Friday 31 December 2010

LETTERS TO GOD : Kisah Inspirasi Surat-surat Berisi Harapan Nyata

Tagline:
Given the right address, anything is possible.

Storyline:
Tyler seringkali menulis surat untuk Tuhan. Topiknya pun berlainan mulai dari ibunya Maddy yang selalu khawatir padanya, kakaknya Ben yang terkadang marah padanya, sahabatnya Sam yang perhatian padanya hingga harapan-harapan indah bagi orang-orang di sekitarnya. Adalah seorang tukang pos pengganti, Brady yang menjadi pemabuk akibat ditinggalkan istri dan anaknya. Menerima surat Tyler di tangannya dan membacanya satu persatu, Brady mulai sadar akan kekeliruannya. Kini ia siap membantu Tyler untuk menyentuh setiap orang akan ketegaran dan keceriaannya yang sangat inspiratif itu.

Nice-to-know:
Didistribusikan oleh Golden Village Pictures, Vivendi Entertainment, Eagle Films, IPA Asia Pacific untuk peredaran internasionalnya.

Cast:
Lebih banyak bermain di serial televisi sebelumnya termasuk The Mentallist, Robyn Lively bermain sebagai Maddy Doherty
Sedang menyelesaikan The Hangover 2 saat ini, aktor cilik bernama Tanner Maguire ini berperan sebagai Tyler Doherty
Jeffrey Johnson sebagai Brady McDaniel
Michael Bolten sebagai Ben Doherty
Maree Cheatham sebagai Olivia
Bailee Madison sebagai Samantha Perryfield
Ralph Waite sebagai Cornelius Perryfield

Director:
David Nixon yang sebelumnya menggarap Making Waves (1998) kali ini dibantu oleh Patrick Doughtie.

Comment:
Sejak awal film ini memiliki misi tersendiri yaitu memerangi kanker sekaligus mengajak para penderitanya untuk tetap tabah dan optimis. Belum lagi dibalut dengan pesan agama yang ditampilkan secara universal meskipun dari sudut pandang Kristen sekalipun. Wajar bukan jika seseorang dilanda kesulitan seringkali imannya diuji habis-habisan. Jika anda langsung menyimpulkan film ini berat begitu membaca beberapa kalimat pertama review saya ini jangan salah. Anda akan diajak untuk mengikuti kisah menyentuh helai per helai, nyaris tidak terasa dan samasekali tidak menggurui.
Sentralisasi cerita berada di tangan Tyler Doherty yang dihidupkan dengan sangat brilian oleh Tanner Maguire. Ia mampu memberikan "tongkat estafet" kepada orang-orang di sekitarnya untuk terinspirasi dan memulai kisahnya sendiri-sendiri mulai dari ibunya, kakaknya, sahabat, tetangganya dll. Tidak heran jika namanya akan sering terdengar di kemudian hari. "Surat Untuk Tuhan" bisa jadi sebuah simbolisasi untuk menuntun kepercayaan kita masing-masing. Jika anda tidak mampu berkomunikasi lisan dengan Tuhan anda, mengapa tidak coba menuangkannya dalam tulisan?
Terlepas dari biaya produksi yang sangat rendah, Letters to God berhasil memaksimalkan segala keterbatasan yang dimilikinya. Hal ini sekaligus menjawab anggapan bahwa tampilan film ini seperti film televisi atau direct-to-dvd. Namun jajaran cast yang nama-namanya hampir tidak pernah terdengar itu mampu menyuguhkan kualita akting yang demikian baik. Berbagai lagu yang menjadi theme songnya mampu merangkai scene per scene dengan pas termasuk Dear Mr. God dari the Warren Brothers dan juga kinerja Seattle Symphony Orschestra. Skrip yang ditulis oleh Doughtie tidak terkesan natural tanpa tumpang tindih antar subplotnya, menyatu padu dengan gaya penyutradaraan Nixon yang sendu. Jangan anggap film produksi Mercy Creek Entertainment dan Possibility Pictures ini sebagai film religius seperti judulnya. Maknanya lebih jauh dari itu dan saya harus akui saya menitikkan air mata menyaksikannya. Siap untuk tersentuh juga akan film yang terinspirasi dari kehidupan Patrick Doherty yang meninggal di usia 10 tahun?

Durasi:
105 menit

U.S. Box Office:
$2,848,578 till end of Jun 2010

Overall:
7.5 out of 10

Movie-meter:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent

Crafty Kanhaiya (Bharosa)

This films stands solely on its story. It's engaging, freewheeling and full of attractive moments. Even though a bit melodramatic, like all K Shankar classics, Bharosa is very believable and in parts funny. And yes, it has Kanhaiyalal, the Parsi actor who made every role his second skin. Here, as the scheming foster father, Kanhaiyalal is a revelation. He enthralls, extracts irritation and

Thursday 30 December 2010

3 PEJANTAN TANGGUNG : Misi Dadakan di Daratan Borneo

Storyline:
Gaya hidup hedonis tiga sahabat yakni Harta, Angga dan Kris dapat dikatakan memuncak padahal kewajiban menuntaskan kuliah dengan tenggat waktu skripsi sudah di depan mata. Pada suatu malam setelah clubbing dan mabuk, mereka terbangun di sebuah kapal asing terombang-ambing di lautan. Sesampainya di daratan yang belakangan diketahui bernama Borneo itu, ketiganya bertemu Kepala Suku yang bijaksana dan memperlakukan mereka sebagai tamu. Sayangnya Angga dan Kris tanpa sengaja menyebabkan kebakaran gubuk yang mereka tempati. Kontan ketiganya dihukum untuk kerja bakti sebelum boleh kembali ke Jakarta. Tak lama kemudian, Harta berjumpa Riana, mahasiswa Kedokteran yang juga putri Kepala Suku. Di sisi lain seorang pengusaha bernama Handoyo tengah mengincar tanah setempat untuk dibangun ulang. Akankah petualangan ketiganya membawa babak baru dalam kehidupan mereka?.

Nice to know:
Diproduksi oleh Rapi Films dan gala premierenya dilangsungkan di fX Platinum XXI tanggal 23 Desember 2010.

Cast:
Ringgo Agus Rahman sebagai Harta
Deddy Mahendara Desta sebagai Angga
Dennis Adhiswara sebagai Kris
Siti Anizah sebagai Riana
Joe P-Project sebagai Handoyo
Piet Pagau sebagai Kepala Suku

Director:
Baru saja menyelesaikan Senggol Bacok beberapa bulan lalu, Iqbal Rais kembali lagi dengan genre komedi yang masih mengandalkan aktor-aktor kesayangannya.

Comment:
Saya harus akui plot cerita film ini menarik, terlepas dari intervensi pengaruh beberapa film asing yang juga mengangkat tema serupa. Sah-sah saja jika mampu dikombinasikan secara baik dengan unsur lokal. Kali ini Iqbal menggabungkannya dengan setting Samarinda yang memang menjadi kota kelahirannya. Berbagai unsur budaya setempat disajikan dengan natural tanpa ada unsur paksaan sama sekali, lengkap dengan setting hutan dan desanya. Perfilman nasional rasanya cukup beruntung memiliki sutradara muda satu ini yang selalu hadir dengan ide dan kreatifitasnya yang tidak melulu itu-itu saja, mengingat sepanjang 2010 penonton sudah cukup muak disodorkan tema yang serupa tapi tak sama.
Plot yang demikian unik tentu saja akan sia-sia jika tidak tereksekusi dengan baik. Dan film ini memiliki kelemahan yang cukup kentara terutama dari segi karakterisasinya. Harta, Kris dan Angga nyaris tidak memiliki ruang yang cukup untuk mengeksplorasi "perangai" masing-masing meskipun waktunya sangat tersedia. Bahasan karakter ketiganya hanya dilakukan secara naratif di prolog film. Diperburuk lagi oleh trio Ringgo, Desta dan Dennis yang sayangnya kali ini kurang ampuh mengeluarkan "jurus-jurus" andalan mereka. Bisa jadi hal ini disebabkan terlalu seringnya Ringgo-Desta berakting dalam genre komedi selama beberapa tahun terakhir apalagi duet keduanya juga kerapkali terjadi di beberapa judul diantaranya. Memang disayangkan terlebih kehadiran aktor senior Piet yang sudah lama absen sudah menjadi nilai plus tersendiri disini.
Premis utama film yang sudah cukup menjual di awal menjadi keteteran memasuki pertengahan durasi. Antusias dan rasa penasaran penonton akan endingnya bisa jadi terganggu karena kelemahan-kelemahan mendasar yang saya sebutkan di atas. Seumpama kapal yang berlayar tanpa riak ombak, datar-datar saja. Alhasil 3 Pejantan Tanggung tidak mampu memaksimalkan segala potensi yang dimilikinya sebagai film penutup tahun 2010 sebagai film komedi dengan misi budaya terselubung.

Durasi:
80 menit

Overall:
7 out of 10

Movie-meter:
6-sampah!
6.5-jelek ah
7-rada parah
7.5-standar aja
8-lumayan nih
8.5-bagus kok
9-luar biasa

Happy New Year


Happy New Year!  Thank you for the pleasure of your company this past year.  See you in 2011.

Wednesday 29 December 2010

THE TOURIST : Ketika Tersangka Jatuh Dalam Intrik dan Cinta

Quotes:
Elise: I'm sorry, I got you involved in all this.
Frank Taylor: Why are you involved?

Storyline:
Dalam perjalanan di kereta menuju Venice, Elise memilih duduk di sebelah turis Amerika, Frank. Pihak Kepolisian tengah membuntuti Alice selama beberapa tahun terakhir sambil menunggu yang bersangkutan menghubungi kekasihnya, Alexander Pierce. Diketahui Pierce telah melarikan uang lebih dari 2 miliar dollar dari Kepala Mafia berpengaruh tanpa membayar pajak sekitar 775 juta dollar! Tugas Elise adalah menghindari polisi sekaligus mafia yang menginginkan uang tersebut kembali. Sayangnya tidak satupun yang pernah melihat wajah asli Alex sehingga Elise sangat dibutuhkan untuk mengindentifikasinya. Lantas apa reaksi Frank yang harus terlibat dalam semua ini?

Nice-to-know:
Angelina Jolie mengenakan 12 kostum yang berbeda sepanjang film.

Cast:
Tidak banyak yang tahu debutnya dalam A Nightmare On Elm Street (1984) di usia 19 tahun, Johnny Depp berperan sebagai Frank Tupelo
Sempat terlibat dalam spesial episode Kungfu Panda untuk televisi di sela-sela syuting film ini, Angelina Jolie bermain sebagai Elise Clifton-Ward
Paul Bettany sebagai Inspector John Acheson
Timothy Dalton sebagai Chief Inspector Jones
Steven Berkoff sebagai Reginald Shaw
Rufus Sewell sebagai The Englishman
Raoul Bova sebagai Conte Filippo Gaggia

Director:
Merupakan film panjang kedua bagi Florian Henckel von Donnersmarck yang asli Jerman ini setelah The Lives of Others (2006).

Comment:
Bayangkan jika dua bintang papan atas Hollywood disatukan dalam sebuah film. Daya tarik akting seorang Depp dan pesona seorang Jolie tentunya tidak akan anda hiraukan begitu saja. Keduanya berbagi chemistry dengan manis disini. Terus terang saya menikmati kehadiran Jolie sebagai Elise, wanita cantik dalam berbagai situasi yang ternyata seorang agen rahasia. Lihat keanggunan, kecantikan, keseksiannya dari gaya rambut hingga busananya yang sungguh menggoda. Sedangkan karakter Frank, seorang guru lugu nan misterius dibawakan Depp dengan gaya tersendiri. Menarik melihatnya kembali bermain sebagai "pria biasa" mengingat beberapa tahun terakhir ini Depp membawakan karakter aneh mulai dari Jack Sparrow hingga Mad Hatter. Jangan lupakan juga kehadiran mantan James Bond, Timothy Dalton serta Bettany yang selalu konsisten di mata saya.
Saya juga mengagumi keberanian sutradara von Donnersmarck untuk memberikan warna French movie ke dalam film ini meskipun settingnya di Venice. Gagal atau tidak kinerjanya merupakan penilaian anda masing-masing. Namun sinematografinya terangkai indah menghadirkan pemandangan indah Eropa klasik mulai dari konstruksi ruangan hotel berkelas ataupun menelusuri Venice dengan gondola. Dijamin mata anda tak berkedip menatap semua itu. Genre aksi dan drama juga dihadirkan secara seimbang terlepas dari berbagai dialog yang tidak konsisten, terkadang menarik tapi tak jarang juga basi.
Permasalahannya adalah publik pemerhati dunia film tahu betapa proyek ini sempat terombang-ambing karena pergantian castnya yang tak hanya sekali tapi berkali-kali. Dan saya bisa bayangkan dalam waktu singkat Depp harus bisa menerjemahkan karakter Frank sedemikian rupa. Tidak buruk bagi aktor sekelasnya tetapi saya tetap merasa ada yang kurang sehingga dalam beberapa scene, Depp benar-benar terlihat seperti "Goofy" bercambang. Sedangkan Jolie pun nyaris tidak menawarkan apapun yang baru disini selain kesempurnaan fisiknya yang sangat menjual.
Sebenarnya kualitas akhir The Tourist tidaklah seburuk yang dibayangkan. Terlebih jika anda tidak berpengharapan terlalu tinggi saat berniat menyaksikannya, rasanya masih dapat dinikmati sebagai film hiburan ringan di akhir pekan. Twist yang dihadirkan di epilog tidaklah terlalu mengejutkan seperti yang diharapkan banyak pihak. Namun kolaborasi Depp dan Jolie diyakini benar-benar akan menjadi magnet yang kuat disini sehingga karakter lainnya terasa tidak penting untuk diingat. Tidak percaya? Sebagai referensi, bolehlah anda saksikan dan bandingkan film ini dengan Anthony Zimmer yang asli film Perancis itu.

Durasi:
100 menit

U.S. Box Office:
$16,472,458 in opening week mid Dec 2010

Overall:
7.5 out of 10

Movie-meter:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent

Tuesday 28 December 2010

LOVE IN PERTH : Jatuh Cinta Lokal Di Negeri Orang

Storyline:
Sesampainya di Perth untuk menuntut ilmu, Lola yang masih berusia 16 tahun malah kerapkali bertemu Dhany, cowok sombong yang selalu berlaku tidak manis padanya. Belum lagi sikap Tiwi, roommatenya yang sok bule dan gemar berganti-ganti pacar itu menerapkan berbagai aturan yang tidak fair. Beruntung masih ada Ari, siswa senior yang menaruh hati pada Lola. Sesungguhnya Dhany juga tertarik pada Lola tetapi takut dicemooh teman-temannya yang rata-rata kalangan elite yang mementingkan kekayaan dan gaya hidup. Siapakah yang pada akhirnya dipilih Lola dan bagaimana ia menyesuaikan diri dengan kota Perth yang kadang terasa tidak bersahabat baginya?

Nice to know:
Diproduksi oleh MD Pictures dan gala premierenya dilangsungkan di Studio eX XXI tanggal 28 Desember 2010.

Cast:
Derby Romero sebagai Dhany
Gita Gutawa sebagai Lola
Petra Sihombing sebagai Ari
Michella Putri sebagai Tiwi

Director:
Film keempatnya di tahun 2010 ini bagi Findo Purwono HW setelah Menculik Miyabi, Lihat Boleh Pegang Jangan dan Hantu Tanah Kusir.

Comment:
7 tahun berlalu sejak kesuksesan fenomenal Eiffel I'm In Love yang melejitkan nama Samuel Rizal dan Shandy Aulia. Beberapa film setelahnya dianggap mengekor termasuk sekuelnya dan spin-offnya Lost In Love. Lalu di tahun 2010 ini munculnya Love In Perth yang lagi-lagi menggunakan format serupa yaitu cinta segitiga antara satu remaja wanita dan dua remaja pria (yang satu baik, yang satu menjengkelkan) dimana bisa anda tebak kalau si cewek akan memilih cowok yang menyebalkan. Kadang ungkapan most girls love bad boys ada benarnya juga.
Yang berbeda adalah setting yang berpindah dari Paris ke Perth yang juga merupakan salah satu kota di Australia yang banyak dituju oleh siswa-siswi Indonesia untuk belajar. Beruntung film ini tidak sekadar menempelkan judul, sebab Perth National High School dan beberapa scene pelabuhan serta tentunya taman-taman indah sebagai latar belakangnya. Tidak sia-sia jika Perth dijuluki Kota Seribu Taman. Alunan suara Gita dan Derby selaku dua bintang utamanya juga cukup dominan meski terkadang lagu-lagunya agak dipaksakan masuk ke setiap adegan.
Bagaimana dengan akting mereka sendiri? Harus diakui debut Gita dan Derby cukup menarik disini. Hanya saja tampang girly dan boyish mereka masih tidak dapat dipungkiri sehingga terkadang risih melihat dua remaja muda ini bermesraan, walaupun masih dalam batas-batas yang bisa diterima. Gita terkadang terlalu polos untuk disebut lugu disini. Karakter Lola di tangannya digambarkan pintar dan moody. Sedangkan Derby sebagai Dhany masih kurang tengil dan bad boy meskipun gaya busananya sudah disesuaikan sedemikian rupa. Dua karakter pendukung yang unik adalah Petra yang kalem dan Michella yang sok bule itu. Sayang keduanya terasa tempelan belaka sehingga kurang masuk ke dalam penokohan inti.
Sutradara Findo lagi-lagi bermain "aman" tapi setidaknya tidak membombardir film ini dengan humor-humor slapstick yang terkadang menjurus mesum seperti yang sudah-sudah. Ia cukup berhasil menyiasati keterbatasan lokasi dan waktu syuting yang pasti membengkak karena dibawa ke luar negeri. Konsep asmara on-off mampu dimaksimalkannya dengan wajar terlepas ada beberapa konflik yang terkesan dibuat-buat untuk memperpanjang cerita.
Saya bertanya-tanya mengapa MD Pictures tidak cukup percaya diri hingga menunda perilisan Love In Perth sampai satu tahun! Menurut saya sebagai tontonan remaja, Love In Perth cukup menarik dan bisa jadi menghibur karena aktor-aktris yang bermain di dalamnya masih fresh dan berbakat. Dugaan saya ada pemangkasan durasi dengan pemotongan beberapa adegan yang dianggap tidak perlu untuk lebih "menjual". Tidak heran jika durasinya tergolong singkat. Sebagai penutup tahun 2010 ini tidak ada salahnya anda menyaksikan yang satu ini tanpa berekspektasi terlalu tinggi.

Durasi:
80 menit

Overall:
7.5 out of 10

Movie-meter:
6-sampah!
6.5-jelek ah
7-rada parah
7.5-standar aja
8-lumayan nih
8.5-bagus kok
9-luar biasa

What the original was not (Prem Patra)

Here is a film that beats its original hands down. I'd never thought I would point fingers at a Uttam Kumar - Suchitra Sen classic. But, Agragami's Sagarika is so killingly boring that any tepid film of that age would be a better option any day. So, when I accidentally discovered that Bimal Roy's underrated classic Prem Patra is but a Hindi remake of Sagarika, I sat down to watch it with

Monday 27 December 2010

Off Topic - Children's Books during World War II


This is to pick up the thread of a conversation we began in the comments section of this post a month ago that introduced the series on home front “war stories”. I’ve had another project on the back burner for some time with which some of you might be able to help.

This involves a possible book about children’s books written during World War II, about that war. We’re not talking about any classics of children’s literature here, no Caldecott or Newbery Award winners; what I mean are those series books, the pulp novels that engaged teens and pre-teens with a weird combination of childlike adventure and all-too adult angst about the consequences of not doing one’s patriotic duty during the war.

Some of these were a series featuring the same character, like the “Dave Dawson” books, where he and his pal, Freddie Farmer, fought the enemy pretty much all over the globe. Likewise “Red Randall” who began his teenage trial by fire at Pearl Harbor. Both series were written by R. Sidney Bowen.

“Cherry Ames” went from nursing school into the Army, served in Panama, some non-disclosed islands in the South Pacific, flew through a hailstorm of gunfire over Germany, and finished up her tour of duty as a nurse in a veteran’s hospital. I won’t guess how many girls pursued nursing careers because of this series, but I know there are some out there who admit to it.

Other series followed a theme of wartime service but featured different characters. Whitman Publishing, who practically cornered the market in children’s series books at the time, produced several pulp novels under their “Fighters for Freedom Series”. This gave us “Nancy Dale - Army Nurse”, “Dick Donnelly of the Paratroops”, “Norma Kent of the WACS,” “Sally Scott of the WAVES”. “Kitty Carter of the Canteen Corps” showed us we didn’t necessarily have to be in the military to help the war effort.

The publisher touted these as “Thrilling novels of war and adventure for modern boys and girls.”

It was a tough being a modern boy or girl when war might be all you remembered, and would determine a future you could not imagine, a future which seemed to hang precariously on whether or not you displayed your full measure of devotion and courage. Just eating your vegetables wasn't good enough anymore.

There are several elements to these stories which are quite striking. One is the, in some cases, unsparing description of death and cruelty, and the fatalistic manner in which the tone of these stories seems to indicate the young reader should accept these conditions. Nancy Dale’s troop ship is torpedoed, and she spends several days in a lifeboat with a handful of other nurses and crew members. One dies and they dump the body overboard.

At one point in the story she receives word her brother is missing in action and presumed dead. A family friend, comforting her, tells her not to hold out much hope of his survival. “Don’t let wishful thinking keep you from facing reality, my dear. There’re many things worse than death in this war.” How would a kid, who had relatives in the war, take this message?


On the frontispiece of “Red Randall at Pearl Harbor”, published by Grosset & Dunlap, we are reminded that “This book, while produced under wartime conditions, in full compliance with government regulations for the conservation of paper and other essential materials is completed and unabridged.” Even the book itself has the imprimatur of self sacrifice.

If you find these books today, the pages are yellowed, few of them have book jackets left intact, but many of them have the signatures of the children to whom they belonged. Or, in this case of this flyleaf of “Norma Kent of the WACS” - “To Shirley from Grandma - December 25, 1944”.


What I’d like to know from you is your memories of reading these books, how you discovered them, and what impressions they had upon you. Perhaps you were, like Shirley, a child at Christmas. Perhaps you were Shirley’s younger sister or brother, getting her hand-me-down books five or ten years later, when the aftermath of the war was known and the wartime service remained a badge of honor out of reach for this first succeeding generation. Maybe you were her daughter, or grandson, and found these books in an attic. You could have read them when the war was current events, or something that came alive for you one rainy afternoon in the 1970s.

I’d like to know about that particular American generation, who became adults in the early 1950s, perhaps still “shell shocked” by a childhood of vicarious victory and defeat, who found themselves taking places of responsibility in a society where, though regimented, not everyone played by the rules.

I’d like to hear from the all the nurses, the sailors, the fliers, who became what they did because of a book they’d read when they were fourteen.

I’d like to hear from the romantic nostalgic buffs who learned history from flea market artifacts like a written-to-formula kid’s novel about a world turned terrible where the monsters were real, and you never read “and they lived happily ever after” at the end.

If you have any thoughts to contribute, please email me at: JacquelineTLynch@gmail.com, with the understanding that any communication might be used for possible publication, though all requests for anonymity will be honored. No email communication will be published on this blog.

Thanks.

Saturday 25 December 2010

GULLIVER'S TRAVELS : Petualangan Negeri Liliput Raksasa Bernyali Kecil

Tagline:
Something big is going down

Storyline:
Llemuel Gulliver merupakan pria biasa dengan mimpi besar tetapi kurang percaya diri. Itulah sebabnya pekerjaan administrasi surat-menyurat yang dilakoninya selama 10 tahun tidak memberikan apa-apa termasuk modal untuk mendekati karyawan divisi perjalanan, Darcy Silverman. Karena ditantang rekan kerja barunya, Gulliver nekad menyambangi Darcy pada suatu malam untuk mengajaknya kencan tetapi berakhir mendapat tugas membuat liputan perjalanan wisata. Satu yang ia lakoni adalah bepergian ke Segitiga Bermuda hingga terdampar di negeri liliput saat kapalnya diterjang badai dan tornado. Gulliver pun menjadi tawanan hingga akhirnya memutuskan untuk memulai petualangannya sendiri

Nice-to-know:
Awalnya Taylor Lautner sempat dipertimbangkan sebagai Horatio tetapi batal karena dianggap terlalu muda oleh produser

Cast:
Paska kesuksesan Kungfu Panda (2008), Jack Black kembali lagi dalam film semua umur sebagai Gulliver, pegawai bagian surat yang terdampar di negeri liliput saat melakukan perjalanan ke Segitiga Bermuda.
Baru saja mengisi suara Vector dalam Despicable Me, Jason Segel berperan sebagai Horatio
Emily Blunt keluar dari Iron Man 2 untuk bermain sebagai Princess Mary
Amanda Peet sebagai Darcy Silverman
Billy Connolly sebagai Raja Theodore
Chris O’Dowd sebagai Jenderal Edward

Director:
Rob Letterman tahun lalu menggarap animasi yang juga berformat 3D yaitu Monsters Vs Aliens.

Comment:
Merupakan adaptasi novel klasik yang sudah berulang-ulang kali difilmkan ke dalam layar lebar ataupun layar kaca dengan berbagai pemain di berbagai jaman. Sekarang sudah tahun 2010 apakah sutradara Letterman punya formula baru untuk modernisasi? Jawabannya tidak juga karena yang ia tambahkan hanyalah alat pelacak GPS, robot raksasa petarung, billboard, baliho, kaleng Coca-cola besar dsb. Tidak lebih. Sisanya hanyalah formula lama seperti Kerajaan Liliput dan segala atribut di dalamnya.
Dari jajaran cast, mungkin mayoritas dari anda menyukai Jack Black seperti halnya saya. Ia adalah salah satu komedian masa kini yang orisinil dari segi aksi dan gaya humornya yang biasanya bekerja dengan baik dalam film-film sejenis. Namun sebagai Gulliver sang raksasa yang biasanya serius, Black menjiwainya dalam kacamata komedik yang terkesan tidak pernah serius. Beberapa bagian cukup berhasil tapi sebagian besar sangat mudah ditebak. Aktor-aktris lain terkesan tidak terlalu penting alias out of the frame. Memang terkadang Blunt dapat mencuri perhatian, tetapi nama-nama seperti Segel ataupun Peet tidak terlalu mengesankan apalagi O’Dowd yang masih kelewat kaku sebagai antagonis.
Mengenai efek 3D, rasanya tidak perlu anda istimewakan. Beberapa scene memang dimaksudkan untuk 3D dan sudah disesuaikan kedalaman gambarnya tetapi sayangnya tidak ada yang benar-benar “keluar” dari layar. Seharusnya untuk versi modern kisah yang sedemikian terkenal, unsur 3D tidak boleh menjadi gimmick semata. Soundtrack pendukungnya juga tidak kuat selain satu dua lagu yang menyisipkan pesan moral bahwa peperangan tidaklah perlu atas alasan apapun juga.
Rasanya Gulliver’s Travels hanya diperuntukkan bagi para pecinta Black pada khususnya ataupun publik pada umumnya terutama yang perlu mengisi waktu bersama keluarga di liburan Natal tahun 2010 ini. Tidak lebih dan tidak kurang. Namun perlu diingat bahwa komedi disini lebih cocok bagi kalangan remaja dewasa, bukan anak-anak, jadi pikir dua kali sebelum mengajak anak anda yang masih di bawah umur. Satu hal lagi sebagai penutup, semua elemen dalam film ini serba prediktif dan secara mengejutkan kurang imajinatif sama sekali.

Durasi:
90 menit

Overall:
7 out of 10

Movie-meter:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent

Not an ideal husband (Chaudhvin ka Chand)

And I hear that this M Sadiq triangular love story was such a roaring success that it pulled Guru Dutt out of the slumps after his Kaagaz ke Phool failed to click. For, apart from some snatches there is hardly anything convincing about Chaudhvin ka Chand, set in 1960's Lucknow. Yes, the songs are marvellous and the lead cast is brilliant. But the severely flawed character of Aslam really broke my

Bitter sweet (Namkeen)

Someone please tell me where can I lay hands on the unabridged version of Gulzar's bittersweet Namkeen. I'll be eternally grateful...
Here is a story that engages you at the very onset. A burly truck driver moves into a hilly town. He is recruited for the construction of a bridge downtown. He is alone and needs accommodation. The owner of the eatery where he has his meals takes him to a run down

Friday 24 December 2010

BURIED : Berjuang Terkubur Seorang Diri

Tagline:
170,000 SQ miles of desert. 90 minutes of Oxygen. No way out.

Storyline:
Terbangun dalam kegelapan pekat, supir truk Amerika yang bekerja sebagai kontraktor di Irak pada tahun 2006 bernama Paul Conroy menyadari ia berada di dalam peti mati kayu yang terkubur. Dengan geretan yang dimilikinya, ia menemukan sebuah Blackberry aktif yang dapat digunakan untuk berkomunikasi dengan pihak luar. Namun apakah mereka cukup peduli dengan kondisi Paul yang lokasinya tidak diketahui samasekali? Paul harus menggunakan akalnya sekaligus berpacu dengan waktu sebelum persediaan oksigen mulai menipis.

Nice-to-know:
Syuting film ini hanya menghabiskan waktu 17 hari di sebuah studio di Barcelona dengan menggunakan 7 peti mati yang berbeda-beda dalam prosesnya.

Cast:
Selagi mempersiapkan diri dalam The Green Lantern, Ryan Reynolds bermain dalam sebuah film indie ini sebagai Paul Conroy, supir truk CRT yang terjebak dalam misinya di Irak.
José Luis García Pérez sebagai Jabir
Robert Paterson sebagai Dan Brenner
Stephen Tobolowsky sebagai Alan Davenport
Samantha Mathis sebagai Linda Conroy
Ivana Miño sebagai Pamela Lutti

Director:
Merupakan film panjang kedua bagi Rodrigo Cortés sejauh ini setelah The Contestant (2007).

Comment:
Apakah anda pengidap klaustrofobia? Jika iya, saya sarankan untuk tidak menonton film ini atas dasar apapun juga. Sebab sepanjang 90 menit yang anda saksikan hanyalah dimensi kotak panjang kali lebar sebuah peti mati dengan seorang pria hidup di dalamnya. Anda mungkin bisa mengurut dada karena anda bukanlah pria tersebut. Jika iya, apa yang akan anda lakukan?
Itulah yang ingin disampaikan sutradara Cortés dalam film yang hanya berbujet 3 juta dollar ini. Dan ia dengan pintar memaksimalkan segala sudut ruang peti mati dari berbagai angle kamera dengan lighting yang pas. Acungan jempol juga patut diberikan pada Chris Sparling yang menulis ceritanya dengan sangat brilian dimana segala suspensi dikerahkan secara maksimal untuk tetap menjaga minat penonton untuk tetap mengikuti jalur yang dibuat.
Bagaimana dengan Reynolds? Saya cukup salut dengan pilihannya kali ini karena beresiko tinggi. Tokoh Paul Conroy merupakan nyawa film ini. Dan Reynolds melakukannya dengan gemilang. Segala keterbatasan pendukung dijawabnya dengan ekspresi muka, intonasi suara, kedipan mata, bahasa tubuh yang natural dan tersinkron baik. Kita diajak peduli pada nasibnya walau bisa dibilang ia bukan siapa-siapa yang patut diberikan simpati. Di luar penampakan Reynolds, yang lain mungkin hanya terdengar suaranya saja diiringi dengan suara tembakan, langkah kaki dsb tetapi itu sudah cukup meyakinkan audiens bahwa situasi itu nyata senyata-nyatanya.
Ending Buried yang sedemikian simpel bisa jadi mencengangkan anda semua walaupun tidak seperti yang diharapkan tetapi cukup smart dan provokatif. Hal yang sedikit mengganggu saya adalah pemilihan musik pengiring credit title karena nadanya terkesan mengolok-olok penonton untuk segera bergegas meninggalkan bioskop. Sampai kapanpun, rasanya Buried akan tetap dikenang sebagai film independen panggung milik Cortés dan Reynolds.

Durasi:
95 menit

U.S. Box Office:
$1,028,658 till early Nov 2010

Overall:
7.5 out of 10

Movie-meter:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent

His or his (Rajnigandha)

Never was a girl's dilemma in love depicted so subtly. In Basu Chatterjee's Rajnigandha, Deepa is torn between her two loves time and again and has to make up her mind on who to settle down with. She keeps comparing the two men in her life, their personalities and character and ultimately uses the nth minute to decide that first love does not necessarily have to be true love.

Sometimes Deepa's

Thursday 23 December 2010

DALAM MIHRAB CINTA : Pencopet Bertobat Temukan Cinta

Storyline:
Syamsul mulai menjalani hari-hari barunya sebagai santri muda di Pesantren Al Furqon. Sayangnya ia difitnah oleh sahabatnya sendiri, Burhan yang mengakibatkan diusir dari Pesantren dengan tidak hormat. Keluarganya juga tidak mempercayainya sehingga membuat hati Syamsul terluka. Iapun pergi meninggalkan semuanya dan menjadi pencopet handal. Dalam perjalanan ia sempat menyelamatkan Zizi yang ditodong, bahkan Silvi yang ia copet dompetnya. Akankah pada akhirnya Syamsul kembali ke jalan yang benar dan mampu secara bijaksana memilih jodoh terbaiknya?

Nice-to-know:
Diproduksi oleh Sinemart Pictures dan gala premierenya dilangsungkan di Gandaria City XXI tanggal 21 Desember 2010.

Cast:
Dude Harlino sebagai Syamsul Hadi
Asmirandah sebagai Silvi
Meyda Sefira sebagai Zizi
Boy Hamzah sebagai Burhan
Tsania Marwa
El Manik
Ninik L. Karim
Elma Theana
Umar Libus
Neno Warisman
Iszur Muchtar
Berliana Febriyanti
Kaharudin Syah

Director:
Jika dalam dwilogi Ketika Cinta Bertasbih, Habiburrahman El Shirazy mempercayakan Chaerul Umam untuk duduk di kursi sutradara maka kali ini ia mendapuk dirinya sendiri.

Comment:
Bisa dibilang 50 menit pertama film ini terlalu alot untuk dicerna. Konflik intern dalam diri Syamsul terasa terlalu didramatisasi tanpa pendalaman karakter yang masuk akal. Penonton dipaksa menerima permasalahan begitu saja tanpa peduli mengundang simpati atau sebaliknya. Bayangkan seseorang yang sudah difitnah sedemikian rupa kemudian melakukan sesuatu yang dituduhkannya. Walaupun bertujuan baik rasanya kita akan mengernyitkan dahi menyaksikannya. Beruntung di paruh kedua, segala permasalahan disampaikan dengan lebih menarik dan berkembang secara natural. Lompatan emosi antar tokohnya mulai dapat dirasakan disini. Meskipun pada akhirnya terasa sedikit ngebut dengan banyaknya subplot demi subplot yang berusaha dijabarkan.
Penunjukkan Dude sebagai Syamsul sedikit beresiko karena ia lebih dikenal sebagai aktor layar gelas yang secara notabene berbeda jauh dengan layar kaca. Dan kekhawatiran saya terbukti karena Dude terasa naik-turun dalam menjiwai karakternya. Keterampilannya sebagai ustadz justru tidak terlalu ditonjolkan disini, hanya di kulit luarnya saja. Namun transformasi yang dilakukannya masih tergolong lumayan dan setidaknya terlihat meyakinkan sebagai sentralisasi cerita. Sebaliknya Asmirandah berhasil mencuri perhatian dengan karakter Silvi yang tidak hanya cantik tetapi juga soleh dan berani bersikap. Meyda Sefira masih kurang mendapat porsi yang layak sehingga terkesan menjadi pelengkap saja sebagai Zizi.
Kang Abik sebagai sutradara memang harus diakui berkemampuan menyajikan drama religi yang mengusung banyak problema tapi sayangnya masih terlalu teaterikal. Banyak sekuens yang terasa berlompatan disana-sini sehingga mengganggu proses penceritaan itu sendiri. Musik yang digunakan sebagai latarnya merupakan bantuan yang sangat berarti bagi film ini untuk membangun mood. Endingnya cenderung bisa ditebak dengan mudah oleh anda semua. Dalam Mihrab Cinta tidaklah sefenomenal KCB dalam berbagai aspeknya tetapi setidaknya dapat dijadikan obat penawar rindu anda akan kehadiran drama religi itu sendiri.

Durasi:
105 menit

Overall:
7 out of 10

Movie-meter:
6-sampah!
6.5-jelek ah
7-rada parah
7.5-standar aja
8-lumayan nih
8.5-bagus kok
9-luar biasa

"Holiday Affair" - 1949

“Holiday Affair” (1949) could almost be an extension of the “war stories” series we did a couple weeks ago, with its examination of a war widow still fighting the good fight on the home front. The trouble is, the war’s over and she cannot make herself move on.

Janet Leigh plays the single mother of little Timmy, played with all-American boy golly gosh sweetness by young Gordon Gebert. Master Gebert has a cute line when, given a present he especially wanted, replies, “I’m so happy if I was a dog, my tail would be wagging.” It’s something a six-year would say.

A war widow, Janet Leigh still keeps the lamp in the window by subconsciously, and sometimes consciously, raising her boy to be a replacement for his father, and by not allowing a new husband and father a place in her heart.

Not that Wendell Corey isn’t trying. He plays her attorney beau, a steady, nice guy with an easy, intelligent manner who waits patiently for her to accept his marriage proposal, washes the dishes with her, and meanwhile works hard at being Timmy’s pal. Timmy is ambivalent, for his mother is raising him to be, like her, self sufficient and needing nobody but each other.

Enter Robert Mitchum, just as good at being a charming sweetie as he is being a sadistic scary guy. Who’d have thought? He and Miss Leigh cross paths in a department store, and continue to cross paths throughout the movie in situations both coincidental and contrived. He wins Timmy over first with his playfulness and man-to-man camaraderie, but Janet Leigh is more resilient. He has to hammer home some painful truths to her before she allows the war to be finally over.

I like the scene where Mitchum and Corey ruminate on how it doesn’t seem to snow as much as when they were kids, and how Corey muses it might have something to do with the atom bomb.

As we mentioned in our last post on “The Shop Around the Corner”, we’re looking at a commercial Christmas in these posts. What had been a cozy and quaint 1930s gift shop on a snowy Budapest side street in that movie becomes a bustling downtown post-war department store here. The kind of scene for which many old movie buffs are, in these days of mega malls and online shopping, nostalgic for, despite how the inconvenient dressing up and taking a cab downtown would seem today.

We love this old stuff, but I wonder if we have the guts and stamina, and patience for it?

Particularly clever is the use of electric trains, the iconic Holy Grail of Christmas presents, and also a foreshadowing of a cross-country train trip Mr. Mitchum intends to take to start his life over.

When the opening credits roll, we are shown a train barreling by, and as the camera pans back from the countryside, we see that it is nothing more than a toy electric train setup in a store toy department. Robert Mitchum takes center stage, part Pied Piper and part pitchman, as he demonstrates the marvelous toy trains to the rapt audience of kids. He is a salesman here, a hero to his young customers, a bane to the suspicious floorwalker who keeps an eye on him.

Janet Leigh buys a train, but not for her little boy who would kill for one. She is a comparison shopper incognito, a kind of commercial spy who investigates prices, quality of merchandise, buys trains and then returns them. Mr. Mitchum is on to her, but when he fails to report her to the manager, his floorwalker nemesis turns him in, and he’s fired. Out of job at Christmas.

His dream is to travel to California and work at a boat building business, but he needs the dough to get there. Still, he buys Timmy the train he won’t otherwise get for Christmas, and puts himself next in line behind Wendell Corey for Janet Leigh’s hand in marriage. If she can just realize the fact that she’s free to marry.

A couple of good scenes are the Christmas dinner with Janet Leigh’s in-laws, a kindly elderly couple, played by Esther Dale and Griff Barnett, doting on the grandson who reminds them so much of their deceased son. Wendell Corey and Robert Mitchum also have seats at the table, and for a while it’s very pleasant how these grownups behave so grown up, suppressing their own angst and desires for the sake of Christmas.


They give toasts, and when it’s Mr. Mitchum’s turn, he frankly states his case, in lawyer-like fashion, to the lady and her lawyer that he wants to marry her. Rarely has a personal confrontation come off as so classy.

It’s also a punch in the gut for Wendell Corey to have to sit through it, for Janet Leigh who fears it, and for her in-laws, who gamely suffer the logical discussion of who is better to be their grandson’s next father, a replacement for their son.

Another good scene is when Mitchum calmly blasts her between the eyes with self knowledge at its most uncomfortable, of what she is doing to herself and her son by not letting go of her widowhood.


Likewise when Wendell Corey breaks off with her, acknowledging to her what he has known for some time, she just doesn’t love him. It’s killing him, but he faces it stoically. Neither men try to beat each other’s time; they just want the facts which Janet Leigh is too frightened, or guilty to face.

Just before the end credits roll, we see a real train trip and watch Robert Mitchum take off on his new life adventure, but not alone. Just as at the beginning, the camera pulls back and the train cleverly becomes a toy again on a new train setup with tiny palm trees of his California destination. It’s like “Holiday Affair Meets Gumby.”

By the way, this film was released on Christmas Eve, 1949. In this previous post, we covered how most Christmas-themed movies were not released during the holiday at all.

Thanks for shopping with me this week. And for carrying the packages. You can put them down, now. For those who celebrate Christmas, I wish you a peaceful and pleasant holiday.

For all readers of this blog, I have a gift (should you choose to accept it, as they used to say on “Mission Impossible”). For today only you can order my novel “Meet Me in Nuthatch” FREE from Smashwords. This is an ebook, which can be downloaded to any ebook reader in different formats, and can also be downloaded to your computer and read on your computer without needing any Kindle or Nook or other ereader. When you go through the checkout, put in this coupon code: JQ29S -- and your book will be free.

Merry Christmas.

Wednesday 22 December 2010

DREAM HOME : Kesadisan Jiwa Akibat Apartemen Impian

Tagline:
What would you do, if someone blocked your view..

Storyline:
Cheng Li-sheung adalah seorang wanita karir yang mendambakan sebuah apartment mewah yang menghadap pelabuhan Victoria Bay. Ia bekerja keras untuk itu tapi semuanya terasa sia-sia saat ayahnya sakit keras sehingga membutuhkan biaya pengobatan yang tidak sedikit. Belum lagi harga properti di Hongkong yang melangit. Didera oleh obsesi, Cheng nekad melakukan hal-hal mengerikan di luar batas kemanusiaannya demi mempertahankan impiannya sejak kecil.

Nice-to-know:
Diproduksi oleh 852 Films dan Making Film.

Cast:
Josie Ho sebagai Cheng Li-sheung
Eason Chan
Michelle Ye
Norman Chu
Hee Ching Paw
Lawrence Chou

Director:
Merupakan satu dari dua film di tahun 2010 yang digarap oleh Pang Ho-Cheung selain Love In A Puff.

Comment:
Berapa banyak film Hongkong yang secara gamblang menampilkan kesadisan di luar batas? Mungkin lebih dari satu dekade yang lalu ada The Untold Story yang melejitkan nama Anthony Wong mengenai pembunuhan manusia untuk kemudian dijadikan daging bakpau. Film tersebut dibuat sampai beberapa seri dan menjadi salah satu cult nya perfilman Asia hingga saat ini. Dan di tahun 2010 ini sutradara Pang Ho-Cheung menghadirkan hal yang kurang lebih sama dengan pendekatan yang berbeda lewat film ini.
Dream Home bukanlah film slasher biasa. Namun dibalut dengan konsep drama yang manusiawi. Gaya penceritaan Pang terasa unik karena menggunakan alur maju mundur secara bergantian hingga didapatkan satu konklusi yang menjelaskan semua. Sinematografi yang unik berhasil membesut sudut-sudut Hongkong dengan bangunan-bangunan pencakar langit secara simetris. Belum lagi didukung oleh musik latar mumpuni yang mengiringi setiap "scene" dengan tepat. Semua itu menjadikan film ini tidak sekadar mengumbar kesadisan tetapi sebuah potret realita yang mungkin saja terjadi di sekeliling kita terutama bagi mereka yang terhimpit masalah ekonomi.
Bagaimana problematika hidup yang keras bisa jadi mengubah kejiwaan seseorang dengan drastis. Itulah yang dijiwai Josie Ho dengan gemilang. Di satu sisi kita bersimpati padanya tetapi di sisi lain kita juga membencinya karena mampu melakukan kekejian dengan berdarah dingin. Aktor-aktris di luar Josie terkesan hanya sebagai boneka pendukung yang untungnya masih menjalankan tugas masing-masing dengan baik.
Visual efek yang dikerjakan oleh FatFace Productions saya katakan nyaris sempurna. Bagaimana pembantaian demi pembantaian memberikan nuansa yang berbeda-beda. Seperti seni yang dimainkan dengan instrumen yang berlainan dan hebatnya semua meyakinkan. Bagaimana benda-benda yang tidak pernah anda bayangkan sebelumnya bisa menancap di bagian-bagian tubuh manusia dengan mematikan. Semua disajikan secara gamblang tanpa ada kesan murahan ataupun bohong-bohongan sehingga pada satu titik rasanya kita dibuat percaya bahwa itu sungguhan. Gila!

Durasi:
95 menit

Overall:
7.5 out of 10

Movie-meter:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent

Tuesday 21 December 2010

KABAYAN JADI MILYUNER : Saat Kabayan Mengejar Cinta dan Harta Ke Ibukota

Storyline:
Ketua pesantren As-Salam, Ustad Soleh merupakan sosok yang dihormati di sebuah kampung di Jawa Barat dan ia memiliki tangan kanan bernama Kabayan, pemuda lugu yang juga disukai penduduk setempat. Pada suatu hari datanglah Boss Rocky yang ingin membeli tanah kampung tersebut untuk dijadikan resort yang lengkap. Kontan kehadirannya ditolak mentah-mentah oleh warga. Namun Boss Rocky yang licik menugaskan asistennya, Iteung yang cantik untuk mendapatkan hati Kabayan. Usaha ini berhasil karena Kabayan tertipu hingga menandatangani kontrak jual beli tanpa disengaja. Sahabat setia Kabayan, Armasan terus menyemangatinya untuk berangkat ke Jakarta bertemu dengan Abah dan Ambu dari Iteung yang menuntutnya uang satu milyar untuk menikahi Iteung. Apakah Kabayan dapat memenangkan permainan ini?

Nice-to-know:
Diproduksi oleh Starvision dan gala premierenya dilangsungkan di Planet Hollywood tanggal 21 Desember 2010.

Cast:
Jamie Aditya sebagai Kabayan
Rianti Cartwright sebagai Iteung
Amink sebagai Armasan
Christian Sugiono sebagai Boss Rocky
Didi Petet sebagai Abah
Meriam Bellina sebagai Ambu
Slamet Rahardjo sebagai Ustad Soleh

Director:
Karya kedua Guntur Soeharjanto di tahun 2010 ini setelah Ngebut Kawin.

Comment:
Pada awal pencetusan ide pembuatannya, proyek film ini sempat digadang-gadang akan mencetak sukses besar di tahun 2010. Apa pasal? Siapa yang tidak mengenal sosok Kabayan yang merupakan tokoh rakyat terkemuka dari Cirebon karena keluguan dan kesederhanaannya. Di layar gelas, serial televisi Kabayan yang melejitkan nama (alm) Kang Ibing bertahan cukup lama sebagai salah satu siaran favorit pemirsa. Sedangkan di layar lebar, Kabayan dan beberapa sekuelnya mempopulerkan nama Didi Petet yang kali ini terlibat juga setelah lebih dari 20 tahun absen. Terus terang saya cukup antusias menantikan film ini hingga penghujung tahun.
Sekitar 20 tahun kemudian rasanya kita sulit membayangkan siapa yang lebih cocok daripada artis segudang talenta, Jamie Aditya sebagai Kabayan masa kini. Dan Jamie menjawab tantangan itu dengan mantap dimana sosok lugu dan sederhana tetap dipertahankan tetapi ditambah dengan ekspresi 1001 wajah dan bahasa tubuhnya yang kocak itu. Penunjukkan Amink sebagai sidekick juga terasa tepat karena karakter Armasan memang cerdik nan sinis yang seringkali menjadi penunjuk bagi Kabayan. Rianti sendiri terasa pas sebagai love interest Kabayan walau kita akan melihat sedikit "pergeseran" penjiwaan Nyi Iteung di paruh pertama dan paruh kedua film. Tetap menarik di usia paruh baya, trio Slamet-Didi-Meriam dengan peranannya masing-masing.
Sutradara Guntur berhasil menyuguhkan sinematografi yang hidup mulai dari setting pedesaan Jawa Barat nan asri hingga perkotaan Jakarta nan bising. Namun skenario yang ditulis Cassandra Massardi masih memiliki kelemahan yang kentara yakni terlalu banyak menyajikan hal-hal komikal yang seringkali tidak relevan dengan bangunan utama cerita. Kreatifitas yang berbau komedik memang sah-sah saja asal tidak merusak esensi secara keseluruhan apalagi untuk mengangkat tokoh rakyat yang sudah sedemikian populer ini.
Harus diakui saya sangat menikmati 50 menit pertama film ini saat Kabayan masih di "sarang"nya. Konsep natural sangat tertata apik seperti menggembalakan ternak, bermain seruling, wayang orang dsb. Namun setelah berpindah ke Metropolitan, plot cerita seakan berbalik 360 derajat dimana absurditas sedikit menantang logika penonton untuk tetap antusias mengikutinya. Bagaimanapun juga Kabayan Jadi Milyuner tetaplah sebuah tontonan semua umur semua kalangan yang akan menghibur anda dengan gelak tawa ala 80an plus lantunan suara Melly Goeslaw yang berbeda dari biasanya itu. Siap untuk bernostalgia?

Durasi:
110 menit

Overall:
7.5 out of 10

Movie-meter:
6-sampah!
6.5-jelek ah
7-rada parah
7.5-standar aja
8-lumayan nih
8.5-bagus kok
9-luar biasa

Marketing a movie (Mandi)

There will never be such a brilliant set of actors. The moment they land up together on the screen they ignite the frame with the most scintillating of antics. They complement each other immaculately and spice up every story...
I'm talking of luminaries such as Shabana Azmi, Naseeruddin Shah, Saeed Jaffrey, Smita Patil, Kulbhushan Kharbanda, Annu Kapoor, Amrish Puri and Om Puri. In Shyam

Monday 20 December 2010

DEADBIRDS : Semalam Penuh Kejutan Kawanan Perampok

Tagline:
There are worse things than dying

Storyline:
Setelah Perang Sipil di Alabama, sekelompok bandit memilih beristirahat di sebuah rumah tua setelah merampok bank dengan hasil emas murni yang tak terhingga nilainya. Mereka adalah Sam, Todd, Anabelle, Clyde, Joseph yang dipimpin oleh William berusaha menghindari malam dan badai sebelum terbang ke Mexico City keesokan paginya. Namun keputusan mereka tampaknya salah karena satu persatu mulai mengalami gangguan supernatural yang sulit dijelaskan bahkan saling menyerang satu sama lain untuk bertahan hidup. Apakah yang sesungguhnya terjadi di rumah itu di masa yang lampau?

Nice-to-know:
Kota tempat syuting film ini pernah digunakan oleh Tim Burton juga dalam Big Fish (2003).

Cast:
Henry Thomas sebagai William
Patrick Fugit sebagai Sam
Nicki Aycox sebagai Annabelle
Michael Shannon sebagai Clyde
Muse Watson sebagai Father
Mark Boone Junior sebagai Joseph
Isaiah Washington sebagai Todd

Director:
Film panjang pertama bagi Alex Turner yang sebelumnya hanya bermain dalam beberapa film pendek.

Comment:
Syuting 21 hari yang tergolong singkat dengan bersettingkan satu malam saja di sebuah tempat rasanya memang cukup untuk menghasilkan film horor. Permasalahannya adalah kualitas akhirnya yang seringkali dipertanyakan.
Namun saya acungi jempol bagi debut sutradara Turner yang berhasil mengarahkan horor modern yang tetap bergaya klasik, mengingatkan pada karya-karya John Carpenter. Tentunya Turner tidak sendiri karena banyak orang-orang berbakat yang mendukungnya kali ini.
Screenplay yang dikerjakan Simon Barrett mampu menjaga intensitas ketegangan dengan interval yang pas. Berbaur manis dengan kinerja kamera Steve Yedlin yang banyak sekali bermain dengan konsep bayangan yang nyatanya cukup efektif. Sedangkan pada bagian score, Peter Lopez membangun atmosfir dengan brilian sehingga tercipta suasana mengerikan yang mendirikan bulu kuduk, mirip apa yang biasanya dilakukan oleh Polanski.
Dari jajaran cast, Thomas, Aycox, Washington, Watson dkk sebetulnya bermain lumayan, sayangnya tidak dibarengi oleh pengembangan karakter yang menarik. Hubungan antar tokoh seharusnya bisa diperkaya lagi tetapi tampaknya dianggap tidak terlalu diperlukan apalagi setting yang dominan dengan kegelapan agak menyulitkan untuk itu.
Meski bertempo lambat, Dead Birds sukses menjaga ritmenya, terlepas dari bagian pertengahan yang terkesan terlalu berlama-lama. Salah satu horor berbujet rendah yang berkualitas baik dalam beberapa tahun terakhir dimana atmosfir dan suspense berhasil dipertahankan sampai kejutan akhir. Ending yang mungkin tidak mengenakkan bagi anda tetapi cukup rasional. Ohya, beberapa jump out scenes bisa jadi membuat anda terpekik dan sulit tidur!

Durasi:
90 menit

Overall:
7.5 out of 10

Movie-meter:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent

"The Shop Around the Corner" - 1940

“The Shop Around the Corner” (1940) nostalgically shows us the finely delineated everyday moments that are more trying, require more patience and courage, give more delight and a bigger emotional rush than even the most hectic modern countdown to Christmas. Reportedly director Ernst Lubitsch’s favorite film, it is no one wonder, for there is so much of his personally constructed Gemütlichkeit. It begins with the lilting, breezy dance orchestra music we hear at the opening and closing credits.

We’re going shopping this week with a look at the commercial aspect (though incidental) of Christmas as seen through this film, and on Thursday, with “Holiday Affair” (1949).

There are so many charming aspects to “The Shop Around the Corner”, most especially that the minor character actors play major roles, including many beautiful solo moments that compliment the major stars here: Margaret Sullavan and James Stewart.

You’ll remember Felix Bressart from a slew of films, even if you don’t know his name. Here he is the elder shop clerk who assiduously avoids the blustering boss with whom he knows he can’t win, and seems to bring the warmth of his simple home where he is “Papa” to his wife and children, into the gift shop where he and his fellow employees have a kind of second home. We last saw him in this post on “Portrait of Jennie” (1949) where he played the befuddled movie projector operator.

You’ll remember Sara Haden as Aunt Milly from a long parade of Andy Hardy movies. She is the old maid secretary here instead of the old maid aunt. Charles Halton is the detective, also seen in dozens of movies in minor roles, probably you’ll recall him as the bank examiner in “It’s a Wonderful Life” (1946).

William Tracy is a standout as the clownish, clever delivery boy, likable and conniving, who eventually gets a promotion and lords it over the new delivery boy.

The new boy is played by a young Charles Smith, who could tear our hearts out with his gentle innocence and hopefulness.

Josef Schildkraut, who won the Best Supporting Oscar for “The Life of Emile Zola” (1937), continues to prove his versatility as the two-faced sales clerk always trying to stab his fellow employees in the back (we’ve all known them).

There is Frank Morgan, just off “The Wizard of Oz” (1939), who skillfully trades his customary comic confusion for a more dramatic role as the fussy boss, Mr. Matuschek, whose personal anxieties and ultimate near-tragedy affect his entire staff.

All these players make the movie seem like an ensemble piece, where the last shall be first. Still, there is a major plot line for the two stars apart from the goings on in the store.

Especially good in his role is James Stewart, the head sales clerk, a man who must be a buffer between the mercurial whims of the boss, and the helpless junior staff. Mr. Stewart has the ability to play that kind of young man who, while being street-wise and knowing the odds of life are stacked against him, manages to balance his wry pragmatism with a brave idealism that buoys him. He walks a fine line in his relationship with his boss, and with his secret love, a woman he knows only by her letters. We saw recently with “Love Letters” how much can be won, and lost, in precious correspondence and the allure of a well-turned phrase.


Margaret Sullavan plays the newest member of the staff, who cleverly and with chutzpah manages to charm a disinterested lady customer into buying unmovable merchandise, thereby getting herself a job and starting her role as a thorn in the side to James Stewart. They are combative throughout the film, but each has a secret. Eventually, we come to understand that the anonymous pen pal letters they write to prospective sweethearts are actually written to each other.

The story has been remade in several incarnations, including the post here on “In the Good Old Summertime” (1944). But this version has a charm all its own, and I think a good part of it is Lubitsch’s setting the story in Budapest during the Depression. I love the signs all written in Magyar, including our many peeks at the currency tabs on the cash register.


Miss Sullavan, with her Dresden doll features and her precise stage speech with her throaty voice seems to carry the illusion of Europe, as does, ironically, James Stewart. We may see him usually as his “Mr. Smith” icon, the all-American idealist. But there was also something, as mentioned above, of a practical, doubting, soberness to James Stewart’s portrayals, as if he is someone who was fooled once and is determined not to be taken in again. His gentlemanly reserve fits well here in this middle European gift shop.

I love Felix Bressart’s low bows when shaking hands. The Americans and the Europeans in the cast seem to blend well together, without parody.

Made in 1940, while World War II stripped away the independence and the lives of many, many Europeans, we may well guess that this is Mr. Lubitsch’s tribute, and perhaps farewell, to a more peaceful era in Europe. Hitler may have been well forming his plans in the 1930s, but there is still in this movie something decidedly nostalgic, something Habsburgian about this setting. It might be the cigarette boxes that play “Ochi Tchornya” (Dark Eyes), or the courtly shrug of the shoulders attitude that one must make the best of things in this troubled world.

The commercial aspect of Christmas here is gently expressed. Certainly Frank Morgan exhorts, and bullies, his employees into gearing up for the hoped-for Christmas rush. Christmas Eve, a light snow without sleet or the slightest breeze falls on the shoulders of the shoulder-to-shoulder crowd in the street, teased by decorated window displays. Mr. Morgan’s gift shop does the best business since 1928, the last Christmas before the Wall Street crash.

I like James Stewart’s line to Felix Bressart when they discuss the excitement of getting a bonus, the anticipation of opening the pay envelope and wondering how much. “As long as the envelope’s closed, you’re a millionaire.”

We sense the boss is made the happiest when, after inquiring after the Christmas Eve plans of his employees, who all have somewhere to go, his newest staff member, young Rudy, is all alone this night. Boss, alone himself, joyfully invites delivery boy to a first rate restaurant feast as Mr. Morgan learns the true spirit of Christmas, not from ghosts, but by his own errors, his near-tragedy, and his gratitude that life does go on in spite of how much of a mess we make of it sometimes.

If you’ve not seen “The Shop Around the Corner”, TCM is showing it tonight.

Come back Thursday for Robert Mitchum and Janet Leigh in a much larger department store setting in “Holiday Affair”.