Quotes:
Dengar Mira, Facebook dan Twitter itu harammm!
Mira: Haraman muka loe!
Storyline:
Sejak kecil ditinggal kedua orangtuanya yang tewas karena hanyut, Rahmat diadopsi oleh Mbak Bunga alias Mas Bambang pemilik salon “Mawar” yang hanya mampu menyekolahkannya sampai lulus SMA. Meski demikian, Rahmat tetaplah pribadi yang cerdas, alim dan berbakti bersama banci namun Rahmat tumbuh menjadi lelaki tulen yang pintar, baik, soleh dan berbakti. Sebagai petugas satpol PP, Rahmat cepat mendapat simpati dari atasannya yang kemudian dibenci oleh Bento yang iri hati padanya. Dalam urusan asmara pun, Rahmat menaruh hati pada tetangganya Ratih, janda muda yang berprofesi sebagai tukang jahit. Namun perjalanan cinta mereka tidak mulus karena diganggu Mpok Sari, pemilik warteg Sari Nikmat yang juga mengaku janda dan menghalalkan segala cara untuk kepentingan pribadinya itu.
Nice-to-know:
Diproduksi oleh Sentra Mega Kreasi dimana screeningnya diselenggarakan di Planet Hollywood XXI pada tanggal 20 September 2011.
Cast:
Ihsan Tarore sebagai Rahmat
Ayu Pratiwi sebagai Ratih
Shinta Bachir sebagai Mpok Sari
Julia Robex sebagai Bunga
Vijey Sadiansyah sebagai Bento
Director:
Merupakan film kedua di tahun 2011 bagi Helfi Kardit setelah Arwah Goyang Karawang yang cukup laris itu.
Comment:
Melihat judulnya yang terkesan ekstrim dan murahan itu rasanya segmentasi film ini memang ditujukan bagi penonton kelas bawah. Asumsi ini bukannya tanpa alasan karena terbukti di bioskop papan atas ibukota, sebut saja Plaza Senayan XXI hanya memutar film ini satu hari saja! Sedangkan di bioskop-bioskop lain pun, nasibnya terseok-seok mengumpulkan jumlah penonton yang bisa dihitung dengan jari. Cukup mengenaskan!
Skenario yang ditulis oleh duet Hilman Mutasi dan Team Bintang Timur ini tergolong dangkal dan terlalu apa adanya. Tidak ada proses yang cukup kuat untuk bisa membuat penonton terkoneksi dengan nasib para tokohnya. Rahmat yang digambarkan sopan dan baik hati tidak diceritakan langkah pendewasaannya sebagai anak adopsi seorang banci salon kesepian. Ratih yang ditinggal menjanda juga tidak dikisahkan menanggung kepedihan karena kegagalan rumah tangganya. Sari malah agak dipaksakan sebagai antagonis walaupun sifat obsesifnya masih terbilang tanggung, lewat satu dua kejadian busuk yang dilakukannya, ia langsung menjelma menjadi wanita jahat.
Dengan karakterisasi yang demikian miskin, tentunya sulit mengharapkan Ihsan, Ayu, Shinta, Julia ataupun Vijey mampu mengerahkan usaha luar biasa untuk mengangkat film ini. Ibarat modal pas-pasan, akhirnya toh cekak juga. Maaf tidak bermaksud mendiskreditkan nama-nama tersebut di atas tetapi saya benar-benar tidak habis pikir dengan kontribusi mereka yang cuma keluar masuk scenes begitu saja. Kondisi lebih parah menimpa para aktor-aktris pendukungnya yangyang entah bagaimana nasibnya di akhir film. Bad directing!
Sutradara Helfi tampaknya tidak berusaha membuat sesuatu yang “alhamdulillah banget” bisa dikenang oleh penonton. Setting lokasi yang identik dengan masyarakat menengah ke bawah seperti warteg, rumah sederhana, gang sempit dll boleh-boleh saja menjadi panggung tersendiri tapi bukan berarti gambar-gambar yang disuguhkan bisa seadanya seperti itu. Sangat tidak menarik! Tidak perlu saya sebutkan referensi judul-judul lain yang lebih berhasil dalam hal ini, bukan?
Mati Muda Di Pelukan Janda memang masuk kategori film non sampah tapi kualitasnya lebih jauh dari buruk. Salahkan screenplay yang demikian dangkal dan terlalu bermain aman dalam upayanya untuk menghibur. Tidak heran jika penonton akan segera melupakan konten film ini sepersekian detik selepas beranjak dari bangku bioskop. Termasuk saya yang segera mengosongkan isi kepala dari lantunan suara band D’Cokiel yang sama mengganggunya di sepanjang film itu. Janda mudaaa, bisa bikin gue gila…
Durasi:
80 menit
Overall:
6 out of 10
Movie-meter:
Notes:
6-sampah!
6.5-jelek ah
7-rada parah
7.5-standar aja
8-lumayan nih
8.5-bagus kok
9-luar biasa