Quotes:
Rara mau punya rumah yang ada jendelanya, Mak!
Storyline:
Rara mendambakan jendela di rumahnya yang kumuh lewat gambar-gambarnya. Sayangnya ayahnya Raga hanya berjualan ikan hias keliling disamping harus membiayai si Mbok yang tinggal bersama mereka. Lewat satu kejadian, Rara berkenalan dengan Aldo yang memiliki keterbelakangan. Karena hal tersebut, Aldo sedikit merasa terasing di tengah keluarganya sendiri yang terlihat serba sempurna. Beruntung ia masih memiliki Nenek Aisyah yang menyayanginya. Suatu musibah menghanguskan rumah Rara dan menewaskan Raga. Dalam kalut, Rara ditampung sementara di rumah Aldo. Aldo sendiri semakin merasa terjepit saat kakaknya dan ibunya kerapkali memojokkan dirinya tanpa sengaja. Akankah persahabatan tulus di antara mereka dapat menjadi jalan keluar bagi masing-masing?
Nice-to-know:
Diproduksi oleh PT. Smaradhana Pro and Sanggar Ananda yang bekerjasama pula untuk kegiatan donasi yang ditujukan bagi yayasan yatim piatu.
Cast:
Emir Mahira sebagai Aldo
Dwi Tasya sebagai Rara
Aty Kanser sebagai Nenek Aisyah
Alicia Djohar sebagai Nyonya Ratna
Aswin Fabanyo sebagai Pak Syahri
Maudy Ayunda sebagai Andini
Varissa Camelia sebagai Ibu Alya
Ingrid Widjanarko sebagai Mbok
Director:
Merupakan kerjasama kedua Aditya Gumay dengan penerbit Asma Nadia setelah Emak Ingin Naik Haji (2009) yang lalu.
Comment:
Kegemilangan Emak Ingin Naik Haji menyajikan sebuah kisah yang membumi dan menyentuh membuat saya (dan tentunya para penikmat film lokal lainnya) sedikit menaruh harapan yang sama akan film ini. Namun kenyataannya tidak cukup mendekati. Jika kelas Emak sejajar dengan Ayat-Ayat Cinta, maka film ini diibaratkan Ketika Cinta Bertasbih yang sekelas di bawahnya meski sama-sama masih dapat dinikmati sebagai sebuah tontonan yang bermakna.
Satu hal yang kurang maksimal adalah fokus cerita. Entah mengapa saya lebih merasa ini adalah sinetron miniseri 10 episode yang dipadatkan menjadi sebuah film layar lebar. Itulah sebabnya konflik “kemiskinan” Rara di prolog film yang seharusnya menjadi benang merah cerita sesuai judul film ternyata menguap begitu saja setelah setengah jam berlalu. Setelah itu kisah bergulir seakan benar-benar baru dengan konflik “keterbelakangan” Aldo yang nyaris menyita dua pertiga durasinya. Memang disini masih ada Rara tetapi relevansi cerita patut dipertanyakan.
Konsep drama musikal anak-anak yang sempat diusung oleh sutradara Aditya juga masih terkesan tanggung, anak-anak itu hanya perform dalam 2-3 lagu saja dalam beberapa scene yang terkesan sedikit dipaksakan. Sutradara Aditya terkadang seperti kesulitan membagi rata porsi per karakternya. Apalagi cukup banyak dialog tempelan dari karakter-karakter numpang lewat yang dirasa tidak perlu.
Dari segi akting, Emir terlihat meyakinkan sebagai anak “aneh”, menarik melihatnya berimprovisasi disini. Sedangkan Tasya sudah cukup maksimal meski kegetirannya tidak sampai jatuh dalam kecengengan semu. Peran yang dimainkan Aty dan Ingrid sepertinya terbalik, jika anda tahu apa yang saya maksud. Raffi telah berusaha “tampil” sebagai kepala keluarga disini tapi perannya memang terbatas. Apalagi debut Yuni yang cuma 2-3 scene disini rasanya tidak akan berarti apa-apa.
Terlepas dari berbagai kekurangannya, Rumah Tanpa Jendela masih tetap harus diapresiasi karena sudah berusaha maksimal menampilkan isu kemiskinan dan keterbelakangan dari sudut pandang anak-anak. Beberapa momen diyakini cukup menyentuh untuk membangkitkan rasa haru-biru anda terlebih karenapermainan sinematografi dan musik latar yang cukup dominan di sepanjang durasi. Sebuah tontonan down-to-earth persembahan Asma Nadia Grup yang dijejali oleh nilai-nilai keluarga dan persahabatan sekaligus.
Durasi:
95 menit
Overall:
7.5 out of 10
Movie-meter: