Quotes:
Marshall: Have you ever killed a man, squire? It is not a noble thing. Not even when it is for God!
Storyline:
Tahun 1215, kaum Pemberontak Inggris Raya memaksa Raja John yang otoriter untuk menandatangani Magna Carta, sebuah dokumen perjanjian yang mengatur hak-hak manusia bebas. Sayangnya Raja John malah memilih sikap antipasti dan menugaskan pasukan bersenjata di belahan Selatan Inggris untuk menumpas siapapun yang menghalanginya dalam menerapkan Pemerintahan Tirani. Di antara tujuan kotornya itu berdiri sebuah benteng Rochester, tempat yang akan menjadi simbol momentum perjuangan mencari keadilan dan kebebasan itu sendiri.
Nice-to-know:
Paul Giamatti menyelesaikan syuting bagiannya hanya dalam waktu 7 hari.
Cast:
Terakhir kita saksikan aktingnya dalam Solomon Kane (2009), James Purefoy sebagai Marshall
Paul Giamatti sebagai King John
Kate Mara sebagai Lady Isabel
Jason Flemyng sebagai Beckett
Jamie Foreman sebagai Coteral
Brian Cox sebagai Albany
Mackenzie Crook sebagai Marks
Director:
Merupakan film ketiga bagi Jonathan English sejauh ini setelah terakhir Minotaur (2006) yang juga sempat tayang di bioskop-bioskop Indonesia itu.
Comment:
Prolog film ini sudah mengesankan epic semi dokumenter yang buruk. Skrip pertama dikerjakan oleh Stephen McDool. Kemudian dirombak kembali oleh Jonathan English dan dibantu oleh Erick Kastel. Entah siapa yang salah diantara mereka bertiga, sulit untuk ditelusuri. Plot cerita yang sangat sangat sederhana dirasa cukup untuk membawakan kisah yang mengambil setting waktu paska jaman Robin Hood tersebut.
Sekelumit background tersebut lantas dilanjutkan oleh permainan pedang, pisau, gada, panah, rantai, minyak panas, peluru martil dsb yang menghujam ataupun memisah-misahkan anggota tubuh manusia di antara para tokohnya! Dan ini terjadi secara repetisi hingga durasinya berakhir dengan hanya dilengkapi oleh dialog-dialog yang tidak bernas sama sekali yang turut berisikan satu dua kata erangan atau makian. What the hell?
Dengan skenario yang demikian dangkal rasanya sulit untuk mengharapkan adanya pengembangan karakter disini. Lupakan nama besar Purefoy, Giamatti, Flemyng, Cox atau lainnya yang notabene aktor barisan depan Inggris Raya. Semua yang mereka lakukan disini hanya sebatas membaca skrip dan berlomba-lomba menyelesaikan scene masing-masing. Entah mengapa nama-nama yang mereka gunakan serasa dicomot sembarangan dari berbagai novel atau artikel lepas.
Sutradara English mungkin terobsesi saat membaca sejarah Inggris mengenai Benteng Rochester yang ternama itu secara garis besarnya saja hingga lantas muncul ide untuk membuat sebuah film berdarah yang realistis. Untuk urusan yang satu ini, ia terbilang berhasil karena adegan-adegan sadis baik secara detail ataupun sekelebat saja diyakini membuat anda miris dan ngilu sekaligus. Penggunaan kamera yang shaky seakan mengisyaratkan keotentikannya. Benarkah begitu?
Dengan segala sisi yang berusaha disuguhkan Ironclad tidak heran jika film ini pada akhirnya rilis langsung dalam format DVD. Totally boring bagi saya yang menyaksikannya pada pertunjukkan paling malam. Untungnya formula slasher (meski teramat tidak tepat) bekerja dengan baik untuk membuat saya terjaga. Selepas pembantaian berdarah demi pembantaian berdarah yang tidak berkesudahan, film pun sukses ditutup dengan teramat klise dan dipermudah. Prolog dan epilog yang sama nihilnya. Sebuah semangat film indie yang terlalu ambisius tapi tidak didukung oleh modal yang cukup, bahkan sebagai replika sejarah yang tidak kuat sekalipun.
Durasi:
110 menit
Overall:
6.5 out of 10
Movie-meter: