Tagline:
An act unforgiven. A father lost in grief.
Storyline:
Setelah cerai dari istrinya, kebatinan Christian harus ditempa lagi saat mengetahui kematian putrinya tanpa sebab. Sebuah video tiba tanpa nama yang memperlihatkan putrinya, Jesse sedang mabuk ganja dan dicabuli oleh tiga laki-laki. Segera saja Christian merencanakan perjalanan untuk mencari tahu kejadian sesungguhnya yang mempertemukannya dengan Finn sang produser film yang akan menjadi titik awalnya. Kemudian Christian bertemu Alice yang tengah kabur dari rumahnya. Keduanya pun saling berinteraksi dengan caranya sendiri dimana Christian tetap merencanakan balas dendam terbesar yang harus ditempuhnya.
Nice-to-know:
Untuk mendapat dana produksinya, sebuah film pendek dirancang untuk adegan pembukanya. Film pendek tersebut akhirnya memenangkan Best Independent Drama (10-30 menit) di Queensland New Filmmaker Awards (2006).
Cast:
Peter Marshall sebagai Christian
Caroline Marohasy sebagai Alice
Brad McMurray sebagai Derek
Jack Henry sebagai Finn
Evert McQueen sebagai Jim
Director:
Steven Kastrissios.
Comment:
Di tahun 1970an pernah muncul Last House On The Left yang kemudian diremake berpuluh-puluh tahun setelahnya. Film ini bertemakan sama yaitu balas dendam orangtua atas perlakuan tidak menyenangkan yang menimpa putrinya. Bedanya kali ini sang ayah bertindak sendiri dan putrinya sudah keburu tewas. Mengapa saya bandingkan kedua film tersebut? Ada 3 hal yang mendasarinya. Pertama, latar belakang tahun 70-80an masih terasa kental. Kedua, pelaku balas dendam bukanlah orang yang menguasai keahlian khusus bela diri. Ketiga, adegan demi adegan yang diperlihatkan sangat miris sehingga anda akan menutup mata karena ngeri.
Film berjudul asli The Horseman yang merupakan asli buatan Australia tahun 2008 yang lalu ini dibintangi aktor-aktris sana yang belum mempunyai nama di kancah internasional. Walau begitu kinerja mereka semua cukup meyakinkan terutama applaus khusus bagi Peter Marshall yang terlihat sebagai pria paruh baya biasa tetapi menyimpan kesigapan luar biasa yang dipacu oleh hati yang terluka. Sutradara Kastrissios juga nyaris tidak mengisi aspek musik disini karena menggarap film dengan gaya dokumenter dan nyaris hitam putih dengan tone warna yang monoton di sepanjang film.
Semua hal yang saya sebutkan di atas itulah yang menyebabkan Back To Hell (judul peredaran Blitz Megaplex) ini layak ditonton dikarenakan terasa sangat real seakan-akan penonton diajak mensyut langsung kiprah seorang Christian. Sayangnya gunting sensor yang kelewat tajam sedikit menghilangkan kenikmatan menontonnya saat beberapa adegan sadis terpaksa dipotong begitu saja.
Durasi:
90 menit
Overall:
7.5 out of 10
Movie-meter:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent