Tuesday, 15 January 2013

MIKA : Roman Apik Di Atas Pengabaian Modernisasi

Quote:
Indi: Aku percaya karena Mika bilang begitu.

Nice-to-know: 

Film yang diproduksi oleh IFI dan First Media ini gala premierenya diadakan di Epicentrum XXI pada tanggal 15 Desember 2012 yang lalu.

Cast: 
Vino G Bastian sebagai Mika
Velove Vexia sebagai Indi
Dallas Pratama
Iszur Mochtarsebagai Ayah Indi
Donna Harunsebagai Mama Indi
George Timothy sebagai Gerry
Henny Zulyani sebagai Mama Mika
Framly Nainggolan sebagai Fred

Director: 
Merupakan film kesembilan bagi Lasya Fauzia Susatyo setelah terakhir omnibus Kita Versus Korupsi (2012) yang tidak rilis di bioskop.

W For Words:
HIV AIDS merupakan penyakit yang menjadi momok paling menakutkan di belahan dunia manapun selama beberapa dekade terakhir dikarenakan belum ada penawarnya. Bukan hanya itu, film ini juga bertutur mengenai skoliosis yaitu kelainan pada rangka tubuh berupa kelengkungan tulang belakang yang dialami oleh penulisnya sendiri, Indi. Ya, drama roman yang diproduseri oleh Adiyanto Sumarjono ini merupakan adaptasi dari novel best seller terbitan tahun 2009, Waktu Aku Sama Mika. Penggantian judul yang dipersingkat justru baru dilakukan menjelang rilis filmnya.

Duduk di bangku SMP, Indi didiagnosa mengidap skoliosis hingga wajib mengenakan besi penyangga tubuh selama 23 jam setiap hari. Tak hanya itu, Indi juga seringkali diolok-olok karena dianggap aneh. Kekesalan itu dibawa sampai berlibur ke Jakarta hingga tanpa sengaja berkenalan dengan Mika yang ekstrovert. Sejak awal Mika sudah berterus terang kalau dirinya mengidap HIV AIDS. Namun Indi tak menjauh meski keluarganya menentang hubungan itu. Kedekatan keduanya justru saling mengisi dan melupakan sejenak penderitaan yang tengah dialami. 

Skrip yang ditulis oleh Indra Herlambang dan Mira Santika ini terbilang setia dengan novelnya. Hanya saja terdapat sebuah fakta yang sangat mengganggu, Mika digambarkan sebagai ODHA tapi masih menjalankan aktifitas sehari-hari layaknya pengidap HIV positif saja. Memang terdapat perbedaan mendasar yang bisa jadi belum diketahui orang banyak. Selama ini sayapun cuma tahu garis besarnya saja. Namun asumsi tersebut juga diperkuat oleh rekan movie reviewer yang juga seorang dokter di Medan, Daniel Irawan yang kerap mempertanyakan sisi medik dalam perfilman nasional.

Vino tampil sebagaimana biasanya yakni cool, bawel, cuek, eksentrik. Kondisi kesehatan Mika yang terus merosot dilakoninya untuk membangun empati. Velove memperlihatkan akting yang menarik sebagai Indi yang rapuh dan pendiam walau sebenarnya kuat dan periang. Keduanya berbagi chemistry secara kuat untuk saling mendukung. Penampilan sebagai remaja belasan tahun pun terbilang meyakinkan meski usia sungguhan mereka sudah tidak muda lagi. Kemunculan Donna Haron, Iszur Mochtar dan lain-lain hanya sebagai pelengkap belaka.

Sutradara Lasja menunjukkan upaya terbaiknya untuk membuat drama ini believable. Narasi yang dilakukannya terbilang smooth dari awal sampai akhir sehingga penonton dapat terhanyut dalam rangkaian kejadian yang disuguhkan. Satu yang cukup mengganggu buat saya adalah gangguan dari Dallas Pratama menjelang paruh terakhir yang seperti out of nowhere lengkap dengan musik cadas yang mengiringinya. Selebihnya presentasi dengan sinematografi cantik nan sederhana ini terbilang nyaman di mata dan enak diikuti.

Keapikan Mika sebagai sebuah film memang tercoreng dari fakta medis yang sudah saya sebutkan di atas. Belum lagi ketidaktahuan para tokohnya mengenai HIV AIDS bahkan yang paling dasar sekalipun membuat latar waktu yang diambil seakan mundur ke tahun 1990an. Sekarang sudah tahun 2013 dimana arus informasi sudah begitu mudah diakses baik di kota besar maupun kecil. Apabila ada makna yang bisa anda ambil adalah kekuatan besar untuk mau berubah, dari tidak bisa menjadi bisa. Kekuatan itu bernama cinta. As simple as that!

Durasi: 
101 menit

Overall: 
7 out of 10

Movie-meter: