Quotes:
Apa bapak percaya keberadaan pasar kaget yang katanya kalo siang itu kuburan tapi kalau malam berubah menjadi pasar?
Apa bapak percaya keberadaan pasar kaget yang katanya kalo siang itu kuburan tapi kalau malam berubah menjadi pasar?
Nice-to-know:
Film yang diproduksi oleh Cakrawala Fastindo Film dan Tirto Media Utama ini gala premierenya diadakan di Hollywood XXI pada tanggal 24 September 2012.
Film yang diproduksi oleh Cakrawala Fastindo Film dan Tirto Media Utama ini gala premierenya diadakan di Hollywood XXI pada tanggal 24 September 2012.
Cast:
Erly Ashyla sebagai Bethari
Permata Sari Harahap sebagai Putri Cemeti
Liek Suyatno sebagai Mbah Rekso
Masroom Bara sebagai Kyai Sambu
Baron Hermanto
Ava Solo
Roy Marten
Yati Surachman
Polo
Chandra Sundawa
Erly Ashyla sebagai Bethari
Permata Sari Harahap sebagai Putri Cemeti
Liek Suyatno sebagai Mbah Rekso
Masroom Bara sebagai Kyai Sambu
Baron Hermanto
Ava Solo
Roy Marten
Yati Surachman
Polo
Chandra Sundawa
Director:Wimbadi JP dan Kiki Nuriswan.
W For Words:Setelah judul muncul sebagai pembuka film, nampaknya ada dua nama familiar yang menyita perhatian saya yaitu Monty Tiwa dan Khikmawan Santosa di jajaran editor supervisor dan sound designer supervisor. Namun tak usah bercapek-capek menanyakan sejauh mana keterlibatan mereka dalam film produksi patungan Cakrawala Fastindo Film dan Tirto Media Utama ini. Cukup percaya saja pada produser debutan, Herbayu Aditra dalam upayanya mengangkat urban legend yang berhembus di Yogyakarta ini. Pernah dengar?
Tepat pada malam pernikahan Putri Cemeti, suaminya dibunuh perampok. Ayahnya yang memergoki juga tak luput menjadi korban. Ibunya Bethari bersama Putri Cemeti akhirnya memutuskan bunuh diri dengan melompat ke jurang. Mereka berubah menjadi siluman penunggang delman dimana setiap malam berkeliling membantai para lelaki yang tengah bermesraan dengan pasangan mereka. Adalah Mbak Rekso dan Kyai Sambu yang tidak ingin tinggal diam dan ingin menghentikan teror yang biasanya mengiringi kemunculan pasar mbengi di area pekuburan tersebut.
Semua plot dalam film terasa nonsens. Pertama, ketidakjelasan motif Bethari dan Putri Cemeti membunuh orang-orang desa secara random. Penjelasan yang akhirnya didapat di akhir cerita malah membuat penonton mengernyitkan dahi seraya berujar, “WTF?!”. Kedua, keberadaan pasar kaget, pasar setan, pasar mbengi atau apalah sebutannya dalam film menjadi saru. Apa sih yang sebetulnya ingin disampaikan selain duit berubah menjadi daun? Ketiga, siapa sebenarnya sosok protagonis yang ingin dikedepankan dalam film? Mbah Rekso, Kyai Sambu? Jawabannya tidak ada.
Kemalangan yang dialami dua karakter utama ibu dan anak tersebut juga belum cukup membangun simpati penonton yang digiring untuk memahami perbuatan jahat mereka. Erly Ashyla jelas bukan almarhumah Suzanna yang mampu menciptakan ikon kuat di layar lebar terlepas dari kemiripan make-up dan kostum Bethari. Permata Sari Harahap lebih menyedihkan lagi karena sepanjang film hanya mengamati atau berteriak-teriak memanggil sang ibu yang tengah menjalankan aksi. Sederet kalimat dari Putri Cemeti dalam menutup film spontan membuat saya terjungkal dari kursi sebelum dibantu berdiri oleh petugas bioskop yang dari wajahnya tampak merasa bersalah sudah memutar film yang.. Apa tadi judulnya?
Duet sutradara Wimbadi JP dan Kiki Nuriswan mungkin tidak bermaksud membuat sebuah film buruk, hanya saja kinerja mereka tidak inspiratif samasekali. Nuansa tradisional memang berhasil dipresentasikan lewat tata artistik yang cukup meyakinkan tapi tidak ada artinya jika panggung megah itu disia-siakan dengan adegan para pelakon yang sibuk menutup pintu, berlarian kesana kemari setelah mendengar suara delman di sepanjang durasinya. Teror ketakutan juga gagal dihadirkan lewat “ciuman maut” frekuentif dari Bethari atau sajian “ilmu kanuragan” ala kadarnya yang membuat saya terus berpikir keras memutar otak, “Dia sebenernya ngapain sih?”
Entah apa visi dan misi filmmakers dalam memproduksi film dengan kualitas semacam ini di tahun 2012! Misteri Pasar Kaget tak lebih bagus dan malah mungkin lebih jelek dari sinetron Indosiar yang setidaknya punya puluhan jam untuk mengeksplorasi ide absurd sekaligus menjelaskannya pada penonton. Itupun dengan catatan gratis, cukup toleran dengan suguhan iklan komersial di setiap jedanya. Namun bagi penonton yang datang ke bioskop dan membayar seharga tiket, kekecewaan mereka dapat dianalogikan seperti mendapati uang di tangan berubah menjadi daun. Setali tiga uang!
Durasi:
79 menit
Durasi:
79 menit
Overall:
-
Movie-meter:
No rating