Tagline:
Love conquers everything, especially fear..
Storyline:
Gadis remaja 14 tahun bernama Nam ini sangat biasa dari segi penampilan alias tidak menarik. Namun ia tetap percaya diri dalam menyukai siswa popular di sekolah yang juga seniornya, Chon. Segala cara dilakukan Nam untuk menarik minat Chon tapi selalu tidak berhasil. Saat pementasan drama Snow White, di luar dugaan Nam dipilih oleh Profesor In sebagai peran utama. Disitulah ia menjelma menjadi seorang siswi cantik menarik yang segera digilai cowok-cowok termasuk Top, sahabat karib Chon. Namun perasaan Nam tetap pada Chon hingga membuatnya terpacu untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Apakah semua itu cukup untuk membuat Chon menoleh padanya?
Nice-to-know:
Berjudul asli Sing Lek Lek Tee Riak Wa Ruk.
Cast:
Angkat nama lewat peran dalam The Love of Siam (2007), Mario Maurer yang kini berusia 21 tahun bermain sebagai Chon.
Pimchanok Leuwisetpaibul sebagai Nam
Peerawat Herabat
Sudarat Budtporm
Acharanat Ariyaritwikol
Director:
Putthiphong Promsakha dan Wasin Pokpong.
Comment:
Jika anda mulai menantikan film-film komedi romantis dari negeri Gajah Putih maka tidak ada yang salah dengan hal itu. Sebab berbagai judul yang dirilis 2-3 tahun belakangan ini memang cukup memuaskan. Stereotipe aktor tampan, aktris cantik, romansa yang menggemaskan dengan proses memang bumbu utama yang wajib ada dalam film bergenre serupa.
Bedanya sutradara Putthiphong dan Wasin menyajikan semua dari kacamata remaja belia dengan sangat realistis. Anda akan mengingat kembali masa-masa cinta monyet dahulu dimana anda menyimpan cinta tapi tidak berani mengungkapkannya hingga melihat sang pujaan hati saja berbunga-bunga setengah mati. Sinematografi cantik dominan warna cerah teduh ditampilkan dari setting sekolah hingga berbagai lanskap Thailand yang indah. Proses editing juga tergolong lancar sehingga lompatan tiap scenenya terasa mulus walaupun durasinya panjang.
Mario merupakan pilihan tepat untuk sosok Chon, ia terlihat cool, cute dan fresh, cocok sebagai idola para siswi di sekolah. Sedangkan Pimchanok membawakan tokoh Nam dengan kelembutan gadis belia yang feminine, kita akan dapat merasakan perasaannya yang campur aduk setiap menatap pujaannya dari kejauhan. Bukan hanya mereka berdua yang menjadi sorotan disini karena karakter guru dan teman-teman mereka memberikan corak warna tersendiri bagi unsur penokohan di film ini.
Elemen komedi yang cukup kental di paruh pertama film sepintas mengingatkan pada dorama Jepang tahun 90an dimana komedi situasional yang ditunjukkan terasa sangat dekat dengan keseharian kita. Hal ini sekaligus menjadi pemanasan bagi paruh kedua yang lebih memberi penekanan drama terutama dalam mencapai cita dan cinta. Acuhkan saja transformasi itik buruk rupa menjadi angsa cantik Nam yang sedemikian drastis, bukan hanya dari penampilan tetapi juga sikapnya secara keseluruhan. Bukankah wajar jika semua orang berkeinginan lebih baik dari sebelumnya demi hal-hal yang positif?
Jika anda tidak menyaksikan A Ctazy Little Thing Called Love dijamin akan kehilangan sebagian kecil waktu hidup anda yang dihabiskan untuk tertawa dan menangis dalam rasa hangat sambil bernostalgia kembali terhadap masa “puber” anda yang telah berlalu. Bisa jadi anda tergerak untuk mengalami kembali sekaligus memperbaiki semua yang tidak pernah selesai pada masa itu. Sebuah komedi romantik yang tidak hanya mengajarkan seluk-beluk cinta tetapi juga arti persahabatan dan motivasi dalam menjalani hidup itu sendiri.
Durasi:
115 menit
Overall:
8 out of 10
Movie-meter: