Quotes:
Wahai samudera, aku tak bisa menyimpan ombakmu, kata tepian pada laut.
Nice-to-know:
Film yang diproduksi oleh Winmark Pictures dan diedarkan oleh Tabia Films ini gala premierenya diselenggarakan di Epicentrum XXI pada tanggal 27 Agustus 2012.
Cast:
Risjad Aden sebagai Samihi kecil
Dedey Rusma sebagai Yanik kecil
Bianca Oleen sebagai Syamimi kecil
Lukman Sardi sebagai Aminulah, ayah Samihi
Riman Jayadi sebagai Yanik
Andiana Suri sebagai Syamimi
Andre Julian sebagai Samihi
Jerinx SID sebagai Ngurah Panji
Director:
Merupakan debut penyutradaraan Erwin Arnada yang sebelumnya berpengalaman sebagai produser dan penulis skenario dimana Tusuk Jelangkung (2002) mengawalinya.
W For Words:
Perjalanan hidup Erwin Arnada bisa dikatakan kontroversial. Mantan pemimpin redaksi majalah Playboy Indonesia ini sempat menjalani masa tahanan pada tahun 2010 dimana ia menghasilkan novel laris yang menuai banyak pujian berjudul Rumah Di 1000 Ombak yang pada akhirnya diangkat ke layar lebar sekitar dua tahun kemudian. Penata skrip handal, Jujur Prananto pun dilibatkan. Pada jajaran cast hanya terdapat satu nama besar yaitu Lukman Sardi di antara para pendatang baru yang terbilang menjanjikan.
Samihi yang beragama Islam berkawan dengan Wayan Manik alias Yanik yang beragama Hindu di Desa Kaliasem, Singaraja. Yanik mengajarkan Samihi bernyanyi sekaligus mengatasi ketakutan akan air karena penyakit asma yang dideritanya. Sebaliknya Samihi juga mendengarkan kisah pahit Yanik akibat kasus pedofilia pria bule bernama Andrew. Kesalahpahaman memisahkan keduanya selama bertahun-tahun. Samihi memilih menetap di Australia meninggalkan adiknya, Syamimi yang bersimpati pada Yanik yang kian terpuruk.
Persahabatan Yanik dan Samihi di masa kecil merupakan kekuatan utama film ini. Detail proses yang mengetengahkan perkenalan sampai kedekatan mereka berjalan wajar lewat momen-momen manis. Latar belakang Singaraja seakan menjadi kekuatan sendiri layaknya panggung pendukung yang sempurna dalam menerjemahkan setiap emosi kedua anak itu. Aspek pluralisme pun turut disertai lewat penggambaran ibadah hingga ritual agama Islam-Hindu yang menghembuskan nafas kerukunan umat beragama yang kuat.
Sayangnya memasuki bagian dimana Yanik dan Samihi beranjak dewasa, segala esensi tersebut tak mampu dipertahankan. Pergantian aktor-aktrisnya terasa miscasting, Andiana Suri terlihat lebih dewasa dibandingkan Riman Jayadi atau Andre Julian. Namun penyebab utama ada di naskah dimana karakter Samihi dibiarkan berlakon sendiri dengan segudang prestasi selancarnya. Sedangkan Yanik dan Syamimi ditinggalkan berdua untuk membangun romansa tanpa jalinan chemistry yang hangat. Bukankah inti kisah ini adalah persahabatan Yanik dan Samihi sejak kecil?
Banyak hal mendasar dibiarkan mengambang tanpa tujuan atau penjelasan. Tidak dibahas apakah sosok pedofil bernama Andrew itu menerima penghakimannya atau tidak. Tidak diperlihatkan adegan eksplisit yang dapat menuntun penonton memahami trauma mendalam pada Yanik. Bagaimana ibu Yanik dapat bertahan hidup selama itu? Atau figur Lukman Sardi yang seakan timbul tenggelam setelah rela membotaki kepalanya itu? Namun yang paling mengganggu adalah keputusan Yanik untuk “melaut” di penghujung film tanpa alasan yang masuk akal justru di saat ia memiliki opsi lain yang lebih baik.
Tanpa mengurangi rasa hormat bagi penggagasnya yang tampak masih mencari bentuk teknis terbaik, Rumah Di Seribu Ombak mungkin sebaiknya ditutup saja tepat setelah satu jam bergulir. Biarlah persahabatan lugu nan majemuk antara Samihi-Yanik-Syamimi kecil terbingkai indah dalam kepolosan dan kesahajaan yang memikat. Tak lantas diteruskan ke dalam mozaik ambigu penuh kejanggalan yang merusak tatanan intisari dan pesan moral yang sedari awal dibebatkan dengan cermat. Bukankah cinta seharusnya menguatkan, bukan melemahkan?
Durasi:
107 menit
Overall:
7.5 out of 10
Movie-meter: