Saturday, 31 October 2009

WARRIOR AND THE WOLF : Mitos Serigala dan Pejuang Berhati Lembut

Storyline:
Di masa perang terjadi sebelum negeri China bersatu, ribuan prajurit dikirim untuk bertempur secara brutal. Akan tetapi berbeda dengan Lu Chenkang yang bersifat pemberani, loyal dan memiliki keahlian berperang yang tinggi. Tidak hanya itu, Lu juga lembut hatinya dan menghindari pembunuhan. Pada waktu, ia memimpin pasukannya untuk menyerang sebuah desa misterius, Lu bertemu seorang wanita muda yang bersembunyi dari badai salju. Lambat laun mereka saling jatuh cinta.

Nice-to-know:
Berjudul asli Lang zai ji dan dirilis di China pada tanggal 2 Oktober 2009.

Cast:
Maggie Q
Jô Odagiri sebagai Lu Chenkang
Chung Hua Tou

Director:
Tian Zhuangzhuang sebelumnya paling dikenal lewat Lan feng zheng (1993) yang controversial bahkan di negaranya sendiri itu.

Comment:
Saya sempat penasaran dengan kualitas film ini semenjak melihat poster dan trailernya yang menarik itu. Namun sekitar satu setengah jam kemudian, saya menyesalinya karena tidak ada yang terlihat benar dalam film ini. Entah apa tujuan pembuatan proyek ini dan bagaimana kelompok tersebut dapat menyelesaikannya menjadi suatu tanda tanya besar dalam benak saya!
Sutradara Tian tampaknya terlalu asyik sendiri bermain narasi satu arah yang sangat egosentris itu. Tidak masalah jika dibekali dengan plot cerita yang baik tapi nyatanya kali ini benar-benar sulit diterima logika karena tidak ada keakuratan sejarah yang melatarbelakanginya. Belum lagi alur maju mundur yang tidak konsisten semakin membingungkan audiens untuk bisa mencerna apa yang sesungguhnya ingin disampaikan.
Odagiri dan Maggie juga tidak membawa pengaruh positif apapun disini. Chemistry keduanya terasa dipaksakan. Hal ini diperburuk oleh dubbing bahasa Mandarin yang sangat kentara dimana gerak bibir dan kata-kata yang terlontar tidak sinkron. Sekadar catatan, Odagiri berdarah asli Jepang dan Maggie sendiri lebih fasih berbahasa Inggris. Seakan-akan tidak ada cast lain yang lebih tepat untuk mengisi kedua peran utama tersebut.
Nilai plus yang mungkin anda temukan di dalamnya mungkin hanya sinematografi yang cantik dimana lanskap daratan tinggi memanjakan mata anda. Ditambah dengan sex scene yang berulang-ulang antara Odagiri dan Maggie di sepanjang durasinya cenderung membosankan. Mereka mengawali dengan beberapa pemerkosaan hingga berakhir dengan layaknya hubungan suami istri sukarela? Hm, let’s say it’s very weird.
Mitos orang-orang Harran yang berasal dari klan serigala juga tidak menjelaskan apa-apa walau sepertinya bisa menjelaskan penggunaan film ini. Anda akan teramat lelah menyaksikan Warrior and the Wolf yang tidak menjanjikan apa-apa seperti penonton yang memilih untuk beranjak dari gedung bioskop sebelum film berakhir. Dan jangan bilang kalau saya belum memperingatkan anda untuk melewatkan yang satu ini.

Durasi:
95 menit

Overall:
6 out of 10

Movie-meter:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent
No such perfect 9.5 or 10!

Friday, 30 October 2009

RUMA MAIDA : Mempertahankan Gedung Tua Penuh Kenangan

Cerita:
Gadis pengajar anak-anak kurang beruntung, Maida telah berusaha selama 2 tahun di sebuah gedung tua terbengkalai sampai akhirnya menemui hambatan saat seorang arsitek, Sakera mendatanginya dan berniat membongkar gedung tersebut untuk menjadikannya perkantoran atas perintah bosnya, Dasaad. Maida menolak dengan alasan fasilitas itu adalah satu-satunya tempat bernaung bagi anak-anak yang kesehariannya hanya bisa mengamen, berjualan koran dll untuk bertahan hidup. Tidak diduga, hubungan Maida dan Sakera pun semakin dekat karena mereka sering bertukar pikiran sampai pada akhirnya mereka bertekad mencaritahu sejarah gedung tua yang pernah menjadi saksi masa lalu tersebut untuk membatalkan pembongkaran.

Gambar:
Beberapa flashback ditampilkan dalam adegan hitam putih sephia lengkap dengan kostumnya. Sedangkan setting masa kini yang berlokasi di Jakarta dan Semarang juga turut mendapat perhatian dari sisi artistik.

Act:
Atiqah Hasiholan yang baru saja dipuji dalam Jamila dan Sang Presiden kali ini berperan sebagai Maida, gadis keturunan campur yang idealis dan teguh hati.
Terakhir muncul dalam komedi kacau Merem Melek, Yama Carlos bermain sebagai Sakera, arsitek muda yang rendah hati dan berjiwa sosial.
Baru saja mendukung sekuel Get Married, Nino Fernandez disini kebagian peran Ishak Pahing, komposer Belanda yang pro kemerdekaan.
Turut didukung pula oleh Davina Veronica Hariadi, Imelda Soraya, Wulan Guritno, Frans Tumbuan, ayah-anak Henky & Verdy Solaiman.

Sutradara:
Pernah menggunakan frame serupa dalam Ruang (2005), Teddy Soeriaatmadja kali ini bekerjasama dengan novelis Ayu Utami untuk mengarahkan film berlatar belakang sejarah nasional yang dibiayai oleh Lamp Pictures dan Karuna Pictures.

Comment:
Acungan jempol patut dilayangkan pada penulis skenario sekaligus ide ceritanya yaitu Ayu Utami yang bisa dibilang sukses mengadopsi suatu perjalanan panjang sejarah yang pernah terjadi di masa lalu dari mulai Kebangkitan Nasional 1920 hingga Kemerdekaan R.I. 1945 hingga melibatkan beberapa tokoh nasional yang hidup di jamannya semisal Bung Karno, Bung Hatta, Laksamana Maeda, WR Supratman, Sutan Syahrir dsb. Semuanya itu mungkin tidak terlalu berarti andai Teddy Soeriaatmadja tidak mampu menerjemahkannya ke dalam bahasa gambar yang baik. Penyajian Ruma Maida ini cukup mengesankan karena ada batasan jelas antara masa lalu dan masa kini yang seimbang. Para pemainnya tampil memikat terutama Atiqah yang tampaknya semakin matang. Sebuah film tentang kisah cinta syahdu sekaligus tragis antara dua insan dengan latar pra dan pasca kemerdekaan Indonesia yang tentunya patut anda saksikan.

Durasi:
95 menit

Overall:
7.5 out of 10

Movie-meter:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent
No such perfect 9.5 or 10!

Thursday, 29 October 2009

PUTIH ABU-ABU DAN SEPATU KETS : Gejolak Remaja Hadapi Peliknya Kehidupan

Cerita:
Remaja putri idola sekolah, Dea berpacaran dengan Adit, vokalis sebuah band yang sedang naik daun. Dikarenakan cemburu dengan Michela yang sempat menggoda Adit, Dea nekad berhubungan intim dengan Adit pada suatu kesempatan. Sialnya hal tersebut direkam oleh Adit melalui ponsel yang akhirnya tersebar ke seantero sekolah.. Di lain fokus, tiga sahabat yakni Flory, Kemala dan Icha yang masih duduk di bangku SMU kelas 1 memiliki problemanya masing-masing. Flory yang ibunya seorang lesbian hingga kondisi keluarganya berantakan dan Kemala yang rasa penasarannya terhadap hal-hal dewasa sangat tinggi.. Semuanya berbaur dalam komunitas remaja yang masih perlu belajar dengan hal-hal kedewasaan secara alami.

Gambar:
Sebagai film remaja, film ini menampilkan gambar-gambar yang indah seputar sekolah, rumah tinggal dsb dengan pencahayaan yang temaram.

Act:
Kesemuanya merupakan pendatang baru di layar lebar.
Arumi Bachsin sebagai Dea
Adipati sebagai Adit
Michella Putri sebagai Kemala
Rendy Septino
Rana Audi Marissa sebagai Icha
Filda Effendi sebagai Flory
Steven William

Sutradara:
Nayato Fio Nuala yang pernah beken dengan Ekskul (2005) yang kontroversial sekaligus dipuji itu kini kembali dengan drama remaja yang skenarionya ditulis oleh Viva Westi ini.

Comment:
Film yang konon diangkat dari kisah nyata ini promosinya cukup agresif yang sepintas memang terlihat beda dari film remaja kebanyakan, lihat saja posternya yang terkesan atraktif dengan warna pucat. Premis tersebut tidaklah salah karena secara keseluruhan Putih Abu-Abu dan Sepatu Kets bercerita dengan cukup baik dan lancar apalagi didukung dengan bahasa gambar yang kaya. Akting para pemainnya pun terasa wajar, mungkin karena sebagian besar dari mereka adalah remaja yang sudah biasa dengan problematika sehari-hari. Bagi sang sutradara, ini adalah kemajuan yang signifikan secara berbelas-belas film terakhirnya tidak bisa dibilang bermutu. Namun bukan berarti Putih Abu-Abu tidak memiliki kekurangan. Awal film terasa terlalu bertele-tele, konflik utama baru muncul setelah sejam film diputar dan itupun diakhiri dengan simpel saja. Hasil akhir seharusnya bisa lebih baik tetapi cuma sampai pada tahap lumayan standar.

Durasi:
85 menit

Overall:
7 out of 10

Movie-meter:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent
No such perfect 9.5 or 10!

The Roaring Twenties - 1939


“The Roaring Twenties” (1939) may have even more resonance today than it did when it was produced. The year it premiered was only ten years after the 1929 Stock Market Crash, and the world had entered a new era in 1939 with a vengeance. This end of the Depression look back at how-we-got-to-where-we-are is certainly nostalgic, but it was also a critical success and should be regarded as one of the champion movies in that champion movie year of 1939.

“The Roaring Twenties”, fast-paced and well directed by Raoul Walsh, is remarkable for all the things it attempts to be and succeeds. It is a docu-drama as much as a melodrama. It is a gangster film, but there are so many musical numbers you could as easily call it a musical. It has some outrageously funny lines, but it contains scenes so heartbreakingly pathetic.

Most especially, it looks back on an era still so recent in 1939 and yet from such a remarkably distant perspective, the way we might pack for college and discover with condescending amusement some old souvenir from grammar school. It is a mere ten years from eight years old to adulthood. It also feels like a lifetime.

The film begins with a rolling title prologue that speaks to us today in our present economic crisis: “It may come to pass that, at some distant date, we will be confronted with another period similar to the one depicted in this photoplay. If that happens, I pray that events as dramatized here, will be remembered.” It is signed Mark Hellinger, the writer of the script, who took the stories of real people and real incidents as a basis for the film.

Then the stern voice of John Deering, the narrator, takes over and through a montage of images, the clock is turned back, year by year, to 1918, the last year of the Great War.

“What’s past is prologue” Shakespeare wrote in “The Tempest”, and as such it is appropriate to begin a story that concludes with the Crash at a point in time when the seeds for that event were sewn. Perhaps too often we look at a moment in time as if it really stands apart from other moments, but it does not. It cannot.


James Cagney, Humphrey Bogart, and Jeffrey Lynn are doughboys in France. Cagney is the rough and ready average Joe. Jeffrey Lynn is the sensitive college boy who struggles with right and wrong. Bogart is the thug. It would be one of Humphrey Bogart’s last thug roles before he moved on to being the reluctant hero in 1940s films. He’s looking hale and hearty here, fit and much younger than he did even four years later in “Casablanca.”

In one scene, his thuggishness borders on the psychotic, when Jeffrey Lynn hesitates to shoot a German soldier because he looks only about 15 years old. Bogart plugs him with relish. He loves his gun.

The war ends, and Cagney straggles back home to New York to try to get his old mechanic’s job back, but his job has been given to someone else in the meantime, and he can’t find another one in the post-war recession. This is rather like a foreshadowing of Dana Andrews’ inability to fit in and find a place for himself after World War II in “The Best Years of Our Lives” (1946). (It was in reaction to such conditions that the government mandated during World War II that returning veterans be guaranteed a job with their former employers.)

One very brief, but funny scene if you catch it, is when Cagney gives his old pal, Frank McHugh, a souvenir from the war. It is a German helmet, and McHugh hides it from would-be thieves by shoving it under his bed. Cagney wordlessly motions McHugh to turn the helmet over, because the way he placed it under his bed looks like a chamber pot.



The narrator comes back with more March of Time stuff about bobbed hair, shorter skirts, and the power that drives the rest of the film, Prohibition. Cagney, working as a cab driver, innocently delivers some bootleg liquor to Gladys George, who plays a gal-who’s-seen-it-all and runs a speakeasy. Cagney gets nabbed, takes the fall for Miss George, who later gets him out of jail and becomes his partner in the bootlegging business.

James Cagney spends the rest of the decade getting richer and richer, and more deeply involved in bootlegging, corruption, and gangland murders. Eventually, Priscilla Lane shows up to expose Cagney’s softer side. She had written him pen-pal letters during the war, but when he returned, he dismissed her as a schoolgirl when he had mistakenly thought she was much older. Reunited when she is a struggling dancer in the chorus, Cagney promotes her career in Gladys George’s speakeasy as a singer.

Priscilla Lane actually shares top billing with James Cagney in this movie, and would continue to have a successful year with “Four Daughters” where she was reunited in the first of several more films with Jeffrey Lynn. Here, likewise, Lane and Lynn fall for each other. Cagney falls for Lane. Gladys George falls for Cagney. It is an inextricable web of unrequited love.



Jeffrey Lynn, now a lawyer, helps Cagney with the legal aspects of his business empire and rather hypocritically tries to overlook the illegal. Eventually, Humphrey Bogart joins the business, and the intense scenes between Bogart and Cagney trying to assert their power over each other are something terrific.



If you have ever seen the Carol Burnett parody of this film with Carol as Gladys George, Steve Lawrence as Cagney, Harvey Korman as Jeffrey Lynn, and Sally Struthers as Priscilla Lane, then perhaps, like me, you are reminded of it all through watching this movie. Thanks a whole lot, Carol.

Gladys George, who played the world weary dame with the heart of gold better than anyone (and speaking of “The Best Years of Our Lives” pulled off the same magic there in a minor role), has some great lines and delivers them with deadpan humor. She is most effective silently pining after James Cagney. In the scene where Cagney brings Priscilla Lane to audition for Miss George, he fidgets with the excitement of a schoolboy crush, and he absently grips Gladys George’s hand as he listens to Priscilla Lane sing.

Gladys George seems to feel an electric current at Cagney’s touch, and sadly watches his enchantment for another, much younger, much prettier woman. Another actress might have shown a cliché tinge of jealously or resentment in her reaction, but Gladys George plays it inwardly, almost with shyness.


“What a load of ice!” she blurts when he shows her the diamond rings he has bought for Priscilla Lane. We know her heart is breaking, and we know that Cagney’s will, too, when he discovers Priscilla does not love him, despite the fact that he also bought her a new fangled crystal set radio which she and Cagney listen to on headphones.

Speaking of 1920s paraphernalia, look at the scenes of Cagney and others handling money. The paper bills are much larger and wider than we have today. The government changed to the size bills we use today in July 1929, ostensibly to save paper. As a result, wallet manufacturers had to come up with new, slimmer, models.

We see the crystal sets, the bathtub gin, the rum runners, the Tommy guns, the gangsters, the cops on the make, but the film manages to give us a tour of the Roaring Twenties with only a little feeling of parody. Most of it is a survey class in what can happen when lives are lived to excess, without a thought of tomorrow.

On this 80th anniversary of the Crash of 1929, we may look for parallels between this time and our own. There are inevitably some parallels, but nothing so neat and clear. Time isn’t a blueprint for us to follow. We still have to make up much of it as we go along.

Perhaps at this anniversary, we may watch this movie with something more than just nostalgia. Perhaps we might even be moved to empathy as we understand a bit more about excess and failure with the economy of the last few years.

There are no films of “the Crash”. Newsreel cameras cranked out footage of panicked crowds at Wall Street this day 80 years ago, but that was rather like today when the news media shifts (and wastes) its enormous resources not to cover an event but to cover the public opinion poll about the event. Perhaps filming panicked crowds is more exciting than filming numbers on a chalk board being erased and written over.

This movie covers the Crash by framing it in the context of this whole era, from the end of World War I, through the Noble Experiment, from Main Street to Wall Street, and the resulting Great Depression. In the study of any historic event, it is the months and years preceding the event that really tell us all about the event. We might say our current economic challenges have their roots as far back as the 1980s. We do know, in hindsight, that the 1929 Crash devastated a generation, and forever colored the world of that generation’s children, the ones who would spend their childhoods during the Great Depression, would grow up to fight World War II.

For a long time after this movie, after that generation grew up, the perspective of this 1929 nightmare was growing dim and made somehow quaint by nostalgia crazes. Eighty years on, we might be in perfect position, the first audience for this film in generations, to really identify with the suckers and the straight arrows, the crooks and the gangsters, and the average Joes, and maybe even the omniscient narrator, the whole menagerie that make up “The Roaring Twenties.”

When this film was released in 1939, though it was a success, the world was moving at breakneck speed into another, even more sinister era. It was as if this film was a last look back at the life they knew before they became engulfed in the complete unknown.


James Cagney loses his shirt in the Crash, and loses much of his business to Bogart. Cagney is on the skids, but he has Gladys George to keep him company, now singing herself (“A Shanty in Old Shantytown” no less) in a cheap saloon. Prohibition is over.

“The days of the rackets are over,” Jeffrey Lynn tells Cagney, but he answers with more truthfulness than even the writer of the script probably knew,

“Don’t kid yourself about that.”

Cagney has one last, very violent, power play with Bogart, and in the memorable final scene on the snow-covered church steps, only Gladys George is left to comfort a dying Cagney. When a cop asks who the bum on the steps is, she replies, “He used to be a big shot.”

It might be a pronouncement upon that whole careless era, or on any Ponzi schemer, unscrupulous investment manager, or average chump who lost a good chunk of his retirement in ours.

Wednesday, 28 October 2009

9 : Perlawanan Penghuni Bumi Masa Depan

Quotes:
9-Why do you listen to 1?
5-A group must have a leader.
9-But what if he's wrong?

Cerita:
Saat 9 terbangun, ia menyadari bahwa kondisi dunia setelah kiamat tanpa manusia satupun! Kemudian ia menemukan sebuah komunitas kecil dimana yang semua jenisnya sama seperti dirinya selalu hidup dalam bayang-bayang ketakutan robot penghancur segala makhluk di bumi. 9 kemudian meyakinkan yang lain untuk melakukan perlawanan daripada bersembunyi selama ini. Strategi pun disiapkan dan mungkin saja masa depan peradaban ada di tangan mereka.

Gambar:
Animasinya tergolong mengagumkan, detail dan terlihat real dimana makhluk-makhluk penghuni bumi di masa depan diwujudkan dalam sosok yang unik.

Voice:
Christopher Plummer sebagai #1
Martin Landau sebagai #2
John C. Reilly sebagai #5
Crispin Glover sebagai #6
Jennifer Connelly sebagai #7
Fred Tatasciore sebagai #8 / Radio Announcer
Elijah Wood sebagai #9

Sutradara:
Merupakan animasi remake bagi Shane Acker yang pernah mengarahkan film pendek 11 menit berjudul sama yaitu 9 (2005).

Comment:
Menonton film ini di awal seakan dimulai dari tengah-tengah. Sulit rasanya mencari penjelasan yang detail atas apa yang sesungguhnya terjadi sebelum itu sehingga penonton boleh jadi tidak terlalu intens lagi untuk mengikuti keseluruhan kisahnya apalagi peduli pada nasib tokoh-tokohnya. Plot cerita yang terasa berlubang-lubang dan ambigu disana-sini, belum lagi eksplorasi cerita yang kurang masuk akal. Memang harus diakui dari segi animasi, 9 sangat rapi dan memanjakan mata ditambah beberapa adegan aksi yang cukup memikat. Itulah poin utamanya. Tetapi di luar keunikan gaya dan tampilan artnya, rasanya masih banyak film sejenis lain yang lebih menjanjikan.

Durasi:
80 menit

U.S. Box Office:
$31,339,937 till end Oct 2009

Overall:
6.5 out of 10

Movie-meter:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent
No such perfect 9.5 or 10!

Tuesday, 27 October 2009

THE UNINVITED : Trauma Masa Lalu Berbuntut Halusinasi

Quotes:
Anna-[going through Rachael's stuff] Geez when are they bringing in the stripper pole.
Alex-I know, she's like a crack-whore without the dignity.

Cerita:
Setelah kematian ibunya yang sedang sakit dalam kebakaran, gadis remaja Anna dikirim ke rumah sakit jiwa untuk diterapi Dr. Silberling karena pernah mencoba bunuh diri. 10 bulan kemudian, sekembalinya Anna ke rumah, ia tidak lagi mendapati situasi yang sama karena ayahnya berencana menikah lagi dengan mantan pengasuh ibunya, Rachel Summers. Bekerjasama dengan saudarinya Alex, Anna berusaha menguak misteri pemicu tragedi kematian ibunya yang mungkin saja dilakukan oleh Rachel. Dan lagi Anna terus menerus dihantui ibunya yang seakan masih menyimpan rahasia. Apa yang sesungguhnya terjadi di rumah kapal pada malam itu?

Gambar:
Keseluruhan syuting dilakukan di Kanada. Beberapa scene yang menyeramkan bahkan terasa sangat minim pencahayaannya sehingga menyulitkan penglihatan penonton.

Act:
Aktris muda asal Australia, Emily Browning pernah angkat nama lewat Lemony Snicket's A Series Of Unfortunate Events (2004) disini berperan sebagai Anna, gadis muda yang harus kembali ke rumah tempat traumanya berasal.
Pernah mendukung Eddie Murphy dalam Meet Dave (2008), Elizabeth Banks kali ini bermain sebagai Rachel Summers, pengasuh manula ataupun orang sakit yang sepintas terlihat manis tak berdosa.
Arielle Kebbel sebagai Alex dan David Strathairn sebagai Steven, sang ayah.

Sutradara:
The Guard Brothers yaitu Charles dan Thomas pertama kali bekerja sama dalam Inside Out (1999) dan kali ini meremake film horor Korea, A Tale Of Two Sisters yang cukup mendapat sambutan di kancah perfilman Asia beberapa tahun lalu.

Comment:
Kegagalan beberapa sineas Hollywood untuk mengangkat horor Asia sukses mungkin sedikit berdampak buruk pada film ini yang mengusung A Tale Of Two Sisters dari Korea sehingga hasil box-officenya tidak terlalu memuaskan. Padahal The Uninvited bisa dibilang di atas rata-rata apalagi sukses melakukan transplantasi ke gaya barat, tidak seperti The Grudge yang masih membawa lokasi awal. Penuturan cerita yang runut sehingga penonton digiring untuk bisa mengikuti sekaligus menerka-nerka endingnya yang sungguh tidak terduga. Dari segi cast cukup memukau, Browning bermain paling baik dengan gaya dan penjiwaannya yang alami. Disini unsur suspensi menjadi jualan utamanya di luar horor, berbeda dengan versi originalnya. Bukan hal yang buruk walau mungkin penonton versi original akan kecewa. Film ini harus diakui menjadi salah satu horor remake Asia terbaik yang muncul dalam 5 tahun terakhir. Tanpa bermaksud membandingkan, versi original dan versi remake punya plus dan minus sendiri-sendiri.

Durasi:
85 menit

U.S. Box Office:
$28,573,173 till April 2009

Overall:
7.5 out of 10

Movie-meter:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent
No such perfect 9.5 or 10!

Monday, 26 October 2009

CLIFFHANGER : Aksi Kucing Tikus Di Atas Pegunungan Bersalju

Quotes:
Jessie-This rope looks 60 years old. Will it hold?
Gabe-Don't think so.
Jessie-Bad answer.

Cerita:
Sekelompok pencuri dipimpin Eric Qualen membajak pesawat tujuan Denver yang membawa uang 100 juta dollar. Sayangnya rencana untuk memindahkan koper berisi uang ke pesawat lain gagal total sehingga koper tersebut jatuh ke pegunungan Rocky. Mereka kemudian meminta bantuan tim pendaki keadaan darurat Gabe dan Hal dimana Gabe sendiri masih trauma melakukan pendakian akibat kecelakaan beberapa waktu lalu. Sekarang jutaan dollar dan hidup mereka bergantung pada pertimbangan. Melawan daya ledak, rasa dingin dan rasa pusing yang berat, Gabe harus memperdaya Eric sekaligus menyelamatkan kekasihnya Jessie pada klimaks yang menegangkan.

Gambar:
Bersetting di Rocky Mountain, Colorado dan beberapa spesial efek di dalam studio di Italia, Cliffhanger sukses menyajikan petualangan seru di atas ketinggian pegunungan bersalju yang tengah dilanda badai.

Act:
Terakhir muncul dalam komedi Stop! Or My Mom Will Shoot (1992), Sylvester Stallone kembali dalam film aksi ini sebagai Gabe Walker, pendaki gunung handal yang berusaha mengatasi trauma masa lalunya.
Peran antagonis Eric Qualen dipegang oleh John Lithgow.
Love interestnya Gabe, Jessie Deighan dimainkan oleh si cantik Janine Turner.
Kolega Gabe, Hal Tucker dibintangi oleh Michael Rooker.

Sutradara:
Sukses mengarahkan Die Hard 2 (1990) dengan jagoan Bruce Willis, nama Renny Harlin melambung tinggi di Hollywood dan kali ini bertanggungjawab atas peran megabintang yang lain, Sylvester Stallone.

Comment:
Diawali dengan sedikit drama menegangkan untuk menjelaskan masa lalu tokoh utama, film ini mengalir cepat menuju inti ceritanya yang juga tak kalah mendebarkan. Walau bisa ditebak, plot ceritanya cukup menarik apalagi disajikan dengan tensi tinggi. Setting sangat membantu memvisualisasikan pertaruhan hidup mati yang ada di Rocky Mountains ini sehingga penonton seakan ikut merasakan ketinggian dan kedinginan yang dialami para tokohnya. Cast utama tampil meyakinkan terutama Lithgow, Stallone sendiri cukup memenuhi standar aksinya. Sang sutradara tidak pelak lagi memang piawai memaksimalkan bujet 65 juta dollar yang disediakan untuk mengetengahkan film blockbuster tahun 1993 ini. Cliffhanger mungkin akan mengendap cukup lama dalam ingatan pecinta film aksi tahun 1990an.

Durasi:
110 menit

Worldwide Box Office:
$255,000,000

Overall:
8 out of 10

Movie-meter:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent
No such perfect 9.5 or 10!

The RMS Berengaria and the Crash


We’re continuing our Halloween fright fest with something truly scary: the economy. This week marks the 80th anniversary of the 1929 stock market crash whose repercussions changed this country and a good part of the world. The above famous headline in Variety, devoted to stage and film, put the matter succinctly and with typical panache. Other papers were grappling with 72-point type headlines that attempted to dramatize numbers of shares sold, points in decline, value lost. Variety summed up the whole nightmare in show-biz terms.

What makes this anniversary special is the similarities people, and pundits, may choose to draw between our current economic challenges and those of eight decades ago. It makes the anniversary more dramatic, to be sure, but perhaps it will give us something more than entertaining intrigue. Possibly, it might give us more understanding about the whole grisly matter, and more empathy for a generation that lost everything.

On Thursday we’ll mark the finale of the fiasco, the so-called “Black Tuesday” event (There was, you’ll remember, Black Thursday, Black Friday, Black Monday, and Black Tuesday) with a look at “The Roaring Twenties” (1939), a fascinating and well-made film that attempts to look back on the event with an objective if nostalgic eye. We may have even better perspective now.

Today, let’s have a brief look at one episode of the 1929 stock market crash that says something about the quirkiness of the Roaring Twenties, and maybe the inevitability of paying the piper, or judgment day, or just the party being over.

In the musical “Funny Girl” (1967), Barbra Streisand, playing the popular comedienne Fanny Brice, goes along with her lover, played by Omar Sharif, on a ship to Europe. He is a professional gambler and intends to ply his trade among the well-to-do on the ship. The ship they travel on is the grand Cunard ocean liner, the RMS Berengaria.

“You are going to Europe so you can play cards on the boat?!” Miss Streisand asks incredulously. A little card playing was the least of a life of excess at sea.

The Berengaria began its life a product of Imperial Germany as the Imperator, but was turned over to Great Britain after World War I for reparations, where it was renamed and reborn as a favorite among wealthy travelers taking the trans-Atlantic route between Britain and the U.S.

F. Scott Fitzgerald noted in the final pages of his 1922 novel “The Beautiful and the Damned”, where his dissipated Lost Generation poster children, Anthony and Gloria Patch, newly wealthy but their souls destroyed, wander the decks of the Berengaria, “That exquisite heavenly irony which has tabulated the demise of so many generations of sparrows doubtless records verbal inflections of the passengers of such ships as The Berengaria.”

Other passengers, like Vanderbilt, DuPont, Astor, and J. P. Morgan may not have wandered the decks in dissipation, but certainly had a reason for choosing the Berengaria over other ships. In August of 1929, a couple of months before the Crash, the Berengaria instituted a new service. A salon on the promenade deck would become a stock brokerage linked by wireless to Wall Street. No more would bored millionaires struggle to amuse themselves with shuffleboard on the crossing. Now, they could continue to trade stocks during the voyage.

I suppose it was a 1920s version of people who just cannot put down the cell phone or BlackBerry.

During the week of the Crash, the Berengaria had left Europe and was heading to New York. When news of the stocks falling spread across the ship, the brokerage room was barraged by the passengers, all trying to get more information, all trying to sell. Helena Rubinstein, the cosmetics manufacturer, sat in a front row leather armchair to watch the prices continuously chalked on the board, and continuously falling. She lost a million dollars in a couple of hours.

Other millionaires on board that trip docked in New York penniless. A kind of voyage of the damned. They were no less helpless than the people who sweated it out in the nervous crowds gathering in front of the New York Stock Exchange, but they had a better view; if they bothered to leave the brokerage salon and take a stroll on the promenade deck.

It makes a dramatic allegory to the Crash of 1929, including the aftermath. The Berengaria’s fortunes faltered during the Great Depression, was referred to as “Bargain Area” and used for cheap cruises to the Caribbean and Bermuda, but failed to turn a profit. By the end of the 1930s, she was retired and eventually scrapped in the mid-1940s.

A poem parodying the outlandish idea of having a brokerage a ship was published in the Spokane Spokesman-Review, and later the Literary Digest August 31, 1929. It is eerily prescient:

We were crowded in the cabin
Watching figures on the Board;
It was midnight on the ocean
And a tempest loudly roared.

We were watching the quotations
With a certain sad appeal:
Some were short in General Motors,
Some were long on U.S. Steel.

And, timidly a tourist
Took a chance on twenty shares --
"We are lost!" the Captain shouted,
As he staggered down the stairs.

"I've got a tip," he faltered,
"Straight by wireless from the aunt
Of a fellow who's related
To a cousin of Durant."

At these awful words we shuddered,
And the stoutest bull grew sick
While the brokers cried, "More margin!"
And the ticker ceased to tick.

But the captain's little daughter
Said, "I do not understand --
Isn't Morgan on the ocean
Just the same as on the land?"


Even the film industry, which ironically did very well during the Depression and proved to be one of the few recession-proof industries (dimes stores was another), suffered a foreboding incident that frightening autumn.

In September 1929 “His Glorious Night” with John Gilbert was released to not only criticism, but howls. The silent-screen lover lost his macho mystique when the audience heard his high, thin voice for the first time. It was indeed an era of new beginnings, new technological marvels, and disastrous endings.

But Mr. Gilbert’s misfortune was Gene Kelly’s gain when the seed was planted for “Singin’ in the Rain” (1952).

By the time that parody was released, the stock market had mostly recovered. It took a couple of decades for those who lost money on their stocks but held onto them to break even. The stock market finally regained its pre-1929 Crash highest level in November 1954 amid a booming economy fueled by consumerism, where the 1929 Crash was starting to fade in memory and fear of it was replaced by either scornful amusement, or total ignorance, for another couple of generations.

“What’s past is prologue” Shakespeare said in “The Tempest.” Come back Thursday for “The Roaring Twenties”. Until then, have a look below at a montage of The Berengaria and the Crash.

Sunday, 25 October 2009

BLACK WATER : Bertahan Hidup Dari Serangan Buaya

Tagline:
What you can't see can hurt you..

Cerita:
Lee bersama kakaknya, Grace yang bersuamikan Adam berlibur bersama ke Australia Utara untuk memancing di rawa Blackwater Barry bersama pemandu dadakan, Jim dengan menggunakan motor boat kecil. Malang tak dapat ditolak saat seekor buaya raksasa membalikkan boat itu dan membuat trio malang itu terapung-apung di daerah yang sama sekali asing bagi mereka. Bertahan hidup di atas sebatang pohon sama sekali bukan situasi yang menguntungkan karena buaya ganas tersebut terus mengintai gerak-gerik mereka.

Gambar:
Bersetting langsung di Northern Australia, suasana film ini sangat konstan dengan kesunyian dan lokasi terasing yang mencekam.

Act:
Tiga aktor-aktris asli Australia yang namanya belum dikenal yaitu
Maeve Dermody sebagai Lee
Diana Glenn sebagai Grace
Andy Rodoreda sebagai Adam


Sutradara:
Kolaborasi penyutradaraan layar lebar perdana bagi Andrew Traucki dan David Nerlich.

Comment:
Masih ingat dengan film semi dokumenter berjudul Open Water yang cukup dibicarakan beberapa tahun lalu? Jika itu bercerita tentang hiu di perairan terbuka, film ini berkisah tentang buaya. Tokohnya hanya 3 orang sepanjang film sehingga dibutuhkan penjiwaan dan penyajian konflik yang lugas sekaligus konsisten. Black Water yang juga diilhami dari kejadian nyata boleh dibilang berhasil dalam elemen-elemen yang telah saya sebutkan di atas. Glenn, Dermody dan Rodoreda sukses menjaga empati penonton terhadap nasib mereka karena menciptakan chemistry yang pas di antaranya. Spesial efek buaya memang tidak terlihat terlalu nyata tetapi cukup menakutkan sebagai momok pemangsa. Secara keseluruhan, film yang lumayan terjaga tensinya sepanjang film walau mungkin membosankan bagi sebagian orang.

Durasi:
90 menit

Australia Box Office:
AUD 111,189 till June 2008

Overall:
7 out of 10

Movie-meter:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent
No such perfect 9.5 or 10!

Saturday, 24 October 2009

KEMBANG PERAWAN : Mencari Arti Hidup Dengan Simbolisme

Cerita:
Empat sahabat yang dikenal sebagai pecundang di SMA nya yaitu Astu, Syaki, Didan dan Balqi bertekad memulai hidup baru selepas kelulusannya terutama Astu yang diam-diam menyimpan hati pada Astari. Mereka berempat kemudian melakukan evaluasi menyeluruh tentang apa yang salah pada diri mereka mulai dari bertemu psikiater, paranormal, dsb. Sampai pada akhirnya mereka berlabuh di suatu desa tempat tinggal nenek Astu dan mempelajari teori bahwa dengan memiliki Kembang Perawan di desa tersebut yang belakangan diketahui bernama Kinasih, nasib sial yang selama ini mengikuti mereka akan hilang. Namun ternyata apa yang mereka temukan disana adalah jatidiri yang sesungguhnya..

Gambar:
Keindahan desa Cikesang ditampilkan dengan pas seakan-akan hijaunya sawah, jernihnya sungai dan batas cakrawala menjadi latar belakang yang mengagumkan.

Act:
Masing-masing tampil natural sesuai penjiwaan karakternya.
Astu diperankan oleh Adly Fairuz
Syaki oleh Mario Merdhita
Didan oleh Kris Anjar
Balqi oleh Dimas Anggara
Nenek Astu oleh Titi Qadarsih
Janda Nani oleh Indah Kalalo
Kinasih oleh Ryana Dea
Astari oleh Olivia Lubis Jensen


Sutradara:
Pria yang pernah menghasilkan dwilogi Kawin Kontrak lewat penulisannya, Joko Nugroho kali ini bertindak sebagai penulis sekaligus sutradara film yang judulnya diambil dari album Gita Gutawa.

Comment:
Melihat posternya sepintas tidak menyiratkan kualitas yang sesungguhnya. Setelah mengetahui tim produksinya adalah Frame Ritz yang biasanya menangani FTV-FTV di SCTV, saya sedikit percaya dengan isinya. Dugaan tersebut tidaklah salah karena Kembang Perawan secara standar baku yang baik mampu bercerita dengan lugas dari awal sampai akhir. Para pemainnya pun tampil wajar. Settingnya dibuat sedemikian rupa hingga terkesan sangat natural dan membumi. Plot ceritanya boleh dibilang cukup orisinil walau sudah banyak film asing dengan tema sejenis yaitu masa akil baliq remaja pria tetapi disuguhkan dengan gaya Indonesia. Alur berceritanya sangat runut. Hal-hal tersebut bukan tanpa kekurangan karena pakem hal-hal klise masih digunakan di beberapa bagian utama cerita. Akhir kata, acungan jempol pantas diberikan pada sang sutradara yang eksplorasinya tergolong berhasil dan mampu membawa Kembang Perawan menjadi film remaja yang cukup memorable dan sarat dengan pesan moral tentang pencarian jati diri.

Durasi:
95 menit

Overall:
7.5 out of 10

Movie-meter:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent
No such perfect 9.5 or 10!

Friday, 23 October 2009

SELENDANG ROCKER : Perseteruan Kocak Artis Melayu dan Rocker

Cerita:
Grup rock yang mulai turun pamor, The Pangky's didapuk produser untuk mengubah haluan menjadi grup beraliran Melayu dengan berkolaborasi dengan Munanada, grup Melayu yang telah terbukti kesuksesannya. Hal tersebut tidaklah begitu saja diterima para anggota The Pangky yaitu Ipank pada vokal, Ozi pada drum, Erick pada gitar dan Joy pada keyboard karena masing-masing mereka dituntut untuk menyesuaikan diri dengan peraturan baru termasuk mencopot segala atribut penampilannya. Munanada sendiripun bukan orang yang mudah bekerjasama dan sangat agamais sampai akhirnya ia terlibat perang dingin dengan Ipank. Malang bagi Ipank karena kemudian ia jatuh cinta dengan Gaby yang ternyata putri Munanada dari istri ketiganya! Akankah pada akhirnya The Pangky's bisa berdiri lagi?

Gambar:
Penampilan panggung The Pangky's dan Munanada ditampilkan sedemikian rupa untuk memancing tawa sehingga tak jarang tercipta nuansa komikal di setiap adegannya.

Act:
Peran utama layar lebar pertama bagi Candil yang didapuk sebagai Ipank, rocker pemarah yang suaranya sangat melengking.
Rapper yang tengah naik daun, Saykoji bermain sebagai Joy, keyboardist bertubuh tambun berkepala plontos yang hobi makan dan kentut.
Komedian Ramzi kebagian peran Ozi, drummer keturunan Arab yang seringkali terlambat.
Edric Tjandra sebagai Erick, pemain gitar yang mudah tersinggung.
Penampilan kocak Joe P-Project sebagai Munanada, penyanyi Melayu senior yang senang bertingkah.
Terakhir Sarah Jane sebagai Gaby, putri Munanada yang jatuh cinta pada Ipank.

Sutradara:
Terakhir bermain dalam komedi hitam Asmara Dua Diana, Awi Suryadi kini mencoba genre komedi musikal dengan memanfaatkan beberapa artis musik asli sebagai karakter utama di filmnya.

Comment:
Trailer film ini menyiratkan janji dan mungkin akan mengingatkan anda pada D'Bijis (2006). Tetapi setelah menontonnya, kualitas akhirnya tidak berbeda jauh dengan D'Bijis yang cukup mengecewakan itu, hanya mungkin sedikit lebih baik. Dari segi cast, kehadiran Candil dan Joe P-Project menjadi nilai jual yang baik karena keduanya menampilkan karakter yang kuat dan saling berseberangan, ditambah lagi oleh Ramzi yang semakin lugas melawak. Namun hal tersebut tidak terbantu oleh skenario yang ditulis oleh Benni Setiawan karena terkesan menggampangkan plot cerita. Awi selaku sang sutradara yang tiga karya awal layar lebarnya tergolong diterima masyarakat dengan baik kali ini malah semakin turun. Alhasil, Selendang Rocker hanya akan sekadar menghibur dengan standar komedi nasional tanpa ada kesan mendalam yang ditinggalkan.

Durasi:
90 menit

Overall:
6.5 out of 10

Movie-meter:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent
No such perfect 9.5 or 10!

Thursday, 22 October 2009

DISTRICT 13 ULTIMATUM : Duet Maut Polisi Hentikan Pengeboman Massal

Storyline:
Setelah menuntaskan misi melawan raja narkoba, Kapten Damien Tomaso kembali ke rumah dan menghabiskan waktu bersama istri tercinta. Ketenangan tiba-tiba terusik saat gerombolan polisi mendobrak masuk dan menemukan 3 kg heroin di dapur sehingga Damien ditangkap. Sementara itu sekelompok remaja yang dikepalai Roland membuat film mengenai agen-agen kotor dari agensi keaman yang mengeksekusi polisi di mobil mereka dan meninggalkan mobil dengan mayat tersebut di Distrik 13 untuk mengambinghitamkan dan memulai perang sipil. Di balik kejadian ini, kepala keamanan Walter Gassman menerima imbalan besar dari konstruktor Harriburton yang tertarik untuk mendirikan bangunan di wilayah miskin dan memaksa Presiden Perancis untuk membom atom lima menara di dalam distrik itu. Akankah Belle yang membantu pembebasan Damien dapat menggagalkan rencana busuk itu?

Nice-to-know:
Syutingnya berlangsung selama 14 minggu dan sempat terjadi kericuhan saat Luc Besson diboikot media Perancis.

Cast:
Pernah mendukung Taxi 2 (2000), Cyril Raffaelli bermain sebagai Kapten Damien Tomaso yang difitnah.
David Belle sebagai Leïto
Philippe Torreton sebagai Presiden
Daniel Duval sebagai Walter Gassman
Elodie Yung sebagai Tao

Director:
Sejauh ini merupakan film kelima Patrick Alessandrin setelah karya terakhirnya, Mean Spirit (2003).

Comment:
Prekuelnya District 13 (2004) nampaknya cukup bergaung di Eropa sana dan sayangnya tidak beredar di Indonesia sehingga saya tidak memiliki referensi apapun dalam menyaksikan film ini ataupun mengetahui apa yang terjadi sebelumnya. Namun tergambar dari opening film ini, plotnya bisa dikatakan sangat sederhana dan hanya mengandalkan sekuens action yang dominan sepanjang film. Adegan demi adegan bergulir cepat yang sebagian besar diambil dengan kamera tangan, tidak heran jika gambarnya kerap bergoyang-goyang mengikuti pergerakan karakter utama. Terkadang cukup mengganggu walau berdampak real di beberapa bagian terutama saat Belle meloncat dari satu gedung ke gedung yang lain.
Dari segi cast, dynamic duo Raffaelli dan Belle saling bekerjasama yang baik tetapi sayangnya tidak banyak sekuens yang memperlihatkan itu. Keragaman karakter terutama dari geng anak muda yang membantu di akhir sedikit out of nowhere karena jika tidak ada juga tidak akan dipermasalahkan sebetulnya.
District 13 : Ultimatum hanyalah satu dari sekian non-stop action movie keluaran Eropa dan Perancis secara spesifik. Entah mengapa saya tidak menyukai gagasan endingnya yang terkesan tidak serius dan sangat dipermudah. Namun demikian koreografi dan fighting scenenya cukup menjanjikan dan dijamin memuaskan anda yang menyukai genre ini.

Durasi:
90 menit

U.S. Box Office:
$36,039 (USA) till end of March 2010

Overall:
7 out of 10

Movie-meter:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent

Bell, Book, and Candle - 1958


“Bell, Book & Candle” (1958) begins its story on Christmas Eve, carries the plot a few months into the spring, and never really mentions Halloween, but since the story is about a witch, Halloween is never far from our minds.

Kim Novak plays the anthropology major-turned-dealer in native art who lives behind her shop in Greenwich Village. She is the witch, and James Stewart is the publisher she bewitches. Elsa Lanchester, as always, is hysterical as her mischievous and somewhat childlike aunt, also a witch. Jack Lemmon is her mischievous and somewhat sophomoric brother, a warlock. They gather occasionally at a seedy local nightclub to enjoy the company of other witches who are all living a kind of underground life, on the fringes of respectable society, never daring expose who they really are.

Another important supporting role goes to Pyewacket, Miss Novak’s cat. Particularly charming is the bond the two seem to have had. She looks quite comfortable handling him. He sprawls and hangs like a limp towel on her shoulder (mentioned in this previous post on other cat actors), and the way he stretches himself against her body, he certainly seems comfortable with her.

Kim Novak may have taken him for a model for her role, with her slow, feline, graceful, deliberate movements, her penetrating gaze, her casual, low, lazy speech. She does not appear emotionally brittle as she does in her previous films mentioned here, “Picnic” and “Strangers When We Meet”, or “Vertigo”, in which she also started with James Stewart. Here, though her character is complicated and mysterious, she comes off as a much stronger, focused person.


But she is not without her troubles. Miss Novak is bored with her life, and wistfully wonders what it would be like not to be a witch. We are told that witches cannot blush, or cry, or fall in love, and that if they ever did fall in love, they would lose their powers. Novak wonders what it would be like to be in love.

On Christmas Eve at the local witch dive, she confesses her Christmas depression (which might make her more human after all), and ruminates, “Don’t you ever wish we weren’t what we are -- that you could spend Christmas Eve in a little church listening to carols instead of bongo drums?”


She takes a fancy to upstairs neighbor James Stewart, and when she discovers that his fiancée is her old college nemesis, played razor sharp and elegant by Janice Rule, the kind of girl who led the clique and ostracized the losers, Miss Novak decides all’s fair in love and war. She goes after him.


As part of her plan, she casts a spell on an author that publisher Stewart wants to meet. That author, a charlatan investigating witchcraft, is played by the one-of-a-kind Ernie Kovacs, with his customary dizzy alcoholic logic. She casts a spell on Stewart, and one of the most memorable scenes is their Christmas morning adventure on the top of New York’s Flatiron Building. When he tosses his hat off the roof of the building, we watch is sublimely sail several stories until it slaps into the slush on 5th Avenue.


Complications ensue when her brother Jack Lemmon decides he’s tired of being poor and starts to feed real information on witchcraft to Ernie Kovacs to cash in on his book that Stewart will publish. Novak nixes this project as too dangerous to their community, and Lemmon gets his revenge when Novak is forced to confess to Stewart that she is a witch and that she had cast a spell on him.



It takes a little convincing, but eventually the light dawns and Jimmy is horrified, angry, and humiliated (his reactions are very funny). He seeks a counter spell from another local witch, played with glorious self importance by Hermione Gingold.

But we have our happy ending when Kim Novak, in spite of herself, really has fallen in love and as a result, blushes, cries, and loses her powers. And her cat. Stewart decides he really is in love too, without the spell.

Taken from John van Druten’s stage play, much of the playful language teases us with the bewitching power of sex. Novak scolds Elsa Lanchester for the pranks she plays and forbids her to use her witchcraft because she cannot be “discreet.”

Jack Lemmon, she tells Stewart, uses his powers to enhance his love life. Elsa Lanchester tells Stewart that witches cannot fall in love, “Love is quite impossible. Not hot blood, though. Hot blood is quite allowed, but of course,” she lowers her eyes, “you know all about that.”


There are other playful remarks that gesture to the history of witchcraft (or rather, suspicion of witchcraft) in America. Elsa Lanchester confides to Stewart that both Novak and Lemmon were witch prodigies as children, “We lived in Massachusetts.”

And, when Stewart, seeing that she has a confession to make and teasing her to just come out with it says, “Have you been engaging in un-American activities or something?”

To which Novak grimly replies, “No, I’d say very American. Early American.”

Obviously, this film was a huge inspiration for the successful television sitcom “Bewitched” which followed in the 1960s and early ‘70s. (Speaking of which, have a look here at this post on the Samantha statue in Salem, Mass. on my New England Travels blog.)

It’s interesting how many words we have to denote love that come from a mystical lexicon: bewitching, enchantment, magical, casting spells. Perhaps Stewart is right when he says, embracing Novak at last, “Who’s to say what magic is?”

Wednesday, 21 October 2009

MY EX : Kisah Masa Lalu Tragis Para Mantan Kekasih

Storyline:
Superstar muda tampan, Ken merupakan pria impian setiap wanita. Saat kedua mantannya, Meen yang putri politikus dan Bow, mahasiswi cantik diekspos oleh media, Ken malah mendekati aktris lawan mainnya, Ploy. Gosip pun segera beredar bahwa Ken akan menikahi Ploy sehingga keduanya terpaksa menghindari segala jepretan dan sorotan publik. Di balik fakta tersebut, ada sesuatu yang mengintai Ken dan Ploy dari kejauhan yang mungkin akan menjadi mimpi buruk yang tidak berkesudahan.

Nice-to-know:
Diputar di Indonesia lewat jaringan bioskop Blitz Megaplex.

Cast:
Shahkrit Yamnarm sebagai Ken pernah mendukung Nicolas Cage dalam remake Bangkok Dangerous (2009).
Wanida Termthanaporn sebagai Ploy.
Navadee Mokkhavesa sebagai Meen.
Atthama Chiwanitchaphan sebagai Bow.

Director:
Piyapan Choopetch.

Comment:
Kisah tentang pria yang mengumbar janji manis terhadap wanita dan pada akhirnya mengingkarinya rasanya sudah berulang kali diangkat baik dengan genre thriller atau horor. Khusus film ini mengambil genre yang kedua yang bahkan pernah disajikan juga dalam horor cult Thailand, Shutter. Namun My Ex tampaknya masih setia dengan pendekatan konvensional plus beberapa twist plot yang cukup menarik. Sutradara Piyapan membangun kengerian dari kejutan musik dan angle kamera yang tampaknya masih berhasil. Banyaknya penampakan di paruh pertama film mungkin akan mengagetkan anda tetapi tidak di paruh kedua. Audiens diajak menerka-nerka waktu kejadian sekuens-sekuens yang disuguhkan untuk bisa mengerti keseluruhan bangunan cerita. Terkadang sudut pandang kita pribadi seakan dilibatkan dalam eksekusi cerita. Menarik bukan? Pemilihan Yamnarm sebagai Ken bisa dibilang tepat. Kharismanya sebagai playboy dan superstar cukup kuat. Ketiga pemeran utama wanitanya juga berhasil dibawakan sesuai dengan varian karakterisasinya. Ini adalah sebuah horor yang decent meskipun endingnya tidak terlalu dijelaskan secara eksplisit.penonton.

Durasi:
90 menit

Overall:
7 out of 10

Movie-meter:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent

Monday, 19 October 2009

NEVER BACK DOWN : Kendalikan Emosi Bertarung Demi Harga Diri

Quotes:
Jake Tyler: I'm gonna stop this guy, win, lose... it makes no difference, it ends tonight. This is my fight. Everyone's got one...

Storyline:
Sebagai anak baru di sekolah, Jake menyukai gadis cantik yang ditemuinya, Baja. Sayangnya dalam suatu pesta ia berkonfrontasi dengan pacar Baja, Ryan yang sangat suka berkelahi karena diajarkan oleh ayahnya sejak kecil. Jake dikalahkan dengan mudah dan dipermalukan di hadapan siswa-siswi lainnya. Bertekad belajar bela diri untuk menjaga harga dirinya yang seringkali dilecehkan, Jake berlatih secara intensif pada Jean Roqua. Semua usahanya mulai menunjukkan hasil dan yang terpenting ia mulai bisa mengendalikan emosinya. Namun akankah kesombongan Ryan dapat dijatuhkan Jake pada kompetisi Beatdown?

Nice-to-know:
Sean Faris diharuskan menambah massa ototnya sebesar kurang lebih 8 kg untuk perannya disini.

Cast:
Mengawali karirnya dalam Twisted (2001), Sean Faris kali ini bermain sebagai Jake Tyler
Terlebih dahulu berperan disini sebagai Ryan McCarthy, Cam Gigandet malah angkat nama lewat Twilight di tahun yang sama.
Amber Heard sebagai Baja Miller
Evan Peters sebagai Max Cooperman
Leslie Hope sebagai Margot Tyler
Djimon Hounsou sebagai Jean Roqua
Wyatt Smith sebagai Charlie Tyler

Director:
Merupakan film kedua bagi Jeff Wadlow setelah Cry_Wolf (2005).

Comment:
Kebetulan saya menyaksikan Karate Kid versi Jackie Chan/Jaden Smith terlebih dahulu sebelum ini dan ternyata formulanya sama persis. Seorang remaja yang pindah ke tempat baru kemudian dipukuli oleh jagoan lokal hingga bertekad membalas dendam dengan berguru pada jago senior sambil memenangkan gadis idamannya. Ayolah akui sudah beberapa kali anda menyaksikan plot serupa dengan judul yang berbeda-beda. Mana yang anda suka kembali lagi pada selera masing-masing bukan?
Film ini terasa lebih Amerika dengan setting dan society yang disodorkannya. Lihat suasana kampus dan sasana latihan berikut para penghuninya dari berbagai lapisan masyarakat. Pluralisme! Belum lagi musik pendukungnya yang didominasi musik hip hop seperti Soulja Boy, Kanye West ataupun rock cadas semisal My Chemical Romance dsb. Lihat juga bagaimana muda-mudi itu menggunakan berbagai macam gadget dan social media yang sangat masa kini mulai dari webcam, handycam hingga Youtube. Sutradara Wadlow berhasil mengumpulkan cast yang sebagian besar memang menguasai beladiri, tak terkecuali dua pemeran utamanya yaitu Faris dan Gigandet yang juga turut memamerkan otot-ototnya disini. Sebagai love interest keduanya ada Heard yang kali ini sangat seksi dengan pakaian minim dan rambut pirang panjangnya yang terurai. Jangan lupakan juga Hounsou dan Hope yang sudah tinggi jam terbangnya berhasil melengkapi peran mentor dan orangtua.
Meskipun terkadang ada beberapa logika cerita sulit diterima akal sehat dan sebagian adegannya banyak disiasati dengan percepatan fighting scene, adegan bertarungnya cukup menyenangkan untuk disaksikan. Berbagai teknik bantingan, jepitan dll juga sedikit dipertontonkan dan hal ini bagus untuk sebuah film martial arts. Pada akhirnya saya cukup menyukai Never Back Down terlepas dari klisenya dialog dan ending yang mudah sekali ditebak. Jadi rendahkanlah ekspektasi anda sebelum menontonnya dan mungkin anda akan sedikit terpuaskan dengan hasil akhirnya.

Durasi:
110 menit

U.S. Box Office:
$24,848,292 till Jun 2008

Overall:
7 out of 10

Movie-meter:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent

Boris Karloff


We’re going to start the Halloween celebration this week with a not-so-scary look at a monster and a witch. Next week we’ll get into the scary stuff, which, ironically, has nothing to do with monsters or witches, but with the economy.

Above we have the Hollywood Walk of Fame star for Boris Karloff, one of two which honors the iconic actor. This one, you can see by the little TV below his name, is for his career in television. He did quite a few guest appearances on shows through the 1950s and ‘60s, and hosted the “Thriller” anthology. Perhaps his biggest claim to fame in this period is voicing The Grinch.

The Grinch wasn’t exactly a cuddly person, but he found redemption through being nice and returning the roast beast, cans of Who Hash, etc. Boris Karloff went through several phases in his real life as well, but he was always a much sweeter and gentler man than his monstrous characters.

Karloff’s real name was William Henry Pratt, who left his home in England to tour Canada and the USA in theatrical groups, filling in the lean times with manual labor. He took some minor roles in silent films to make ends meet, and was all of 44 years old before his big break came, “Frankenstein” in 1931.

After that enormous hit, it was hard for some to picture Mr. Karloff as anything else, but some who celebrate his famous horror film appearances may forget he was nominated for a Tony Award for his Broadway role in “The Lark”, a drama about Joan of Arc, with Julie Harris. Or, they may be unaware entirely that Karloff won a Grammy Award for his spoken record of “How the Grinch Stole Christmas”. Karloff made other records as well, for children, reading fairy tales with his unique (but not very sinister this time) lisp.

There’s a story about Karloff recounted on the IDMb website where the crew of “Frankenstein” were concerned about the little girl in that famous scene would be terrified of Karloff when she first saw him in full makeup. No worries. She happily ran right up to her new buddy. Karloff’s Frankenstein Monster had something special that elicited our sympathy. Maybe it was something “human” about him.

Sunday, 18 October 2009

INGLOURIOUS BASTERDS : Sarkasme NAZI Sudut Pandang Tarantino

Quotes:
Col. Hans Landa-[Aldo has just killed his driver] Are you mad? What have you done? I made a deal with your general for that man's life!
Lt. Aldo Raine-Yeah, they made that deal, but they don't give a fuck about him. They need you.
Col. Hans Landa-You will be shot for this!
Lt. Aldo Raine-Naw, I don't think so. More like I'll be chewed out. I've been chewed out before.

Cerita:
Saat Nazi menduduki Perancis, gadis muda Yahudi bernama Shosanna menyaksikan keluarganya dibantai dengan sadis oleh Kolonel Hans Landa sebelum melarikan diri. Perlahan-lahan, Shosanna membangun kehidupannya sambil merencanakan balas dendam beberapa tahun kemudian saat pahlawan perang Jerman, Fredrick Zoller menaruh hati padanya. Di lain pihak, the Basterds, sebuah kelompok Yahudi Amerika yang dipimpin Letnan Aldo Raine bertekad membunuh setiap perwira Nazi yang mereka temui. Pada akhirnya semua pihak pun bertemu di gedung teater tepat pada pertunjukkan film dokumen kebanggaan Jerman yang turut dihadiri sang pemimpin Nazi itu sendiri, Adolf Hitler!

Gambar:
Demi menciptakan situasi yang sesungguhnya, Tarantino mengambil dua lokasi di Jerman yaitu Saxony dan Brandenburg sebagai latar belakang jaman penjajahan Nazi.

Act:
Dengan cast keroyokan, aktor-aktris yang bermain dalam Inglourious Basterds tetap menunjukkan performa terbaik sesuai tuntutan sutradara.
Brad Pitt sebagai Lt. Aldo Raine
Mélanie Laurent sebagai Shosanna Dreyfus
Christoph Waltz sebagai Col. Hans Landa
Eli Roth sebagai Sgt. Donny Donowitz
Michael Fassbender sebagai Lt. Archie Hicox
Diane Kruger sebagai Bridget von Hammersmark
Daniel Brühl sebagai Pvt Fredrick Zoller
Til Schweiger sebagai Sgt. Hugo Stiglitz

Sutradara:
Memenangkan satu-satunya Oscar pada tahun 1995 kategori Naskah Penulisan Terbaik dalam Pulp Fiction (1994), Quentin Tarantino merupakan salah satu sutradara eksentrik Hollywood yang sangat ternama berkat karya-karyanya yang off-mainstream.

Comment:
Film yang gelap penuh kekerasan tapi sedikit bernuansa fiksi komikal. Ya rasa salut harus dilayangkan pada Tarantino yang berhasil menggambarkan sekelompok bajingan yang bisa jadi mengingatkan kita semua pada kekejaman Nazi pada masanya. Terbagi dalam lima sekuens yang fasih dalam bercerita, Tarantino tidak hanya menyorot Inggris, Amerika ataupun Jerman yang saling bersitegang tetapi juga Perancis dan warga sipil Jerman yang tertindas karenanya. Hal unik dilakukannya lewat bertukar dialog dimana orang Perancis berbicara Jerman dan sebaliknya sehingga tercipta percakapan yang lucu sekaligus tajam. Hampir semua cast bermain brilian, hanya saja daya tarik utamanya yaitu Pitt terlihat paling lemah saat memerankan karakter idiot berkuasa yang penuh dendam. Pada beberapa adegan lambat, mungkin cukup mencengangkan anda dengan dramatisasi kekejaman yang seolah dibuat untuk ditertawakan.
Akhir kata, acungan jempol buat Tarantino yang sukses membuat banyak orang yakin ia pantas menerima gelar Sutradara Terbaik pada Oscar tahun depan. Namun saya ingatkan, Inglourious Basterds tidak bisa "dinikmati" begitu saja, terutama bagi anda yang tidak menyukai atau mengenal gaya dari Tarantino.

Durasi:
145 menit

U.S. Box Office:
$118,297,669 till early Oct 2009

Overall:
7 out of 10

Movie-meter:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent
No such perfect 9.5 or 10!