheless, Miss Russell appears to have made a genuine effort.

Roz is not completely colorless, as her role might suggest. She has intelligence, an independent spirit that allows her to see through people, including her bullying aunt and the charming new manservant. Her main problem in life as she sees it, apart from her economic dependence on her aunt, is that she secretly yearns for more excitement, for a more passionate experience, and is so desperate for change she may even welcome danger.

This attitude of ignoring the alarm bells going on in her sensible mind puts her in very great danger. It also makes her overlook the handsome, quiet young solicitor who patiently waits for her to love him in return. He is played by Alan Marshal. He looks extremely virile in cricket whites. Roz not seeming to notice this is our first clue that she’s losing her good judgment.

But, it’s hard to blame her when Robert Montgomery enters the room. It’s really his movie. He saunters in every scene, a cigarette dangling from his lips, like he owns the place, sometimes bouncy as a schoolboy, other times sullen, threatening. He commands our attention by the full force of his overwhelming and complex personality.

The mystery of the story centers around a missing woman from the village. We soon begin to realize that she is probably murdered, and we are given broad hints that perhaps Robert Montgomery murdered her. What makes us come to this conclusion, beyond certain coincidental facts, is that we are allowed to see right from the start that he is two-faced.

He is enthusiastically charming with Dame May, and she begins to love him like a son. He is less charming with Roz, because he senses right off that she does not like him. Even more, she sees through him. She does not know he is a murderer, not yet, but she knows he is a phony and for her that is enough of a crime.

But she is fascinated by him. Perhaps it is the aura of danger about him, or perhaps it is just his way of living the fullness of life with a zest and carelessness that she envies that makes her attracted to him, even while she is repulsed.

He notices things. He is so very clever, and so manipulative. He makes a remark about her glasses, and she sneaks a look at herself in the mirror without them. He comments on her appearance, makes bold guesses as to what she is thinking, and we sense she feels undressed. As unaccustomed as she is to being made to feel this way, she is not completely sure she dislikes it. In her way, Roz’s performance is just as many layered as Mr. Montgomery’s, only her character calls for restraint. Her conflict is internal.

Robert Montgomery fusses over Dame May like a playmate, a nanny, and a son. He puts her to bed for her nap. He tickles her and makes jokes. He buys her a shawl and gives it to her, telling her it once belonged to his own deceased mother. Roz sees the store tag on it. Interestingly, rather than rat on him, she seethes in disgust, but snips the tag off for him before the old lady can see it. Slowly, Roz becomes his accomplice, despite her good sense.

Her transformation is delicate. Montgomery never completely forms a bond with her, even to acknowledge she is his accomplice. He usurps her position in the household and lords it over her. Roz hasn’t his charm, his social grace that allows him to leave his station in life so easily. Though we sense he is possibly a murderer, and see that he makes attempts to steal from the old lady, that he lies, we may wonder what is the particular crime he may commit against Roz?


She has nothing he wants, except perhaps the pleasure of penetrating her reserve.  So to speak.  We do not know how far he will go.

Then, the pace of the action increases when the body of the missing woman is found nearby.

Roz begins to suspect him, spurred mainly by her dislike of his vanity and arrogance, and her own jealousy, and searches his room. She discovers a locked hatbox.

Later, when it is revealed the body of the murdered woman was found without a head, Roz thinks she knows what is in the hatbox.

We have another funny scene, where publicity about the body being found in the garden brings a horde of shameless rubberneckers. Dame May is rolled about in her wheelchair by Mr. Montgomery rather like the Queen to guided tours of her garden. She is interviewed, and she likes the attention. I especially like the bored little boy in the sailor suit preoccupied with his cake.

Here the cook, Kathleen Harrison, has another standout spot telling her side of the story to the locals merely by repeating the word “grisly” several times in this scene, getting funnier and funnier. I think it’s my favorite part of the movie.

The comic interlude sets us off balance, but we focus in once more to the underlying tension at hand, when Roz and Montgomery have what begins as showdown and ends as confession. Montgomery, in a moment of panic now that the cops are closing in with their clues, admits his fear and torment. She displays sudden tenderness and sympathy for him.

When the inspector returns to examine his room, finds the hatbox, and asks Montgomery for the key, Roz comes to his rescue. She tells the inspector the hatbox is hers.

Perhaps even she does not know why she does it, but she sticks to the story, and Montgomery is free for a little while more. Keeping the scene off balance, he makes no overtures of friendship or gratitude toward her. He does not want to depend on her. He cannot make himself feel anything but contempt for others.

Dame May has a terrific scene where she goes into hysterics, and we may wonder where she gets the energy at her age. Perhaps it is from the chocolates she’s been eating throughout the movie. But, here is a real stage trooper at work and she grabs the spotlight the way a real trooper can.

That night, the storm. A gloomy old house. Another murder. All face their own mistakes, or are doomed by them.

Sunday 24 October 2010

GREENBERG : Pria “Istimewa” Hadapi Gadis “Sempurna

Quotes:
Florence Marr: You like old things.
Roger Greenberg: A shrink said to me once that I have trouble living in the present, so I linger on the past because I felt like I never really lived it in the first place, you know?


Storyline:
Florence adalah gadis cantik yang pandai mengurus anak-anak dan anjing. Itulah sebabnya Phillip dan Carol Greenberg sangat mempercayainya. Namun saat mereka berlibur, Florence harus menghadapi Roger, kakak kandung Phillip yang baru dibebaskan dari Rumah Sakit Jiwa. Roger tidak seperti kebanyakan orang, ia memiliki pola pikir khusus yang tidak bisa dipahami begitu saja. Namun bagaimanapun Roger tetap membutuhkan orang-orang di sekitarnya termasuk Florence, Ivan sahabatnya dan juga tetangga-tetangganya. Akankah Roger dan Florence dapat saling mengerti di saat kerjasama di antara keduanya seringkali dibutuhkan di saat yang tidak tepat?

Nice-to-know:
Awalnya karakter Roger Greenberg digambarkan berusia 30 tahun sebelum dirombak kembali, Mark Ruffalo sempat dipertimbangkan untuk mengisi peran ini.

Cast:
Penampilan Ben Stiller sebagai Roger Greenberg setelah Night at the Museum: Battle of the Smithsonian (2009).
Greta Gerwig sebagai Florence Marr
Rhys Ifans sebagai Ivan Schrank
Merritt Wever sebagai Gina
Chris Messina sebagai Phillip Greenberg
Susan Traylor sebagai Carol Greenberg

Director:
Noah Baumbach memulai debut penyutradaraannya lewat Kicking and Screaming (1995).

Comment:
Ben Stiller adalah satu dari sedikit komedian Hollywood yang tidak selalu berusaha melucu untuk membuat penonton tertawa. Nuansa jenaka yang ia pancarkan tergolong natural. Itulah sebabnya film-film yang dibintanginya mayoritas bergenre drama terlepas pada akhirnya diembel-embeli komedi romantis, komedi saja ataupun tidak sekalipun.|
Dalam film yang skripnya ditulis oleh Baumbach dan Jennifer Jason Leigh ini lebih patut dikategorikan ke dalam drama murni. Premisnya mengenai pria dewasa yang harus menjalani kehidupan paska keluar dari Rumah Sakit Jiwa. Bukan karena gangguan jiwa tapi lebih karena caranya menyikapi hidup yang jauh berbeda daripada orang lain. Itu sebabnya sulit mengharapkan insane umum bisa memahami dirinya secara utuh.
Ben menjiwai Roger dengan ciri khasnya sendiri. Jangan salah menilai, anda tidak akan menertawakannya dengan mudah kali ini seperti film-film terdahulunya. Lewat serangkaian tindak tanduk dan tutur katanya, secara tidak langsung ia berupaya mengundang simpati anda untuk melihat dunia dari sudut pandangnya. Sayang tidak diceritakan masa lalunya yang membuatnya begitu, belum lagi interaksi dengan satu-satunya keluarga yaitu adiknya sendiri hanya terjalin lewat telepon saja.
Sosok Gerwig akan mengingatkan anda pada Kate Winslet. Florence, gadis baik-baik berpemikiran sederhana ini memang seperti kebalikan Roger. Itu sebabnya chemistry keduanya terasa klop dan mampu saling mengisi. Bukan dari sudut pandang romantisme tapi dari naturalisme yang believeable. Kemunculan Ifans sebagai teman setia Roger juga turut memberikan warna tersendiri. Ivan yang bergaya Brit itu punya cara sendiri untuk memahami pemikiran Roger.
Yang mengasyikkan dari garapan sutradara Baumbach ini adalah alur cerita yang sulit ditebak arahnya. Layaknya pikiran Roger yang selalu bercabang, anda juga terus menerka-nerka adegan apa yang selanjutnya disodorkan. Bagi yang bisa bersabar mengingat tempo lambat yang diusung drama dewasa ini akan bisa memahami dunia hipokrit di sekitar anda. Bagamina tiap orang di sekitar anda mempunyai penilaian sendiri tentang anda terlepas dari baik buruknya sisi tersebut.

Durasi:
105 menit

U.S. Box Office:
$4,216,789 till May 2010 (limited showing)

Overall:
7 out of 10

Movie-meter:

Saturday 23 October 2010

RED : Jangan Kambing Hitamkan Pensiunan Berbahaya

Quotes:
Marvin Boggs-Why are you trying to kill me?
Frank Moses-Look, why would I be trying to kill you?
Marvin Boggs-Because last time we met, I tried to kill you.
Frank Moses-That was a long time ago.
Marvin Boggs: Some people hold on to things like that.

Storyline:
Frank Moses menjalani hari-hari pensiunnya sendirian sambil terkadang berbincang dengan customer service Sarah Ross yang juga tidak beruntung dalam hal asmara. Namun ketenangan Frank mendadak terganggu saat rumahnya disatroni sekelompok pasukan rahasia yang membunuhnya. Bukan Frank namanya jika ia tidak bisa lolos sebab ia adalah seorang pensiunan CIA. Frank pun melarikan diri ke Kansas City dan melibatkan Sarah yang baru ditemuinya. Disana ia bergabung dengan mantan agen top lainnya yaitu Marvin, Joe dan Victoria yang ternyata menjadi target juga dari pasukan khusus yang dipimpin William Cooper. Siapa yang sesungguhnya mendalangi operasi tersebut? Berhasilkah mereka memaksimalkan pengalaman dan sisa keahlian untuk bertahan hidup?

Nice-to-know:
Brian Cox dan Helen Mirren memerankan agen Rusia dan Inggris. Dalam kehidupan nyata, latar belakang keduanya adalah sebaliknya dimana Brian Cox asli Inggris sedangkan Mirren yang lahir di Inggris beraksen Rusia.

Cast:
Tidak terlalu sukses dalam film terakhirnya Cop Out (2010), Bruce Willis berperan sebagai Frank Moses, pensiunan CIA yang terusik ketenangan hidupnya.
Angkat nama selama 5 tahun terakhir dari serial televisi Weeds, Mary Louise Parker kini bermain kembali dalam film layar lebar sebagai Sarah Ross.
John Malkovich sebagai Marvin Boggs
Hellen Mirren sebagai Victoria
Brian Cox sebagai Ivan Simanov
Morgan Freeman sebagai Joe Matheson
Karl Urban sebagai William Cooper

Director:
Pria kelahiran Jerman bernama Robert Schwentke ini terakhir dipuji saat mengarahkan Eric Bana dan Rachel McAdams dalam The Time Traveller’s Wife (2009).

Comment:
Ide cerita ini diangkat dari novel grafis D.C. Comics karya Warren Ellis dan Cully Hamner dengan genre action komedi. Tidak banyak hal baru yang bisa ditawarkan disini tetapi penyampaian ke penonton lah yang membuatnya berbeda dimana berbagai twist mampu membuatnya terasa fresh!
Dari segi aksi, penggunaan berbagai jenis senjata api, bom asap, granat sampai pertarungan tangan kosong para agen uzur tersebut ditampilkan dalam kapasitas penuh. Keahlian mereka yang sudah terpahat bertahun-tahun benar-benar menjadi senjata mematikan disini.
Dari segi humor, hubungan kerja yang terbentuk diantara mereka selama berpuluh-puluh tahun lamanya terasa menyimpan banyak cerita tersendiri sehingga celetukan maupun sindiran tajam bernada sarkastis tak jarang mampu menghadirkan derai tawa lepas yang tak berkesudahan di setiap scenenya.
Sutradara Schwentke juga dengan cerdas memadukan kedua elemen tersebut lewat perpindahan dinamis chapter demi chapter yang ditandai dengan postcard bertuliskan nama lokasi kejadian secara simultan. Teka-teki mengapa Moses dkk diburu CIA yang harus dipecahkan juga tidak lantas dijawab begitu saja. Pada awalnya mereka terlihat sama bingungnya dengan penonton tetapi melihat kegigihan mereka rasanya cukup membuat kita percaya akan kebenaran sejati yang berusaha diperjuangkan mereka. Lambat laun petunjuk demi petunjuk pun terbuka dengan sendirinya yang mengarah pada satu konklusi yang cukup untuk menjelaskan semua.
Dari jajaran cast, nama-nama senior ini bisa jadi jaminan sendiri. Willis kembali dengan peran superhero yang rapuh sekaligus tangguh di luar franchise Die Hard yang membesarkan namanya itu. Malkovich seperti biasa jago bertingkah konyol dan menyebalkan dengan berbagai ekspresi wajahnya itu. Cox dan Mirren lain lagi dalam menjiwai peranan dua mantan agen yang pernah saling mencintai, lihat ketangguhan mereka berdua membombardir musuh dengan revolver otomatis!
Dari generasi yang sedikit lebih muda diwakili oleh Karl Urban yang memberikan gambaran menarik sebagai agen CIA handal masa kini yang harus berdiri di antara tugas nyata dan kata hatinya sendiri. Jangan lupakan juga Mary Louise Parker yang innocent tapi berbagi chemistry yang manis dengan Willis disini.
R.E.D adalah sebuah comedy action flick yang sangat menghibur bagi penonton dari semua kalangan usia. Berbagai pakem film aksi dijaga disini dimana pahlawan tidak pernah membunuh orang baik sekalipun dan kebaikan akan selalu menang melawan kejahatan pada akhirnya. Mungkin bukan film aksi kelas satu yang anda harapkan akan menjadi timeless masterpiece tetapi jelas akan cukup berharga mengisi waktu luang anda di kala akhir pekan yang santai.

Durasi:
110 menit

U.S. Box Office:
$21,761,408 till mid Oct 2010

Overall:
7.5 out of 10

Movie-meter:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent

Friday 22 October 2010

Only for Amiran (Umrao Jaan)

The last time I met Meera Ali, and that would be about fours years ago, I kept singing praises about her husband's landmark film. The elegant personality that she is, Meera took my childish prattle rather sportingly and invited me to her house in Mumbai where I could meet Muzaffar Ali. Elated at the offer, I hardly gave enough attention to her new collection of weaves and clothes, which she was

SETAN FACEBOOOK : Arwah Penasaran Hantui Jaringan Online

Quotes:
Ronny-Siapa yang tau setan gak bakal gentayangan lagi?

Storyline:
Kecanduan Facebook memang lumrah terjadi di kalangan anak muda jaman sekarang. Remaja belasan tahun Farah termasuk salah satunya. Ia gemar sekali mengupdate status Facebooknya dimana saja dan kapan saja. Hal ini tak jarang merugikan dirinya sendiri karena diusir dari kelas pada saat mata kuliah dosennya ataupun dikomplain kekasihnya, Nauvam dan sahabat karibnya, Cici. Ketakutan mulai melanda Farah saat tahu satu persatu temannya yang mendapat konfirmasi pertemanan dengan sosok misterius bernama Mira Anindhita tewas mengenaskan. Farah meminta bantuan Rony yang jago hack yang mengarahkannya pada Oma Pujo, keluarga dekat Mira. Apa yang sesungguhnya terjadi dengan Mira?

Nice-to-know:
Diproduksi oleh D’Color Entertainment dan diproduseri oleh Harris Nizam.

Cast:
Cindy Anggrina sebagai Farah
Boy Hamzah sebagai Nauvam
Jehaan Sienna sebagai Cici
Maeeva Amin sebagai Mira Anindhita
Waqid
Ricky Ertan

Director:
Helfi Ch Kardit mengawali karirnya dengan sebuah horor yang masih berkualitas lumayan yaitu Bangku Kosong (2006).

Comment:
Sejak awal cerita yang ditulis oleh M. Ilhamka Nizam dan Anggoro ini memang terkesan mengada-ngada. Namun dalam dunia perfilman tidak pernah ada standar baku yang tidak dapat digunakan. Ide senyeleneh apapun sebenarnya tetap bisa dikerjakan asal dibekali dengan kelengkapan-kelengkapan yang memadai. Bagaimana dengan film ini?
Sutradara Helfi tampaknya sekuat tenaga berusaha serasional mungkin menerjemahkan skrip tersebut dengan waras. Hal ini terlihat dari 30 menit pertamanya yang mencoba menampilkan latar belakang kehidupan remaja yang perlahan-lahan mulai menyikapi misteri yang dihadapinya. Namun semakin lama jatuhnya justru semakin tidak meyakinkan.
Pertama, kemunculan setan yang teramat janggal. Kadang ia muncul setelah lampu padam atau listrik mati yang anehnya masih bisa terkoneksi dengan internet? Provider apakah itu yang anti disconnect? Ataukah ia menggunakan portal khusus untuk memindahkan dirinya seperti pintu kemana saja? Sampai sini, itulah yang menarik untuk dicari tahu!
Kedua, motif setan yang semula misterius menjadi tidak penting lagi. Penonton sudah keburu jengah untuk digiring menuju ending yang sebetulnya dipersiapkan menjadi kejutan tersendiri. Balas dendamkah karena setan kebetulan lupa log out setelah sign in sehingga Facebooknya dihack orang? Hm, coba anda cari tahu sendiri.
Dua hal yang tidak meyakinkan itu semakin diperburuk dengan irrasionalnya tokoh-tokoh yang kebetulan “hidup” dalam film ini. Farah yang sok gaul bin oon, Cici yang makan teman, Nauvam yang peselingkuh, Ronny yang penjahat kelamin, Pak Dosen yang mesum dsb. Tidak ada satupun rasanya yang membuat kita bersimpati apalagi peduli pada nasibnya.
Segala uneg-uneg yang saya sebutkan di atas rasanya sudah cukup bagi anda untuk menilai kualitas Setan Facebook ini secara garis besar. Apalagi dengan penampakan yang ala kadarnya, rambut panjang dan muka rusak dalam gaun putih, mudah-mudahan setan ini bisa bertransformasi secara lebih sempurna dalam “sekuel”nya kelak. Twitter, anyone?

Durasi:
80 menit

Overall:
6 out of 10

Movie-meter:
6-sampah!
6.5-jelek ah
7-rada parah
7.5-standar aja
8-lumayan nih
8.5-bagus kok
9-luar biasa

Thursday 21 October 2010

ROKKAP : Asmara Gadis Batak Pelukis Tuna Netra

Quotes:
Ivy-Semoga aja loe dapet jodoh orang Batak kayak gue.
Bow-Asal berambut!

Storyline:
Dikarenakan kecelakaan di masa kecil, Lingga yang kini berusia 31 tahun harus menjalani hidup sebagai tuna netra. Namun Tuhan yang maha adil memberikan kelebihan lain pada gadis Batak itu yakni memiliki kemampuan melukis yang mumpuni. Hasil karyanya itu dijual untuk menghidupi keluarga yang menyisakan ayah dan kakak perempuan yang sangat menyayanginya itu. Di belahan bumi lain, Bow terpaksa menyanggupi permintaan kedua sahabatnya, Gun dan Ivy untuk melakukan sesi foto pre wedding di Danau Toba. Disanalah Bow yang awalnya tertarik pada lukisan Lingga akhirnya bertemu dengan pelukisnya. Keduanya saling jatuh cinta satu sama lain meski ayah Lingga tidak menyetujui hubungan itu begitu saja dan juga Bow belum sepenuhnya putus dari kekasihnya, Vienna yang tinggal di Bali. Mampukah keduanya bersatu di antara segala perbedaan yang mendasar tersebut?

Nice-to-know:
Diproduksi oleh Promise Land Pictures dan gala premierenya dilangsungkan di Senayan City XXI tanggal 20 Oktober 2010.

Cast:
Alex Abbad sebagai Bonaventura Christoper
Kinaryosih sebagai Lingga
Agastya Kandou sebagai Gun
Sarah Jane sebagai Ivy
Tongam Sirait sebagai Ayah Lingga
Iyuth Pakpahan sebagai Vienna
Yondik Tanto

Director:
Kolaborasi pertama BM Joe, Ginanti Rona Tembang Asri dan Hendra "Pay" Arifin Hutapea.

Comment:
Entah karena terlalu bersemangatkan indie atau tidak memiliki dana cukup untuk "berkampanye", film ini tiba-tiba melenggang mulus mengisi slot film nasional di minggu ketiga bulan Oktober 2010 ini. Hanya satu hari notifikasi! Namun melihat jajaran pemain dan sekilas posternya, rasanya masih ada sesuatu nilai tersembunyi yang coba dijual disini. Sekadar catatan tambahan, saya menontonnya bersama sekitar lima puluhan siswa-siswi pesantren yang juga didampingi bapak ibu guru mereka, bisa jadi sebagai wacana pembelajaran di sekolah.
Kinaryosih yang mengaku belajar aksen Batak selama sebulan penuh cukup berhasil menjiwai karakter gadis tunanetra Lingga yang berprofesi sebagai pelukis. Ketegarannya tergambar dari komunikasi yang dilakukannya kepada Yang Maha Kuasa serta kelembutan hatinya dalam bersikap terhadap sesamanya. Sedangkan Alex Abbad tampil di luar kebiasaannya yang urakan dan begundal, melainkan jiwa fotografer yang resah dalam mencari arti hidup sesungguhnya. Chemistry keduanya di dalam layar cukup menyatu meskipun alasan yang membuat keduanya cepat saling jatuh cinta tidak cukup kuat. Mungkin inilah yang dimaksud istilah "Rokkap" alias jodoh itu sendiri!
Sutradara Joe, Ginanti dan Pay berhasil menghadirkan lanskap Sumatera Utara dengan sedemikian indahnya. Pesisir Danau Toba yang menjadi latar belakang juga memberikan kontribusi sendiri dalam memanjakan mata. Plot ceritanya sangat kental dengan budaya Batak terbukti dari penggunaan bahasa, musik latar, setting hingga adat istiadatnya. Semua dihadirkan secara minimalis dan lembut, menyatu dengan kekuatan cerita sederhana yang coba dibangun dari awal.
Rokkap merupakan satu dari sangat sedikitnya film nasional off-mainstream yang berani mengusung idealisme tersendiri ini mungkin akan sangat membosankan bagi para penonton awam. Meskipun terkesan terburu-buru menutup layar, endingnya yang agak miris tak terduga sedikit banyak menjadikan drama ini cukup menggigit dan "bernilai" pada akhirnya.

Durasi:
75 menit

Overall:
7 out of 10

Movie-meter:
6-sampah!
6.5-jelek ah
7-rada parah
7.5-standar aja
8-lumayan nih
8.5-bagus kok
9-luar biasa

Trick or Treating


Here are some trick-or-treaters from 1847, or so "The Man with the Cloak" (1951) would suggest.  I didn't know there were trick-or-treaters in 1847.  I thought they were just hoodlums vandalizing the neighborhood until people started giving them candy in 1950s suburbia.


We covered "The Man with the Cloak" in this prevous post.  It's not really about Halloween, though the Man of the title, an historical figure, knew a lot about terror.

These kids do their trick-or-treating at a tavern in New York City, and get a pile of doughnuts fresh off the broom handle.  I think I'd trade Sweetarts and a Snickers just for the panache of it.

Wednesday 20 October 2010

THE FOUR-FACED LIAR : Menentukan Pilihan Persahabatan Cinta Sejenis

Quotes:
Molly: Never have I been thrown up against a wall and kissed hard.
Bridget: Never have I ever been turned down.


Storyline:
Bridget, Trip, Molly, Chloe, Greg adalah lima orang berusia 20 tahunan yang berusaha mencari jati diri masing-masing di tengah hiruk-pikuk kota New York. Sepasang sahabat karib dan sepasang kekasih bertemu di sebuah bar Irlandia yang terletak di jalan West Village. Melalui berbagai perjumpaan, keempatnya menjadi terikat satu sama lain dan terlibat cinta, pengkhianatan dan patah hati sekaligus. Begitu sulitkah menentukan identitas di tengah kehidupan yang serba abu-abu tersebut?

Nice-to-know:
Diproduksi oeh Brillhart / Gonzales Productions, Cinescape Productions, OneZero Productions.

Cast:
Marja Lewis Ryan sebagai Bridget
Emily Peck sebagai Molly
Todd Kubrak sebagai Trip
Daniel Carlisle sebagai Greg
Liz Osborn sebagai Chloe

Director:
Feature film pertama bagi Jacob Chase setelah 6 film pendek sebelumnya.

Comment:

Sejujurnya saya tidak terlalu memperhatikan poster ataupun premis film ini sehingga memasuki pertengahan baru menyadari kalau ceritanya menyangkut lesbian dan pasangan straight yang berjuang mmepertahankan hubungan mereka. Okay, I’m an open-minded person. So, I treat every movies the same. Lagipula berapa banyak film yang bertemakan gay/lesbian yang bisa dirilis di bioskop Indonesia? Blitzmegaplex terbukti mampu memberikan ragam pilihan yang berbeda.
Judul film ini berasal dari nama sebuah bar di New York City. Ya lagi-lagi New York City yang dipilih oleh penulis skrip Marja Lewis Ryan sebagai setting lokasi kehidupannya. Bisa jadi terinspirasi oleh serial tenar Friends apalagi tokoh-tokoh utamanya memang beberapa pria wanita dewasa yang saling berinteraksi satu sama lain dengan segala problematikanya. Oleh karena itu sentralisasi karakter tidak terjadi karena frame selalu bergulir secara bergantian.
Dari segi akting, tidak ada masalah samasekali dari semua jajaran cast disini meskipun belum ada yang memiliki nama besar. Semuanya menghidupkan karakter masing-masing dengan pas dan natural. Terlebih Carlisle, Lewis Ryan dan Kubrak yang terlihat sangat menjiwai dengan ekspresi dan intonasi yang atraktif. Sayangnya kesemuanya itu pernah ditampilkan sebelumnya oleh puluhan judul Hollywood meski endingnya masih bersemangatkan indie movie yang kental.
Permasalahannya adalah saya tidak mampu berempati pada tokoh manapun juga dalam film ini. Bukan karena saya tidak mau peduli terhadap jalan cerita yang disodorkan melainkan kurangnya latar belakang dan visi masing-masing tokoh dalam menyikapi hidupnya. Seakan semuanya samar-samar dan sutradara Chase terus saja mengalir dengan supervisi dari Lewis Ryan yang tampaknya menyimpan ambisi pribadi tersendiri dengan proyeknya ini.
Kesalahan lain The Four-Faced Liar adalah kurang menyelipkan unsur komedi di dalamnya. Hal ini teramat penting untuk menyeimbangkan film yang sudah sarat dengan muatan sarkasme mengenai cinta, pengkhianatan dan patah hati itu sendiri. Namun jika anda menginginkan tontonan off-mainstream yang menjurus homoseksualitas (gay/lesbian), mungkin film ini bisa menjadi alternatif yang bijaksana. Belum tentu anda sependapat dengan saya, bukan?

Durasi:
85 menit

Overall:
6.5 out of 10

Movie-meter: