Quotes:
Ibu Katrina: Dengarkanlah hatimu. Karena Cuma hati yang mempunyai perasaan yang paling peka.
Storyline:
Angel adalah seorang gadis cantik dan cerdas. Kekurangannya hanya satu yaitu tuna rungu sejak balita. Ditinggal ibunya yang meninggal saat melahirkannya, ia dibesarkan oleh Ayah dan Neneknya dengan penuh kasih sayang. Tingkatan sekolah dilaluinya dengan lancar karena kepandaian otaknya dan kemampuan bermusiknya yang menonjol. Sayangnya lingkungan tidak menerima Angel begitu saja. Maya dkk menganggapnya tidak pantas ada di sekolah umum dan berkali-kali mengerjainya secara fisik. Beruntung ada Hendra yang selalu menjadi sahabat setianya atau Ibu Katrina yang sering membelanya terang-terangan. Mampukah Angel menyesuaikan diri dengan dunia kejam yang seringkali tidak adil padanya itu?
Nice-to-know:
Diproduksi oleh Rapi Films dimana gala premierenya diadakan di Senayan City XXI pada tanggal 14 November 2011.
Cast:
Surya Saputra sebagai Ayah Angel
Dinda Hauw sebagai Angel
Rima Melati sebagai Bunda Alin
Indra Sinaga sebagai Ferly
Fendy Chow sebagai Martin
Rafi Cinoun sebagai Hendra
Kiki Azhari sebagai Maya
Rheina Mariyana sebagai Ibu Katrina
Director:
Merupakan film ke-15 bagi Findo Purwono HW yang mengawali karir penyutradaraannya lewat film controversial Buruan Cium Gue (2004) yang kemudian dirombak ulang menjadi Satu Kecupan (2005).
Comment:
Film adaptasi ketiga dari novelis online Davonar bersaudara yaitu Agnes dan Teddy dimana skripnya dikerjakan secara kolaborasi oleh Djaumil Aurora dan Titien Wattimena. Drama melankolis ini mengisahkan pada perjuangan hidup seorang gadis belia tuna rungu agar bisa diterima oleh lingkungannya sekaligus mencapai mimpi-mimpinya. Sebuah kisah yang seharusnya bisa menginspirasi siapapun juga apabila ditangani dengan sebagaimana mestinya.
Namun hal tersebut tidak sepenuhnya terjadi disini. Banyak sekali momen-momen pembangkit simpati yang digarap dalam takaran yang tidak pas, kadang dangkal, kadang malah berlebihan. Tak heran jika reaksi penonton tidak seperti yang diharapkan, jangankan air mata haru yang menetes, bisa jadi tawa membahana yang terdengar. Selebihnya hanya duduk diam tanpa reaksi di bangku masing-masing sambil sesekali mengernyitkan dahi.
Harus diakui Dinda Hauw memiliki pesona kecantikan yang mengundang simpati. Saya harap ia tidak terjebak selamanya dalam peran-peran cengeng yang sudah dilakoninya lebih dari sekali. Interpretasi Dinda kali ini sebagai karakter malang sedikit dirusak dengan kejanggalan-kejanggalan dasar mulai dari tidak mengenakan alat bantu dengar yang biasa digunakan tuna rungu hingga penggunaan bahasa tangan yang seringkali terlihat tidak konsisten meyakinkan.
Besar kemungkinan penonton hanya menangkap maksud hati karakter Angel sebagian saja. Parahnya lagi kemunculan subtitle khusus dialog Angel baru di pertengahan menjelang akhir film. Oleh karena itu, banyak sekali yang “missed” sehingga turut mengganggu pemahaman konflik yang ingin disampaikan. Saya bingung apakah Indra, Fendy, Kiki, Rafi, Surya, Rima dan Rheina turut merasakan hal serupa atau mereka hanya mengikuti skenario saja dalam merespon setiap perkataan Angel? Hmmm…
Sutradara Findo yang sesungguhnya lebih piawai menggarap film berbasis komedi terlihat kesulitan menjaga melodrama ini agar tetap berada di relnya. Upayanya menampilkan perjalanan Angel dalam berbagai tingkatan umur tidak terkesan mulus karena editing yang kurang rapi. Terasa sekali pengerjaan film ini dilakukan dalam waktu cenderung singkat sehingga kinerja seluruh departemen tergolong tidak maksimal. Paling kentara dan krusial untuk film bergenre semacam ini adalah scoring music nya yang gagal membangun mood.
Ayah, Mengapa Aku Berbeda? ini sebenarnya memiliki banyak potensi untuk menjadi tontonan yang inspiratif dan apresiatif. Sayangnya pihak filmmaker banyak mengabaikan hal-hal dasar yang pada akhirnya menjadi teramat mengganggu untuk sebuah produksi film layar lebar. Oleh karena itu, terciptalah satu kesan yang saya tangkap sejak menit awal yaitu SINETRON BANGET! Ada kalanya membaca novel menyentuh saja sudah lebih dari cukup bagi kita untuk dapat terhanyut dalam jalinan cerita tragisnya tanpa harus menyaksikan visualisasi salah kaprah yang membuyarkan segalanya.
Durasi:
95 menit
Overall:
7 out of 10
Movie-meter: