Quotes:
Nat: Bolehkah aku bermain denganmu?
Storyline:
Kasus pembunuhan berantai terjadi di Bangkok dimana korban-korbannya selalu dimasukkan dalam koper merah setelah terjadi mutilasi di beberapa bagian tubuh. Kepolisian kemudian mengutus Kapten Chin untuk menangani kasus ini terlebih target berikutnya adalah putra seorang politisi. Adalah seorang pembunuh bayaran bernama Tai yang merasa pelaku tersebut berkaitan dengan masa lalunya. Ia pun dibebaskan bersyarat dan diberikan waktu untuk menangkap si pelaku. Penelusuran pun dimulai dari kampung halamannya hingga mengarah pada kenyataan yang mungkin tidak pernah diduganya.
Nice-to-know:
Diproduksi oleh Five Star Production Company dan dirilis di Thailand pada tanggal 22 Oktober 2009.
Cast:
Sebelumnya bermain dalam Rahtree Reborn (2009), Arak Amornsupasiri berperan sebagai Tai
Chatchai Plengpanich sebagai Chin
Sonthaya Chitmanee
Jessica Pasaphan sebagai Noi
Director:
Kongkiat Khomsiri sebelumnya sempat menangani Art of the Devil 2 & 3 yang cukup sukses itu.
Comment:
Horor/thriller Thailand merupakan salah satu film dengan twist paling cerdas untuk ukuran perfilman Asia. Tak heran jika berbagai judul yang dianggap luar biasa konon akan diremake oleh Hollywood termasuk yang satu ini. Lantas jika berbagai macam twist sudah dihadirkan sebelumnya, akankah ada kejutan baru yang patut ditunggu? Itulah yang menarik untuk dijawab karena anda tidak akan pernah tahu sebelum menyaksikannya sendiri.
Sepintas film yang berjudul asli Cheun ini tidak istimewa. Nanti dulu karena premis yang semula umum mengenai pembunuh berantai yang misterius dan sulit diterka identitasnya ternyata menjadi unik karena calon pemecah kasus justru dapat dikatakan berasal dari pihak antagonis. Permainan cat and mouse disini pun diwarnai dengan flashback yang terjalin rapi. Cerita yang ditulis oleh Wisit Sasanatieng ini menawarkan banyak topsy turvy yang mengasyikkan.
Amornsupasiri membuktikan diri sebagai aktor serba bisa mulai dari genre action hingga komedi romantis berhasil dilakoninya. Penampilan gahar sang narapidana berdarah dingin bernama Tai sedikit banyak terbantu oleh sapuan tattoo tak lazim di sekujur tubuhnya. Namun sisi personalnya kemudian dipertunjukkan pada penonton lewat serangkaian peristiwa lalunya sejak kecil hingga menjadi sosok seperti sekarang ini.
Terus terang tone warna yang digunakan sutradara Khomsiri memang tidak nyaman untuk disaksikan. Nuansa depresi terekam jelas di paruh pertama film, mengingatkan kita pada Se7en (1995) yang legendaris itu. Perubahan terjadi di paruh kedua film dengan kemunculan warna-warni pastel yang sedikit menenangkan walau kesan suffering masih belum terhapus. Kesemuanya itu dibalut dalam elemen gory yang tak terhindarkan sehingga kucuran darah segar ataupun potongan tubuh berserakan bukan lagi hal yang baru di layar.
Entah mengapa menurut opini saya flashback dalam film ini seperti membentuk jalinan kisah sendiri yang benar-benar baru. Kisah persahabatan dua anak yang memilih “jalan” yang berbeda di kemudian hari. Semuanya terpampang jelas lewat proses kejadian-kejadian teramat wajar dan bisa jadi pernah dialami oleh kita semua. Siapa yang tidak pernah berkelompok sewaktu kecil dan memiliki sahabat terdekat? Interaksi yang natural antara Polyong dan Poolsawad pun mampu membuat penonton berempati pada kedua bocah tersebut yang terikat oleh permainan nasib yang tidak adil.
Jika anda berniat menyaksikan Slice sebaiknya hindari membaca review apapun yang tertulis di internet ataupun media lainnya. Semakin sedikit anda mengetahui, maka akan semakin tergelitik untuk mengikuti kisahnya dari awal sampai akhir. Oleh karena itu saya memutuskan tidak “membuka” terlalu banyak dalam tulisan kali ini. Pesannya cuma satu, nikmatilah proses yang disajikan secara utuh dan jangan heran jika di akhir cerita seakan tidak ada lagi karakter jahat dalam benak anda. Everything comes in a shade of gray, isn’t it?
Durasi:
90 menit
Overall:
8 out of 10
Movie-meter: