Quotes:
Ronaldo: Aku tinggalkan dua anak perempuanku karena yakin suatu saat Timor akan kembali ke Indonesia.
Nice-to-know:
Film yang diproduksi oleh Miles Films ini gala premierenya diadakan di PPHUI pada tanggal 5 November 2012 yang lalu.
Film yang diproduksi oleh Miles Films ini gala premierenya diadakan di PPHUI pada tanggal 5 November 2012 yang lalu.
Cast:
Gudino Soares sebagai Joao
Petrus Beyleto sebagai Ronaldo
Putri Moruk sebagai Nikia
Gudino Soares sebagai Joao
Petrus Beyleto sebagai Ronaldo
Putri Moruk sebagai Nikia
Director:
Merupakan film kesebelas bagi Riri Riza setelah Sang Pemimpi (2009).
Merupakan film kesebelas bagi Riri Riza setelah Sang Pemimpi (2009).
W For Words:
Project Atambua ini adalah salah satu kisah sukses film yang berhasil mengumpulkan dana lewat sumbangsih kalangan umum. Terima kasih pada inisiatif Wujudkan.com yang secara suportif terus memberi perhatian pada sineas-sineas lokal dalam mengembangkan talenta mereka. Drama berbujet rendah dengan cast dan crew terbatas ini sekaligus menandakan kerjasama ke-11 bagi produser Mira Lesmana dan penulis-sutradara Riri Riza yang sudah absen selama 3 tahun semenjak Sang Pemimpi (2009).
Project Atambua ini adalah salah satu kisah sukses film yang berhasil mengumpulkan dana lewat sumbangsih kalangan umum. Terima kasih pada inisiatif Wujudkan.com yang secara suportif terus memberi perhatian pada sineas-sineas lokal dalam mengembangkan talenta mereka. Drama berbujet rendah dengan cast dan crew terbatas ini sekaligus menandakan kerjasama ke-11 bagi produser Mira Lesmana dan penulis-sutradara Riri Riza yang sudah absen selama 3 tahun semenjak Sang Pemimpi (2009).
Joao mengikuti ayahnya tinggal di Atambua setelah terjadi referendum kemerdekaan Timor Timur di tahun 1999 hingga harus meninggalkan ibu tercinta di usia 7 tahun yang kemudian hanya bisa didengar lewat rekaman suara tape miliknya. Sang ayah, Ronaldo adalah seorang pemabuk yang bekerja sebagai supir bus antar kota dimana karena kebiasaannya itu membuatnya terancam dipecat. Adalah seorang gadis yang menarik perhatian Joao hingga selalu membuntuti dengan motor ojeknya bernama Nikia yang tengah bertekad menunaikan ritual duka sepeninggal kakeknya. Bagaimana konflik ketiga tokoh tersebut dapat terselesaikan?
Ide cerita ini muncul di kepala Mira dan Riri pada pertengahan tahun 2011 ketika mengerjakan film dokumenter PBB yang mengambil lokasi Nusa Tenggara Timur. Riri lantas segera menulis skripnya dengan mengambil isu-isu multilateral sebagai konflik utamanya. Perbatasan Atambua dengan Timor Leste seakan menjadi jembatan “kasat mata” bahwa pemisahan keluarga, perlindungan hukum, perbedaan tingkat sosial ekonomi sampai perubahan budaya adat-istiadat menjad hal yang dapat dihindari. Demi menjaga keotentikan lokal maka semua tokoh berbicara dengan bahasa asli Totem Porto.
Riri yang juga bertindak sebagai sutradara menggunakan narasi sederhana dimana dua plot utama berjalan beriringan dalam satu garis lurus. Sinematografi milik Gunnar Nimpuno berhasil menangkap kesan naturalistik lewat keindahan Atambua yang sebenarnya terlihat keras itu. Penyuntingan gambar oleh Waluyo Ichwandiardono juga terampil menata sekuens adegan demi kefasihan alur yang diinginkan. Kontribusi penata musik Basri S. Sila juga tidak sedikit apalagi komposisi musik daerah NTT juga tertangkap dengan baik.
Aktor-aktris setempat yang mengisi jajaran cast juga bermain dengan memikat. Gudino Soares dan Putri Moruk yang masing-masing berusia 20 tahun dan 23 tahun mampu menerjemahkan perasaan saling membutuhkan yang berbeda makna lewat sorot mata, cara bertutur dan bahasa tubuh yang alami. Petrus Beyleto juga tak kalah gemilang sebagai pria yang harus hidup menanggung dosa hingga harus lari dari keluarganya sendiri dan berujung pada minuman keras. Status mereka sebagai penduduk asli memang banyak membantu penjiwaan karakter yang dekat dengan kehidupan nyata itu sendiri.
Atambua 39 Derajat Celsius berusaha menjaga “suhu panas” yang bergolak di sepanjang film justru dengan cara yang dingin. Mozaik perjudian umum, tontonan video porno, transaksi jual beli sampai ketentuan perbatasan yang memberlakukan paspor untuk menyeberang menjadi gambaran humanis yang sulit terelakkan. Penonton diajak menjadi saksi materi sarat muatan tanpa harus terbebani guratan emosi yang mendalam. Bisa jadi tidak diperuntukkan bagi para pecinta film mainstream tapi jelas penting untuk berkaca pada korban pergolakan politik Pemerintah yang tak kunjung selesai.
Durasi:
87 menit
87 menit
Overall:
7.5 out of 10
7.5 out of 10
Movie-meter: