Quotes:
Awak akan terus berjalan, sampai mimpi dapat tergapai dengan sendirinya..
Storyline:
Syafii Maarif terlahir dari keluarga Sumatera Barat yang masih menganut paham matriarkat. Sayangnya ibunya Fathiyah sudah meninggalkannya sejak kecil hingga ia tumbuh bersama ayahnya Ma’rifah yang terus membekalinya dengan ilmu pengetahuan. Kesulitan belajar mulai dirasakan Syafii hingga ia bertemu Onga Sanusi, seorang tokoh dan pengajar Muhammadiyah yang mulai membuka pikirannya. Syafii memutuskan untuk merantau suatu saat nanti hingga kelak menjadi Buya Syafii Maarif yang juga dikenal sebagai Guru Bangsa.
Nice to know:
Diproduksi oleh Maarif Production dan Damien Dematra Production dimana premierenya dilangsungkan di Epicentrum XXI pada tanggal 19 April 2011.
Cast:
Radhit Syam sebagai Syafii/Pi’i
Pong Hardjatmo sebagai Onga Sanusi
Lucky Moniaga sebagai Ma'rifah
Virda Anggraini sebagai Fathiyah
Ayu Azhari
Maya Ayu Permata Sari
Ingrid Widjanarko
Elmendy
Mohammad Firman
Ayu Gumay
Director:
Damien Dematra terakhir menggarap Obama Anak Menteng (2010).
Comment:
Jika di kuartal terakhir 2010 lalu ada Sang Pencerah maka di kuartal kedua 2011 ini ada Si Anak Kampoeng yang kebetulan sama-sama mengangkat tokoh cendekiawan Islam. Kali ini adalah Buya Syafii Maarif yang menghabiskan masa kecilnya di Desa Calau, sebuah kampung terpencil di Minangkabau. Jangan coba membandingkan sebab karya tiap orang tentunya bercitarasa berbeda.
Bagi pengarang Damien Dematra seharusnya tidak terlalu sulit menerjemahkan tulisannya sendiri ke dalam format film. Begitu banyak peran yang dilakoninya dalam film ini termasuk penggarapan musik dan lirik nya yang sangat bernuansakan Sumatera Barat tersebut. Dan saya mengagumi apa yang dilakukannya dalam ini terlepas dari berbagai kekurangan di beberapa departemen.
Saat prolog bergulir sampai dengan setengah durasi film, saya tidak menemukan esensi apapun dari penyajian scene demi scene yang mengetengahkan profil Syafii di usia 3 tahun dan kemudian melompat ke umur 7 tahun. Damien tidak mampu memanfaatkan start awal untuk mengajak penonton bersinergi dengan sebuah film biografi yang sedang mereka saksikan.
Sedangkan paruh kedua film hingga penutupan, pembahasan konflik yang terjadi mengalami perbaikan dimana relasi Syafii dengan gurunya, ayahnya, sahabatnya, saudaranya mulai meruncing. Namun lagi-lagi Damien mencampur adukkan perasaan penonton tanpa maksud yang jelas dengan adegan sukacita dan dukacita yang silih berganti dihadirkan.
Radhit Syam bermain cukup maksimal sebagai Syafii kecil terutama saat berpidato di depan publik yang dilakukannya lumayan inspiratif. Sedikit fakta yang mengganggu adalah usia Radhit yang sesungguhnya terlihat jauh di atas tokoh Syafii kecil. Aktor kawakan Pong berakting agak di bawah kinerja terbaiknya meski karakter Onga Sanusi di tangannya masih terlihat arif dan berwibawa. Sayangnya Inggrid dan Ayu hanya kebagian 2 scene saja padahal kontribusi mereka seharusnya bisa lebih tinggi lagi.
Kebetulan sekali saya menyaksikan film ini bersama sahabat yang juga berasal dari Sumatera Barat sehingga banyak menemukan kesalahan referensi yang cukup fatal. Paling mendasar adalah penggunaan bahasa yang tidak seharusnya dan pemakaian beberapa properti syuting yang tidak semestinya ada dalam setting daerah sekitar. Rentang waktu yang dihadirkan di era 1930-1940an juga masih terasa kurang meyakinkan karena tidak dilengkapi dengan faktor-faktor pendukung.
Si Anak Kampoeng bukanlah karya di atas rata-rata seperti yang banyak diharapkan banyak orang. Emosi turun naik dan pengeksekusian yang cenderung flat tanpa gejolak menjadi kelemahan utamanya sehingga gagal menuntun audiens untuk berempati pada jalinan kisahnya. Meski demikian saya menghargai usaha Damien yang tampaknya sudah berupaya maksimal untuk menyajikan kisah Syafii kecil ini dengan sefaktual mungkin. Mudah-mudahan saja jika dilanjutkan sekuelnya akan ada perencanaan yang lebih matang lagi.
Durasi:
110 menit
Overall:
6.5 out of 10
Movie-meter: