Quotes:
Rasus: Kalau nggak mau ‘buka kelambu’ ya nggak usah jadi ronggeng!
Storyline:
Kedua orangtua Srintil meninggal karena keracunan tempe bongkrek atas tuduhan warga semasa kecilnya. Beranjak dewasa ia seakan memiliki kewajiban untuk memulihkan nama baik keluarga, salah satu cara adalah menjadi penari ronggeng sesuai bakat magis yang dimilikinya. Adalah Rasus yang mengasihi Srintil sejak kecil hingga beranjak dewasa memadu kasih bersama. Keputusan Srintil menjadi ronggeng mengecewakan Rasus yang kemudian pergi mengabdi negara sebagai tentara muda pemberantas gerakan komunis. Terpisah selama bertahun-tahun, Rasus masih berupaya menemukan Srintil meskipun situasi di antara keduanya tak lagi sama.
Nice-to-know:
Diproduksi oleh KG Productions dan Salto Films dimana gala premierenya diselenggarakan di Blitzmegaplex Grand Indonesia pada tanggal 6 November 2011.
Cast:
Oka Antara sebagai Rasus
Prisia Nasution sebagai Srintil
Slamet Rahardjo sebagai Kartareja
Dewi Irawan sebagai Nyai Kartareja
Landung Simatupang sebagai Sakarya
Happy Salma sebagai Surti
Teuku Rifnu Wikana sebagai Darsun
Tio Pakusadewo sebagai Sersan Binsar Harahap
Lukman Sardi sebagai Bakar
Director:
Merupakan film keenam bagi Ifa Isfansyah yang mulai angkat nama lewat Garuda Di Dadaku (2009).
Comment:
Ahmad Tohari merupakan penulis Indonesia asli Banyumas yang tenar dengan novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dini Hari dan Jantera Bianglala. Satu dari sedikit penulis lokal yang berani mengangkat tema komunis di tahun 1965 sebagai latar belakang percintaan seorang tentara dan ronggeng di sebuah desa yang penuh lika-liku. Sebelumnya pernah difilmkan juga dengan judul Darah dan Mahkota Ronggeng di tahun saya lahir yaitu 1983.
Skenario yang dikerjakan keroyokan oleh Salman Aristo, Ifa Isfansyah, Shanty Harmayn sekaligus sang penulis novel tersebut di atas memang amat solid. Terciptalah dialog-dialog tajam di antara karakter-karakternya yang pluralisme dalam sebuah rentang waktu yang teramat panjang. Cinta Rasus dan Srintil yang seringkali menemui hambatan karena visi masing-masing yang berbeda mampu bersinergi maksimal dengan pergolakan politik yang terjadi.
Pendatang baru Prisia Nasution adalah satu nama yang pantas diingat di masa mendatang. Tarian magis Srintil memang tidak dominan porsinya tetapi dari beberapa kali penampilannya, penonton sudah dibuat percaya melihat keluwesannya melenggokkan tubuh. Belum lagi penjiwaan dramatisnya sebagai cah ayu sebatang kara yang berusaha memenuhi takdir hidup sekaligus tanggung jawabnya terhadap warga desa sehingga harus mengorbankan cinta sejatinya.
Seperti biasa Oka Antara mampu melebur dalam peran yang disodorkan kepadanya. Bagaimana pria desa nan lugu bernama Rasus mampu bertransformasi menjadi tentara sigap yang cepat menyerap ilmu. Lihat caranya belajar saat berhadapan dengan Tio Pakusadewo mulai dari intonasi bicara yang mudah ditertawakan hingga baca tulis yang kelak berguna. Tanggung jawab terhadap negara tidak menghalangi tekad kuat menemukan belahan jiwanya yang seakan hilang ditelan oleh waktu.
Di luar kedua nama tersebut masih terdapat serentetan nama beken yang mampu memberikan kontribusi yang tidak sedikit. Selain Tio, sebut saja Slamet Rahardjo yang bermain sebagai satu-satunya anggota keluarga yang dimiliki Srintil, kakek Kartareja penanggungjawab setiap kegiatan sang ronggeng plus kembalinya Dewi Irawan sebagai dukun ronggeng Nyai Kartareja yang ahli pengobatan dan hal-hal mistik. Belum lagi Lukman Sardi sebagai Bakar dengan segala agenda tersembunyinya. Jajaran cast yang luar biasa dalam menampilkan seni peran berkualitas tinggi.
Sutradara Ifa Isfansyah patut diacungi jempol karena mampu menghimpun kinerja semua departemen mulai dari artistik, gambar, suara hingga editing secara maksimal. Setting lokasi dimunculkan dengan pas sesuai keadaan Jawa Tengah tahun 50-60an mendukung sinematografi sendu yang dibangun Yadi Sugandi sejak menit awal. Tata busana lawas karya Chitra Subiyakto ciamik bersanding dengan scoring musik indah hasil kolaborasi Aksan-Titi Sjuman yang berkali-kali membuat saya merinding.
Ada baiknya sebelum menonton, anda membaca novelnya untuk memperkaya pemahaman karena masih banyak hal yang tidak dijelaskan dalam filmnya yang terbatas oleh durasi dan kebijakan sensor. Meski tidak runut, Sang Penari mampu menyuguhkan dramatisasi yang kaya makna terutama dari segi pengabdian dan pengorbanan dua individu berlainan jenis. Sebuah cinta yang tidak selalu memaksakan kata hati tetapi cukup dimengerti logika sebelum benar-benar berlalu dalam suatu ambiguitas yang pilu. One of the best Indonesian movies ever made!
Durasi:
109 menit
Overall:
8 out of 10
Movie-meter: