Quote:
Kita berjuang demi tanah ini dari kerakusan Dapunta.
Nice-to-know:
Film yang diproduksi oleh Putaar Production dan Pemda Sumatra Selatan ini gala premierenya diadakan di Epicentrum XXI pada tanggal 9 Desember 2012 yang lalu.
Kita berjuang demi tanah ini dari kerakusan Dapunta.
Nice-to-know:
Film yang diproduksi oleh Putaar Production dan Pemda Sumatra Selatan ini gala premierenya diadakan di Epicentrum XXI pada tanggal 9 Desember 2012 yang lalu.
Cast:
Agus Kuncoro sebagai Awang Kencana
Sahrul Gunawan sebagai Purnama Kelana
Julia Perez sebagai Malini
Agus Kuncoro sebagai Awang Kencana
Sahrul Gunawan sebagai Purnama Kelana
Julia Perez sebagai Malini
Slamet Rahardjo sebagai Dapunta Hyang Mahawangsa
Hafsary Thanial Dinoto sebagai Endang Wangi
Mathias Muchus sebagai Ki Goblek
Oim Ibrahim sebagai Pati Duta
Jajang C Noer sebagai Ratu Kalimanyang
Director:
Merupakan karya ketujuh yang ditulis dan disutradarai Hanung Bramantyo setelah terakhir Sang Pencerah (2010).
Hafsary Thanial Dinoto sebagai Endang Wangi
Mathias Muchus sebagai Ki Goblek
Oim Ibrahim sebagai Pati Duta
Jajang C Noer sebagai Ratu Kalimanyang
Director:
Merupakan karya ketujuh yang ditulis dan disutradarai Hanung Bramantyo setelah terakhir Sang Pencerah (2010).
W For Words:
Saya sudah lupa kapan terakhir ada sebuah film kolosal nasional dengan latar belakang sejarah daerah. Yang ada di ingatan cuma Saur Sepuh I-V (1987-1992) dan Tutur Tinular I-IV (1989-1992) dimana hanya bisa saya saksikan via televisi. Acungan jempol pantas diberikan pada Hanung Bramantyo atas inovasi dan keberaniannya mengerjakan proyek semacam ini tentunya dengan dukungan penuh dari Pemerintah Daerah Sumatra Selatan sehingga pemakaian Sriwijaya sebagai latar belakang setidaknya dapat ’disahkan’
Abad 16, Kedatuan Bukit Jerai adalah kerajaan kecil yang dipimpin Dapunta Hyang Mahawangsa dengan permaisuri Ratu Kalimanyang. Dua putranya, Awang Kencana dan Purnama Kelana memiliki karakter yang bertolak belakang. Saat Dapunta menunjuk Purnama yang mengandalkan intelektualitas sebagai penggantinya, Awang yang pandai bertarung marah bukan kepalang. Purnama difitnah membunuh Dapunta dan masuk penjara sebelum dinyatakan tewas saat pelariannya. Adalah Malini, puteri Ki Goblek pemimpin perampok yang membantu Purnama kembali dan menuntut balas pada Awang yang telah diangkat menjadi raja baru.
Jangan salah kaprah, film ini murni fiksi fantasi, jadi tidak perlu mengaitkan dengan fakta yang ada. Hanung yang menulis skripnya sendiri tak pernah menjelaskan tempat dan waktu kejadian. Penonton diajak menjadi pengamat sebuah perebutan kekuasaan yang lazim terjadi di masa apapun juga. Sayangnya durasi 138 menit mungkin terlampau panjang untuk sebuah feature film yang sebagian besar dihabiskan untuk pengenalan multi karakternya mulai dari yang agak penting hingga yang paling krusial demi membangun satu intrik tarik menarik yang mampu menjerat perhatian penonton.
Hanung sebagai sutradara juga begitu jeli memperhatikan setiap detail production value mulai dari set lokasi, tata kostum, tata rias, artistik sehingga terlihat meyakinkan. Penggunaan dialek Palembang terbilang konsisten di sepanjang film meski tak semuanya dilengkapi teks bahasa Indonesia baku. Akting para pemainnya pun berhasil ia poles sedemikian rupa sampai merasa nyaman meskipun harus menggunakan kostum yang tidak sesederhana kelihatannya tersebut. Memang sejak awal kabar mengenai film ini bergulir, banyak pihak yang mempertanyakan pemilhan casts nya.
Saya yakinkan pada anda bahwa penunjukan Julia Perez tidak salah pilih. Ia bermain total sebagai Malini yang heroinesejati. Kesan seksinya masih tertinggal walau kerap tertutup rias. Menarik melihat wanita-wanita (gending) lain yang berani memperjuangkan martabat sekaligus kebenaran melalui ilmu kanuragan tingkat tinggi. Agus Kuncoro berhasil membawakan sosok antagonis Awang Kencana yang begitu memancing emosi terutama di paruh terakhir film. Sebaliknya Sahrul Gunawan tampak begitu lugu dan innocence sebagai Purnama Kelana yang santun dan lemah lembut.
Gending Sriwijaya adalah babak lain dalam catatan prestasi seorang Hanung Bramantyo dalam kancah perfilman Indonesia. Intrik perang saudara, pengkhianatan, balas dendam, kebangkitan ditampilkan begitu hidup dalam jalinan kisah yang mudah diikuti. Adegan laga berikut koreografinya juga dieksploitasi dengan memikat. Memang sedikit tercoreng faktor historis yang sedikit terabaikan, tetapi keseriusan Hanung dalam penggarapannya jelas lebih pantas diapresiasi dibanding puluhan sinetron sejenis yang mengisi jam tayang utama stasiun televisi swasta kita selama bertahun-tahun.
Durasi:
138 menit
138 menit
Overall:
7.5 out of 10
7.5 out of 10
Movie-meter: