Tuesday 30 November 2010

SUSAH JAGA KEPERAWANAN DI JAKARTA : Realita Gadis Kampung Menjual Diri Di Ibukota

Storyline:
Primadona Desa Kandang Jago, Srinthil bermimpi bisa menjadi bintang film dan hidup berkecukupan di kota besar. Dua sahabatnya sejak kecil yaitu Kunil dan Centini hanya bisa mendengarkan sambil turut membayangkan. Demi menghindari perjodohan orangtuanya, ketiga dara tersebut nekad lari ke Jakarta dengan uang pas-pasan. Kesulitan mencari tempat tinggal yang sewanya sesuai dengan bujet, mereka akhirnya terdampar di sebuah motel yang seringkali dijadikan transaksi seks singkat. Disitulah Srinthil bertemu teman lamanya yang juga seorang pekerja seks. Lewat Jiun sang pekerja di motel tersebut, ketiganya nekad mencoba menjadi PSK sambil tetap berusaha mempertahankan kehormatan mereka. Beruntung banci setiakawan bernama Bertha mau membantu untuk mendandani Srinthil, Kunil dan Centini serta membantu “memuaskan” klien-klien ketiganya. Akankah kebohongan dan pertaruhan yang mereka jalani akan dibayar mahal kelak?

Nice-to-know:
Diproduksi oleh Sentra Film dan gala premierenya diadakan di Epicentrum XXI pada tanggal 29 November 2010 yang lalu.

Cast:
Masayu Anastasia sebagai Srinthil
Aulia Sarah sebagai Centini
Sarah Rizkya sebagai Kunil
Rifky Balweel sebagai Jiun
Indra Birowo sebagai Bertha
Tessy Srimulat

Director:
Merupakan film pertama Joko Nugroho yang perilisannya tertunda nyaris 2 tahun!

Comment:
Saya merasa film ini seperti produk tambal sulam. Pergantian rumah produksi dan guntingan sensor LSF bisa jadi menjadi penyebab utamanya. Sejujurnya saya sempat tertarik pada konsep Urbanisexy beberapa tahun lalu dan saya merasa judul tersebut lebih tepat dengan isi film secara keseluruhan. Plot cerita sebetulnya biasa saja mengenai trio gadis kampung yang nekad mengadu nasib di Jakarta dan akhirnya berlabuh sebagai wanita-wanita penghibur. Yang membedakan adalah mereka masih berusaha mempertahankan keperawanan masing-masing dan itu sukses! Terima kasih pada Indra yang bermain sangat “total” sebagai Bertha dengan berbagai macam wig dan kostum yang sangat “tampil”! Sebagian dari anda bisa jadi jengah melihat aksi Indra yang semakin lebay seiring bertambahnya durasi film ini.
Masayu, Aulia dan Sarah berusaha menyajikan akting semaksimal mungkin. Namun diantara ketiganya, Masayu lah yang paling luwes dengan bahasa tubuh dan ekspresinya yang juara itu. Sayangnya kedangkalan karakterisasi mereka tak bisa dipungkiri karena sepanjang film kita hanya disajikan polah tingkah Srinthil, Kunil dan Centini yang tiada habisnya menerima pelanggan dan kemudian berlari-lari keluar kamar. Lagi dan lagi.. Sempat membuat saya berpikir untuk menyalakan counter tetapi setelah dipikir-pikir rasanya lebih baik memejamkan mata sejenak
Sutradara Joko selaku masinis terkesan kesulitan menjaga keretanya tetap berada di jalur yang benar. Alhasil sepanjang perjalanan melenceng sana-sini, sempat tersasar pula karena berpindah jalur hingga pada akhirnya sampai juga di stasiun setelah kehilangan beberapa muatannya. Itulah yang terjadi pada Susahnya Jaga Keperawanan Di Jakarta. Anda hanya dapat menikmatinya sekitar 30 menit pertama saja, selebihnya anda boleh memilih untuk turun dari kereta daripada mengalami pusing kepala, gangguan penglihatan atau pendengaran akut akibat visualisasi yang melelahkan dan tata musik yang berlebihan.
Kesalahan akan kualitas akhir di bawah standar ini mungkin pantas dialamatkan pada perombakan skrip sebelum akhirnya dirilis juga. Membuat film ini seperti kebingungan menentukan identitasnya sendiri, apakah komedi hitam, drama realita, atau apapun itu namanya, anda sendiri yang boleh menentukan!

Durasi:
80 menit

Overall:
6.5 out of 10

Movie-meter:
6-sampah!
6.5-jelek ah
7-rada parah
7.5-standar aja
8-lumayan nih
8.5-bagus kok
9-luar biasa

Monday 29 November 2010

HISSS : Perjalanan Balas Dendam Wanita Ular

Tagline:
She's sexy... venomous... and she'll swallow you whole...

Storyline:
Diangkat dari mitos negeri Timur Jauh dimana ular betina diyakini mampu bertransformasi menjadi manusia dan mengejar para penculik pasangannya.

Nice-to-know:
Irrfan Khan menggantikan Amitabh Bachchan untuk peran utama pria disini.

Cast:
Irrfan Khan
Mallika Sherawat sebagai Nagin
Jeff Doucette sebagai George States
Divya Dutta

Director:
Jennifer Chambers Lynch merupakan putri dari sutradara David Lynch dan pelukis Peggy Lynch yang bercerai sejak usianya masih 6 tahun.

Comment:
Benang merah cerita film ini rasanya sudah berkali-kali diangkat sebelumnya terutama dari daratan Asia, sebut saja Thailand ataupun China. Namun dengan citarasa India, saya mengharapkan sesuatu yang berbeda disini. Dan terbukti penggarapannya sedikit di luar kebiasaan Bollywood tetapi lebih bernuansakan Hollywood. Sayangnya tidak dibarengi bujet yang memadai sehingga visual efeknya terasa kurang menjual.
Plotnya seharusnya setia dengan penceritaan mitos/legenda yang beredar di masyarakat, tetapi sutradara Lynch malah percaya dengan horor/thriller sederhana beralur linier. Alhasil film ini hanya menarik di bagian prolog nya saja tetapi memasuki pertengahan hingga bagian ending semakin kehilangan fokusnya. Skrip yang ditulis oleh Lynch juga sama buruknya karena hanya berusaha mengejutkan dan membuat para penonton jijik melihat scene-scene "berdarah" yang sejujurnya masih kurang power.
Pemilihan Mallika terbilang tepat karena tubuh seksinya benar-benar menjual terutama saat transformasi ular ke wanita ataupun sebaliknya. Sayang hal ini lagi-lagi dicoreng dengan spesial efek yang tidak meyakinkan plus adegan making love bersama ular yang pointless. Sedangkan Irrfan harus diakui masih cukup berkharisma sebagai police officer tetapi dialog-dialog yang terlontar dari mulutnya terasa klise dan tidak berisi samasekali. Apalagi ia satu-satunya tokoh sentral yang mampu "berbicara" disini dan berbagi scene dengan beberapa aktor pendukung lainnya seperti si antagonis Doucette yang tidak rasional itu.
Ending ditutup dengan menggelikan saat dua orang yang berduka dengan kehilangannya masing-masing membuat saya bertanya-tanya film apa yang baru saja saya saksikan. Poin minus pula, kemolekan tubuh Mallika yang menjadi komoditi utama film ini justru disensor habis-habisan. Hisss bukanlah film yang sangat buruk tetapi cukup aneh untuk dinikmati secara rasional karena akan meninggalkan banyak pertanyaan di benak anda selepas menontonnya.

Durasi:
95 menit

U.K. Box Office:
£8,519 till end of Oct 2010.

Overall:
6.5 out of 10

Movie-meter:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent

It happened one night (Jagte Raho)

It takes guts to invest your bucks in a film like Jagte Raho. But then, Raj Kapoor was no ordinary artiste. He always tread a unique path, with a vision that stood out from the hoi polloi. I'm sure when he decided to produce this Shambhu Mitra and Amit Mitra directorial venture, he knew he was hitting the right cinematic button. A film that has no lead pair, no romantic angle, no formulaic story,

War Stories - Intro

For the next two weeks we're going to be discussing three movies that tell war stories. By “war stories” in this case we mean what are typically called home front movies. I think that the term home front usually implies a lack of conflict or danger. During World War II, most home fronts around the world were in a very great deal of danger, except for the United States. Our conflict was internal.

Without wanting to be too pedantic about it, I’d like to emphasize that The War (one senses when a member of that generation speaks about it, it’s always in capital letters), was more than setting or timeframe in these films; it was another character, like The Fates proclaimed by an ominous Greek chorus back in the days of Aeschylus. One railed against it, plotted to deceive it, tried to escape it, but in the end, The War determined everyone’s fate.

A typical “war movie” that shows battle is its own milieu. There are many fine battle films we can cover at some time in the future. But battles, however dramatically staged, are still staged. I believe the home front movies are the “war movies” that really show with a degree of reality what The War did to define that era.

Hollywood’s interesting conundrum was to address The War through an industry that was largely devoted to fantasy and entertainment. Far from looked upon as good material from which producers could prospect for stories (too much political tightrope walking, too great a risk for offending the public), nevertheless Hollywood was forced to acknowledge the elephant in the room. But the movies interpreted The War on its own terms: the war as melodrama, the war as romance, the war as comedy.

This blog, because it examines old movies within the context of the times in which they were filmed, shovels around a lot of history, which I know may be off-putting for some old movie buffs who just want to reminisce about favorite films or actors. But, I think without the history background, a good chunk of the pleasure of watching old movies, i.e., really understanding context, is lost. Many plots and conflicts transcend time. Many just don’t, and to appreciate them we need to bend their way rather than require they conform to our modern understanding.

Imagine sitting down to eat a pizza, everything on it you like.

Now imagine you have no taste buds.

If you eat it, you’ll still get all the calories. You won’t feel hungry anymore.

But you will have tasted nothing. It will be like eating the box it came in.

Watching an old movie without “getting it”, is like eating a pizza when you have no taste buds.

Understanding the background is what puts the color in a black and white movie.

Almost every line of dialogue, every costume or set piece in any old movie you’ve seen was for calculated effect. This is especially poignant when we watch “war stories”.

These three films for the next three posts are: “Mrs. Miniver” (1942), “The More the Merrier” (1943), and finally “Love Letters” (1945).

“Mrs. Miniver” starts our home front experience in England in the early days of World War II. The United States was not involved in the war at the time of the setting of this movie or even when filming began. Yet by the time the movie was shot and in the can, we were at war. It is famously and repeatedly referred to as propaganda, though in another post we discussed that this label is not entirely fair or accurate. We'll get a little more into that on Thursday.

The next movie, “The More the Merrier”, finds us in Washington, D.C. during the middle of the war. This film is a romantic comedy, but it shows some enlightening aspects of wartime tension, and entertaining scenes of sexual tension.

We see a decidedly different skew on home front patriotism in this movie. Where “Mrs. Miniver” gives us a certain stiff upper lip British pluck, “The More the Merrier” shows a more quintessentially American attitude that was evidenced during World War II. It's not exactly laid-back, and it is certainly just as patriotic, but there's a more chip on the shoulder attitude. We get repeatedly, if subliminally, the message that strife is congenial and that real patriots don't whine. An attitude we might benefit from today.

Both attitudes, to some extent, were whistling in the dark.

The final movie, “Love Letters” takes us back to England in the later days of the war.


This is also a romantic movie, but it is not a comedy. It is a melodrama that involves amnesia, and mixed up identifies and murder all against the backdrop of that peculiar fatalistic weariness that happened at the close of the war when everyone was not so much looking not for victory, but for a little peace and quiet. These characters just want to go to sleep for a little while. And forget everything that happened.

So join us on Thursday for “Mrs. Miniver” and the other two movies following next week. You won't need to pack up your troubles in your old kit bag, but you will need to bring along your ration books, and your patience, and your empathy.

Sunday 28 November 2010

BABIES : Perjalanan Hidup Empat Bayi Empat Negara

Tagline:
Everybody loves...

Storyline:
Mari lihat bersama perjalanan selama setahun dari kehidupan empat bayi dari seluruh dunia yang diwakili oleh Mongolia, Namibia, San Francisco hingga Tokyo.

Nice-to-know:
Diproduksi oleh Canal+, Chez Wam, Studio Canal dan berlokasi syuting di Mongolia, Namibia, USA dan Jepang.

Cast:
Bayarjargal
Hattie
Mari
Ponijao

Director:
Merupakan film dokumenter keenam bagi Thomas Balmès yang diawali dari Waiting For Jesus (2000).

Comment:
Prolog film dibuka dengan pengenalan empat bayi yang baru lahir di berbagai negara dengan nama-nama yang unik. Sutradara Balmes kemudian membagi keempatnya dalam empat frame yang menampilkan keunikan tersendiri sesuai dengan latar belakang yang berbeda-beda yang lebih banyak dipengaruhi oleh perbedaan kultur ataupun demografi setempat.
Ya, dengan gaya dokumenter, film ini bergulir nyaris tanpa dialog samasekali. Kalaupun ada juga dengan bahasa asing tanpa terjemahan apapun. Sehingga benar-benar yang diandalkan adalah bahasa gambar yang berbicara. Namun rasanya itu sudah cukup bagi audiens untuk dapat mengerti dan menangkap semua maksud yang ingin disampaikan film yang ide awalnya muncul dari Alain Chabat ini.
Niscaya anda akan tersenyum melihat bayi-bayi itu berwajah tanpa dosa, gemas menyimak mereka bertingkah laku, geli mengamati mereka berusaha berinteraksi, geregetan menyaksikan mereka bisa memakan atau meminum apapun. Semua itu akan membuat anda yang sudah memiliki anak untuk bernostalgia kembali, atau yang baru akan mempunyai anak untuk berkaca.
Sedangkan bagi yang belum menikah mungkin berpikir akan repotnya beranak-pinak kelak atau sebaliknya semakin bersemangat untuk mengalami pengalaman-pengalaman itu sendiri yang tidak akan terbayar oleh uang. Apapun itu anda sendiri pasti pernah berada pada fase kehidupan yang satu itu. Jika lupa, coba tanyakan orangtua anda masing-masing dan buka kembali album kenangan keluarga :)

Durasi:
75 menit

U.S. Box Office:
$7,291,384 till early Jul 2010.

Overall:
7 out of 10

Movie-meter:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent

Black sheep (Aap ki Parchhaiyan)

Running a family calls for a wee bit of diplomacy, they say. And, how true that is. For, when a man gets married, his equation with his parents and siblings undergoes a sea change. He now has a partner, who he is responsible for. The onus is on him to initiate her into the ways of his house, make her comfortable and help her become one with the family. This girl has left her beloved parents and

Saturday 27 November 2010

UNSTOPPABLE : Misi Menghentikan Kereta Tanpa Masinis

Quotes:
Frank: This ain't training. In training they just give you an F. Out here you get killed.

Storyline:
Sang masinis ceroboh Dewey meninggalkan keretanya selagi berusaha menarik rem sendirian. Sayang usahanya untuk kembali ke kereta sudah terlambat karena kecepatannya. Kejadian ini menarik perhatian Connie, pengawas jalur KA yang berusaha meminimalisir resiko terlebih setelah mengetahui bahwa sebagian gerbong tersebut mengangkut muatan kimia yang berbahaya dan mudah terbakar. Sayangnya usahanya tidak disetujui oleh sang pimpinan Galvin yang tetap yakin mampu mengatasinya. Di lain kesempatan, tandem engineer senior-junior Frank dan Will tengah berargumen mengisi hari-hari mereka dengan permasalahan masing-masing. Kemudian keduanya berusaha melakukan usaha terbaiknya untuk menghentikan kereta sebelum menghancurkan kota kecil Stanton.

Nice-to-know:
Berdasarkan insiden sungguhan dimana pada tanggal 15 Mei 2001, 47 gerbong lokomotif meninggalkan Toledo, Ohio tanpa masinis hingga berhenti setelah berlari sejauh 66 mil dan melewati tiga negara bagian. Beruntung tidak ada korban dalam kejadian tersebut.

Cast:
Merupakan kerjasama kelimanya dengan sutradara Tony Scott yang diawali dalam Crimson Tide (1995), Denzel Washington bermain sebagai Frank yang menjalani hari-hari terakhirnya sebelum pensiun.
Mulai ternama di seantero dunia lewat peran Captain Kirk muda dalam Star Trek (2009), Chris Pine kebagian peran masinis muda bernama Will yang tengah bermasalah dengan rumah tangganya.
Rosario Dawson sebagai Connie
Ethan Suplee sebagai Dewey
Kevin Dunn sebagai Galvin

Director:
Bukan kebetulan jika Tony Scott terakhir kali menggarap thriller bersetting kereta juga yakni dalam The Taking of Pelham 1 2 3 (2009).

Comment:
Secara tidak langsung, film ini akan mengingatkan anda pada The Taking Of Pelham 123 yang merupakan proyek remake tahun lalu. Menampilkan kinerja Washington dan Travolta yang diarahkan oleh Scott memang cukup mengecewakan disana, apalagi dibandingkan dengan versi originalnya. Namun buang jauh-jauh pesimisme anda terhadap film ini jika film yang saya sebutkan pertama menjadi acuannya. Meski sama-sama bersetting di kereta tetapi jauh berbeda hasilnya, sebab utamanya karena ini adalah action movie, not a crime thriller.
Penulis Mark Bomback menghasilkan skrip dengan premis yang sederhana dan sangat mendasar bahkan tanpa tokoh antagonis sekalipun. Yang ada hanyalah heroisme Frank yang senior dan Will yang junior. Keduanya dibawakan dengan sangat baik oleh Washington dan Pine. Chemistrynya terasa wajar dikarenakan mereka sama-sama memiliki jiwa kemanusiaan yang tinggi meski hanya sebagai manusia biasa. Belum lagi konflik pro-kontra Dawson dan Dunn yang cukup menggigit dimana masing-masing berusaha mempertahankan idealisme dan rasionalitas tersendiri.
Sutradara Scott memang sedikit melambat di awal dengan dramatisasi klise yang menyertai pengenalan para karakternya. Namun memasuki pertengahan hingga akhir, tensi film semakin meningkat apalagi situasi mencekam yang diciptakannya terasa sangat dekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Menggunakan kereta sungguhan, jalur KA yang riil sehingga kecepatannya membelah angin dengan decitan pergantian jalur seakan membawa kita berada di tengahnya.
Cukup menyenangkan melihat Unstoppable hadir sebagai tontonan action murni tanpa unsur 3D ataupun efek CGI yang berlebihan yang sudah semakin membombardir industri film Hollywood belakangan ini. Jalan cerita yang mudah diikuti berpadu cantik dengan sinematografi memukau yang menampilkan full adegan outdoor di Pennsylvania. Ini jelas bukan film kelas penghargaan pretensius tetapi sangat menyenangkan untuk mengisi waktu luang anda terutama bagi pecinta film aksi yang mengandalkan kepahlawanan orang-orang biasa yang banyak kita temui di sepanjang jalan.

Durasi:
95 menit

U.S. Box Office:
$41,867,769 till mid Nov 2010.

Overall:
7.5 out of 10

Movie-meter:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent

Friday 26 November 2010

HANTU TANAH KUSIR : Komedi Seksi Dendam dan Hutang Menagih Balas

Storyline:
Sepeninggal suaminya Bang Samiun, Mpok Rohaye mewariskan delman kesayangannya pada Jupri yang masih terhitung adik iparnya. Namun karena harus bersaing dengan para penarik delman lainnya, Jupri menuruti saran sahabatnya Kirno untuk meminta berkah ke kuburan. Jupri pun bernazar dan seketika delmannya ramai dicari para penumpang. Pada suatu ketika, Odong datang ke rumah Mpok Rohaye untuk menitipkan Pauleen, turis Jepang yang sedang bertugas membuat artikel mengenai kendaraan tradisional di Indonesia. Jupri dan Odong pun berebut mendapat perhatian dari Pauleen yang cantik dan seksi itu. Sementara itu Hantu Tanah Kusir yang juga bernama Siti mulai datang menagih janji sekaligus membalaskan dendamnya yang lama tersimpan.

Nice-to-know:
Diproduksi oleh Maxima Pictures dan press screeningnya diselenggarakan di fX pada tanggal 24 November 2010 yang lalu.

Cast:
Maria Ozawa sebagai Pauleen
Zaky Zimah sebagai Jupri
Rheina Maryana sebagai Rohaye
Yadi Sembako sebagai Odong
Eva Asmarini sebagai Siti
Benu Buloe sebagai Kirno

Director:
Baru saja menggarap drama komedi Lihat Boleh Pegang Jangan untuk konsumsi Lebaran yang lalu kali ini Findo Purwono HW menggarap salah satu urban legend Jakarta yang cukup termasyur ini.

Comment:
Saya bisa mengerti jika Maria Ozawa masih merasa berhutang pada Maxima Pictures atas "minimnya" porsinya dalam Menculik Miyabi padahal bayarannya full untuk 1 film. Bukan apa-apa tetapi karena dicekal FPI sehingga urung tampil. Namun kali ini sutradara Findo menggunakan strategi jitu yaitu diam-diam mengimpor Ozawa untuk syuting dan mencantumkan nama palsu Pauleen pada poster dan credit titlenya. Nice efforts!
Penulis cerita Abbe AC dirasa cukup pintar melakukan mixing urban legend dengan horor komedi yang kental, tentunya tak lupa beberapa sexy scenes yang sangat menjual sehingga jadilah film yang cukup menghibur ini. Setidaknya itu yang saya rasakan saat menontonnya.
Kolaborasi pertama Zaky dengan Yadi cs sangat jempolan dalam mengocok perut para penonton. Masing-masing dari mereka menampilkan kekhasan yang unik tanpa ada kesan saling bersaing mencuri scene. Zaky terkenal dengan celetukan-celetukannya sedangkan Yadi dengan gaya bicaranya yang diayun-ayun di penghujung kalimat. Ozawa disini tidak sampai "kelewatan" dalam buka berbuka, justru saya merasa ia sangat manis dengan senyum dikulum dan usahanya untuk berbahasa Indonesia sepatah dua patah kata seperti pengucapan "nasi uduk", "sambal" dsb dengan dialek yang lucu. Rheina "Ipeh" tidak terlalu banyak tampil dibandingkan dengan Eva yang dominan dengan kebaya dan kerudung putih sebagai sais hantu berwajah ayu. Hiii...
Mengenai isi filmnya sendiri saya merasa tidak ada yang salah, tidak perlu ada yang dibuat kontroversial. Hantu Tanah Kusir adalah pure komedi yang fresh dengan banyolan-banyolan yang tercipta dari berbagai situasi. Plus horor ringan walau kadang cukup berhasil mendirikan bulu kuduk, sosok Siti sepintas mengingatkan pada mendiang Suzanna yang seringkali menggoda tukang jualan keliling (disini nasi goreng yang dimainkan cameo oleh Mario Maulana), duduk di boncengan (disini sepeda dan delman) ataupun mencopot kepalanya tiba-tiba. Seperti yang sudah saya katakan, unsur horor dan komedi itu dibalut dengan pesona seorang Miyabi yang bisa dibuat teriak juga menyaksikan pocong dan hantu di hadapannya. Bisa jadi karena berbeda dari sosok Sadako yang biasa dikenalnya? Coba tanyakan sendiri padanya!
Sayang beribu sayang, bermacam-macam elemen horor yang ditawarkan disini tidak orisinil. Banyak sekali pengulangan dari horor lokal ataupun mancanegara. Bagi anda para penikmat genre ini pasti dengan mudah bisa menebak referensi apa saja yang saya maksud. Apa lagi endingnya yang jelas-jelas dipaksakan dan sangat-sangat tidak baru. Belum lagi posternya yang sepintas cool artwork tapi ternyata banyak diilhami dari poster luar. Hal ini secara tidak langsung mengurangi nilai film secara keseluruhan yang sebetulnya kualitasnya masih di atas judul-judul serupa keluaran Maxima yang dibintangi Dewi Perssik. Cukup di angka 7 saja!

Durasi:
80 menit

Overall:
7 out of 10

Movie-meter:
6-sampah!
6.5-jelek ah
7-rada parah
7.5-standar aja
8-lumayan nih
8.5-bagus kok
9-luar biasa

Thursday 25 November 2010

PENGANTIN SUNAT : Kala "Kejantanan" Menjadi Ukuran Kebodohan

Storyline:
Sejak kecil Japra minder pada lingkungannya karena memiliki ukuran alat vital yang teramat sangat kecil sehingga dukun sunatnya pun menyerah. Japra hanya ditemani sahabat setianya Bini yang berkelamin perempuan tapi bertingkah sebagai laki-laki. 20 tahun kemudian, Kampung Pasir dihebohkan dengan kehadiran Srimpi, gadis cantik yang berkenalan dengan Japra terlebih dahulu dan menjadi dekat. Kontan saja hal ini menimbulkan kecemburuan warga terutama Sukri, Marwan dan Juhi. Padahal mereka bertiga memiliki masalah lemah syahwat sehingga selalu tertindas oleh istri masing-masing Lela, Jum dan Tiwi. Namun cinta Japra dan Srimpi tidak bisa dibendung walau dicemburui juga oleh Bini. Pernikahan mereka terancam bermasalah karena Japra belum disunat. Akankah Japra mampu menunjukkan kejantanan yang seharusnya diwarisi dari ayahnya yang "legendaris" itu?

Nice-to-know:
Diproduksi oleh Rapi Films dan press screeningnya diselenggarakan di fX pada tanggal 16 November 2010 yang lalu.

Cast:
Aming sebagai Japra
Dara "The Virgin" sebagai Srimpi
Mita "The Virgin" sebagai Bini
Gary Iskak sebagai Marwan
Marwoto sebagai Sukri
Daus 'OB' sebagai Juhi

Director:
Baru saja menggarap drama romantis yang dibintangi Tora Sudiro dan Artika Sari Devi, Rako Prijanto kembali dengan genre komedi lewat film ini.

Comment:
Sejak awal, saya tidak berharap samasekali dengan film ini. Maafkan jika saya tidak jujur karena sesungguhnya saya memang berharap setidaknya tidak akan terlalu dikecewakan. Namun apa yang terjadi? Film ini membawa saya keluar dari Bumi untuk sesaat dan menempatkan saya di planet yang bernama MORON, mewakili orang-orang yang menghuninya.
Entah apa yang berusaha disampaikan. Masalah kejantanan baik sebagai kata sifat maupun kata obyek menjadi fokus yang tidak berkesudahan sepanjang film. Pertama sebagai obyek adalah SUNAT! Prolog film dibuka dengan penjelasan mengenai pentingnya prosesi sunat itu sendiri bagi seorang lelaki. Epilog juga membahas keharusan menjalani sunat sebelum memasuki pernikahan. Memang ada relevansinya tetapi tidak perlu terlalu gamblang.
Kedua sebagai sifat adalah NAFSU! Ini lebih menjijikkan lagi karena kaum ADAM dan kaum HAWA di planet MORON ini seakan tidak punya akal sehat samasekali. Kaum ADAM terobsesi membuktikan kejantanan mereka bukan terhadap muhrimnya masing-masing tetapi justru kepada gadis pendatang baru di desa mereka yang juga tidak jelas asal usulnya darimana, bidadari dari langitkah? (Tunggu dulu, pertanyaannya apakah di planet MORON memiliki langit?) Sedangkan kaum HAWA terobsesi mendapatkan ‎​‎​​‎​‎​​seks hebat yang tidak bisa didapat dari pasangan-pasangan mereka yang "loyo". Seakan ini belum cukup dangkal malah semakin diperparah dengan beberapa adegan nudis (disensor tentunya) dan dilengkapi dengan suara ‎​‎​crot (anda akan mengerti jika menontonnya) para lelaki tersebut setiap kali berniat mesum. Sungguh mengganggu!
Rako oh Rako, nampaknya ini adalah eksperimental komedi humor yang gagal yang sudah anda lakukan. Saya merasa kasihan pada dua personil The Virgin yang memulai debutnya dengan peran seperti ini. Aming tampil seperti biasanya, peran ini rasanya memang diperuntukkan Rako baginya sejak awal. Aktor langganan sang sutradara yaitu Gary, mohon kenakan baju anda kembali secara lengkap dan tolong jangan berpikir untuk melakukannya lagi lain kali.
Sekali lagi saya mohon ampun andaikata penggunaan kata-kata yang vulgar pada review saya kali ini. Namun itulah kenyataannya, Pengantin Sunat memang sevulgar itu tapi kosong melompong tanpa isi sama sekali. Sukses mendegradasi intelejensi saya dengan polah tingkah para makhluk planet MORON tersebut. Ibarat Tong Pecah Kosong, Melempem Bunyinya sehingga tinggal ditendang saja ke dalam TPS alias Tempat Pembuangan Sampah.

Durasi:
80 menit

Overall:
6 out of 10

Movie-meter:
6-sampah!
6.5-jelek ah
7-rada parah
7.5-standar aja
8-lumayan nih
8.5-bagus kok
9-luar biasa

The original HAHK (Nadiya ke Paar)

The first thing that hit me in Govind Moonis's Nadiya ke Paar is how real everything looks. The village setting, the costumes, the rustic characters, the incidents and most importantly, the dialect. This original of the Madhuri Dixit-Salman Khan starrer Hum Aapke Hain Kaun, is absolutely fascinating in its simplicity and narration. Its characters are real, they talk as if they are the characters

Strong ties (Dosti)

Seldom have I seen a film that stands strong just because of the engaging series of events. It does not have a stellar cast, it has no romance as its core element, it has no dashing hero, no pretty heroine and no slimy rogue. But still, it just keeps you hooked. The melodrama and some unnecessary plot elements notwithstanding, as well as some irrational behaviour. Dosti, Satyen Bose's tearjerker

Happy Thanksgiving


On this day of Thanksgiving here in the U.S., may I wish the peace and benevolence of the season to you all.  And a big nyuk, nyuk, nyuk.

Wednesday 24 November 2010

THE PRESENCE : Kehadiran Sosok Hantu Hitam Putih

Storyline:
Seorang wanita memutuskan tinggal di pondok terpencil di tengah hutan untuk lari dari trauma masa lalu dan hubungan cinta yang membelenggunya. Hari-hari sendiri sang wanita dilalui dengan berjalan-jalan di hutan tanpa mengetahui ada sosok tak berwujud yang mengawasinya dari jauh yang ingin memilikinya. Konflik dimulai saat kekasih sang wanita tersebut datang dan berusaha memenangkan hatinya kembali dengan melamarnya. Namun sang wanita masih bimbang untuk menerimanya. Tanpa mereka ketahui, sesosok hantu jahat mulai mengganggu mereka. Berhasilkah sang wanita mempertahankan kewarasannya untuk membuat keputusan terbaik dalam hidupnya?

Nice-to-know:
Diproduksi oleh Khartoum, Flatland Pictures, Saturn Harvest Films dan didistribusikan oleh Ram Indo untuk peredaran di Blitzmegaplex.

Cast:
Tahun lalu muncul dalam 2 film yaitu Leningrad dan Like Dandelion Dust, kali ini Mira Sorvino sebagai Wanita yang hidup menyendiri dalam sebuah pondok di tengah hutan.
Shane West sebagai Hantu
Justin Kirk sebagai Pria
Tony Curran sebagai The Man In Black
Muse Watson sebagai Mr. Browman
Deobia Oparei sebagai Woodsman

Director:
Debut penulisan sekaligus penyutradaraan pertama bagi Tom Provost.

Comment:
Jika anda pecinta horor klasik tahun 70-80an, anda perlu menyaksikan yang satu ini! Suasana sepi di tengah hutan di sebuah rumah pondok yang gelap, hanya bermandikan cahaya lampu minyak yang ditenteng kesana kemari. Dan anda bayangkan seorang wanita yang hidup seorang diri disana tanpa menyadari kehadiran makhluk kasat mata di sekitarnya. Merinding? Sudah seharusnya.
Namun The Presence bukanlah horor biasa jaman sekarang melainkan cenderung disebut horor klasik. Terbukti dari sinematografinya yang terbentang luas di daerah Oregon dengan musik latar yang mengagumkan dalam membangun suasana mencekam bergaya Alfred Hitchcock. Kinerja maksimal dari sutradara Provost yang sebetulnya masih sangat tidak berpengalaman ini. Pengadeganan yang lambat dan runut menjelaskan scene per scene. Anda akan dilanda kebosanan yang luar biasa pada separuh pertama durasinya. Percakapan yang terjadi pertama kali adalah tepat 13 menit setelah film dimulai, saya memang memperhatikan jam terus menerus menantikan interaksi pertamanya.
Saya merindukan Sorvino yang dulu sempat rajin bermain film tapi menghilang belakangan. Lumayan konsisten menjalankan perannya sebagai wanita labil yang trauma dengan kehancuran rumah tangga orangtuanya berdampak pada pandangannya tentang konsep cinta dan pernikahan itu sendiri. West sendiri nyaris tanpa dialog di sepanjang film selain berdiri mematung dengan muka pucatnya, mungkin hanya dua-tiga baris menjelang epilognya baru ia membuka suara. Kirk bermain cukup baik sebagai pria yang mencintai sang wanita terus berusaha meyakinkannya akan arti sebuah hubungan yang tidak semprna tetapi berharga untuk dicoba.
The Presence menghadirkan kisah hantu yang tidak biasa, dibalut dengan misteri, romantisme, kerapuhan sekaligus kengerian yang bisa membuat pikiran anda melayang-layang terutama bagian endingnya yang menutup layar secara eksplisit. Jelas bukan film bagi anda yang menyukai horor yang giat meneror. Namun pilihan tepat bagi anda para pecinta seni film yang solid dari sisi teknisnya.

Durasi:
90 menit

Overall:
7 out of 10

Movie-meter:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent

Tuesday 23 November 2010

THE GAMER : Chaosnya Dunia Virtual Masa Depan

Quotes:
Ken Castle-I think it... you-fucking-do-it!
Kable-Look at this knife... imagine me sticking it into your gut. Think about it. Make it real!

Storyline:
Berkisah mengenai kehidupan di masa depan yang futuristik dimana orang dapat mengontrol/dikontrol orang lain seperti dalam video game. Untuk itu dituntut untuk dapat bertahan hidup daripada mati konyol sia-sia. Adalah satu pria yang harus menyelesaikan 30 pertarungan mematikan untuk selamat yang bernama Kable. Sudah 27 pertarungan ia lewati dengan mulus. Namun hal itu tidak membahagiakan sang pencipta, Ken Castle yang menginginkan Kable mati dengan menyewa berbagai pembunuh professional untuk menghentikannya. Akankah Kable berhasil lolos dan membuat perhitungan dengan Ken sekaligus berkumpul kembali dengan istrinya?

Nice-to-know:
Neveldine/Taylor sempat menginginkan film ini muncul dalam format 3D tetapi batal karena keterbatasan biaya.

Cast:
Awal kemunculannya di tahun 1997 sempat mendukung 007-Tomorrow Never Dies, Gerard Butler kini berperan sebagai Kable / John Tillman yang harus menyelesaikan "misi" besarnya.
Mengawali debutnya via Paycheck (2003), Michael C. Hall disini bermain antagonis sebagai Ken Castle
Amber Valletta sebagai Angie
Kyra Sedgwick sebagai Gina Parker Smith
Logan Lerman sebagai Simon Silverton

Director:
Sejauh ini merupakan film ketiga yang ditulis dan disutradarai oleh Mark Neveldine dan Brian Taylor setelah dwilogi Crank.

Comment:
Cukup sulit mengambil sudut pandang untuk menilai film ini. Jika anda tergolong penonton spesifik alias bisa menerima ide-ide baru, bisa jadi film ini spesial maknanya. Tapi jika anda tergolong penonton regular alias tidak neko-neko, dapat dipastikan film ini akan membuat kening anda berkerut.
Nyaris setahun lalu sempat heboh saat akan ditayangkan di jaringan bioskop Blitzmegaplex dengan judul aslinya The Gamer. Namun beberapa hari menjelang penayangannya ternyata dibatalkan dengan alasan tidak lulus sensor. Memasuki akhir tahun 2010, akhirnya diambil oleh jaringan bioskop 21 dan mengalami pergantian judul menjadi Slayers. Itulah yang membuat saya penasaran dan berharap ada sesuatu yang baru nan istimewa disini. Coba kita kupas satu persatu.
Dari segi plot cerita mungkin sedikit mengingatkan anda pada Surrogates nya Bruce Willis. Perbedaannya disini digunakan manusia asli yang juga punya kehidupan masing-masing. Sedikit inovasi disini, konsep “pengendalian” tersebut digabungkan dengan dunia virtual game dimana settingnya sendiri pun jauh ke depan.
Dari segi eksekusi, duet sutradara Neveldine/Taylor mengulangi apa yang pernah dilakukannya dalam Crank 2 : High Voltage. Pergerakan kamera yang bergoyang-goyang ditambah adegan aksi tanpa henti benar-benar mengganggu penglihatan dan daya tangkap manusia biasa. Jika saja ada jeda diantaranya dengan penggarapan yang lebih rapi, niscaya hasil akhirnya akan lebih menarik. Alur yang dipaksakan cepat dan sedikit melambat di akhir sedikit menutupi karakterisasi para tokohnya termasuk Butler dan Leguizamo yang biasanya gemilang. Sedangkan C. Hall sebagai antagonis sedikit over-the-top meski kesan menyebalkannya dapat.
Beberapa konsep seks virtual disini cukup mengganggu seperti contohnya pria gendut "Rick Rape" yang menyewa wanita penghibur untuk menjadi pemuas nafsunya. Saya tidak melihat ada korelasi dengan bangunan cerita utamanya. Dan jujur yang satu ini agak menjijikkan untuk ditampilkan demikian eksplisit. Beruntung kekerasan dan kesadisan dihadirkan dengan porsi yang pas tanpa lupa percikan darah yang memuncrat dimana-mana.
Slayers alias The Gamer sebetulnya mempunyai potensi sebagai futuristic action thriller yang baik, hanya saja diterjemahkan ke dalam sinematografi yang terkesan sembarangan dan bagaikan tanpa otak di dalamnya. Jelas bukan film yang bisa dinikmati siapa saja. Namun bagi saya, masih terdapat lebih banyak unsur minus dibandingkan plus itu sendiri. Konsep dunia virtual yang chaos disini semoga tidak menginspirasi pihak-pihak tertentu untuk mewujudkannya ke dunia nyata di masa mendatang.

Durasi:
90 menit

U.S. Box Office:
$20,488,579 till early Oct 2009.

Overall:
6.5 out of 10

Movie-meter:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent

Monday 22 November 2010

THE CRAZIES : Senjata Biologis Hancurkan Peradaban Kegilaan

Quotes:
Becca Darling-This is really happening...
Judy Dutton-It's gonna be alright, we're gonna be ok.
Becca Darling-You don't really believe that, do you?

Storyline:
Di Pierce County, Iowa, Sheriff David terpaksa membunuh penduduk lokal Rory Hamill yang mengancam keselamatan warga saat membawa senapan di tengah-tengah pertandingan baseball. Istrinya Dr. Judy memeriksa penduduk lainnya, Bill Farnum yang juga memiliki perilaku ganjil. Di tengah malam, Bill menyekap istri dan anaknya di dalam kamar dan membakar seluruh rumah sampai habis. Paginya, David dan wakilnya Russell Clank dipanggil oleh tiga pemburu yang menemukan pilot yang tewas di Hopman Bog dengan senjata kimia biologis di pesawatnya yang mencemari air seisi kota. Tak lama kemudian, angkatan militer berdatangan dan melakukan evakuasi dengan membunuh setiap populasi di Ogden Marsh. Berhasilkah David, Russell, Judy dan asistennya, Becca melarikan diri tanpa terkontaminasi?

Nice-to-know:
Setiap aktor yang bertransformasi menjadi “crazie" harus duduk untuk menjalani proses make up selama 3 jam!

Cast:
Tahun lalu tampil dalam 2 film sekaligus yaitu A Perfect Getaway dan High Life, Timothy Olyphant berperan sebagai David Dutton, sheriff yang berusaha mengambil langkah terbaik di setiap kondisi terburuk yang dihadapinya sekalipun.
Mengawali karirnya sebagai Pixie Robinson dalam serial televisi Sugar and Spice di tahun 1988, Radha Mitchell kali ini bermain sebagai Judy Dutten, dokter sekaligus istri sheriff yang berupaya mencari tahu asal usul orang menjadi “gila” mendadak.
Joe Anderson sebagai Russell Clank
Danielle Panabaker sebagai Becca Darling
Christie Lynn Smith sebagai Deardra Farnum
Brett Rickaby sebagai Bill Farnum
Preston Bailey sebagai Nicholas

Director:
Breck Eisner pernah menyutradarai Sahara (2005) yang dibintangi Penelope Cruz dan Steve Zahn.

Comment:
Merupakan remake dari horor klasik karya George Romero di tahun 1973. Salah satu yang menginspirasi banyaknya bermunculan film-film bertemakan zombie yang mengkontaminasi orang-orang di sekitarnya selama satu dekade terakhir. Sebut saja 28 Days Later yang cukup berkualitas. Lantas apa yang bisa diharapkan dari film ini?
Sutradara Eisner boleh dibilang masih setia dengan formula klasiknya, hanya saja ia bermain dengan tempo cepat disini sehingga seringkali meninggalkan penonton tanpa berpikir terlebih dahulu. Banyaknya adegan aksi yang muncul satu persatu sedikit menutupi kelemahan plot yang sebetulnya tidak istimewa itu. Sinematografi yang dihadirkannya tergolong sederhana tapi tetap mendukung suasana ketegangan yang juga dibangun dari score musik latarnya yang demikian maksimal.
Olyphant dan Mitchell merupakan aktor-aktris papan tengah Hollywood yang seringkali terlupakan. Namun keduanya bermain kuat disini sebagai suami istri yang mencoba bertahan hidup sambil berusaha mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi sekaligus menyelamatkan apa yang tersisa dari kota yang mereka cintai itu. Anderson sebagai Russell turut melengkapi karakter David dan Judy dengan penjiwaan yang meyakinkan, lihat saat “kegilaan” mulai menyergapnya di klimaks cerita
Yang saya sukai dari The Crazies adalah film ini tidak terlalu memfokuskan pada zombie dan perilaku kegilaannya yang destruktif, melainkan bagaimana orang-orang biasa itu berusaha bertahan hidup di tengah situasi yang sangat tidak menguntungkan. Meski ketiganya merupakan tokoh sentral Ogden Marsh - sheriff, wakil sheriff dan dokter - toh mereka bukan pahlawan super yang mampu mengendalikan segala kondisi yang tidak dapat diduga. Namun bukan berarti tidak ada adegan sadis yang membuat anda bergidik karena beberapa scene dijamin membuat anda terpekik sambil tetap terjaga di kursi sepanjang film berjalan. Secara keseluruhan menyajikan perpaduan emosi campur aduk manusia dengan penyelamatan diri yang tak berujung sehingga muncullah satu remake horor berkualitas yang sudah sangat jarang kasusnya.

Durasi:
90 menit

U.S. Box Office:
$39,103,378 till mid May 2010.

Overall:
8 out of 10

Movie-meter:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent

Thanksgiving 101

For those of us in the U.S. about to celebrate Thanksgiving, we here at Another Old Movie Blog would like to help make your holiday preparations more successful. Last Thanksgiving was long time ago, and you’ve probably forgotten a lot about what to do.

Here is an informational film from our good friends at Instructional Films, Inc. to help you create the perfect feast and a most pleasant holiday. It was made in 1950. Take notes.

(Remember to scroll down to the bottom of the page and mute the music so you can hear the video.)

Sunday 21 November 2010

REYKJAVIK WHALE WATCHING MASSACRE : Terasing Dan Terjebak Di Kapal Pembantaian

Tagline:
Hunting humans in the cold Icelandic waters.

Storyline:
Sekelompok turis asing dari berbagai negara yaitu Jepang, Amerika, Perancis menikmati perjalanan menonton paus di Iceland. Sayangnya di tengah perjalanan, perahu mereka rusak dan harus diangkut oleh kapal penangkap laut sampai daratan. Perbedaan bahasa antara satu sama lain membuat munculnya konflik kultural. Di sisi lain keluarga pemilik kapal penangkap paus tersebut rupanya punya rencana lain bagi para penumpang dadakan tersebut. Sebuah mimpi buruk pun dimulai, bertahan hidup atau mati mengenaskan!

Nice-to-know:
Gunnar Hansen memerankan Kapten Pétur tetapi setelah paska produksi suaranya didubbing.

Cast:
Pihla Viitala sebagai Annette
Nae sebagai Endo
Terence Anderson sebagai Leon
Miranda Hennessy sebagai Marie-Anne
Aymen Hamdouchi sebagai Jean Francois
Carlos Takeshi sebagai Nobuyoshi
Miwa Yanagizawa sebagai Yuko
Halldóra Geirharðsdóttir sebagai Helga
Snorri Engilbertsson sebagai Anton
Gunnar Hansen sebagai Captain Pétur

Director:
Júlíus Kemp pertama kali menggarap film lewat Wallpaper: An Erotic Love Story (1992). Kali ini adalah karya ketiganya.

Comment:
Saya menyaksikan film ini pada iNAFF10 dan sold out hanya beberapa hari setelah pre-opening tickets sale. Sebuah pertanda yang baik? Mungkin saja. Apalagi film ini memperlihatkan poster klasik dengan nuansa merah hitam putih sekaligus menjual nama Gunnar Hansen yang terkenal lewat The Texas Chainsaw Massacre tetapi kita akan melihatnya disini sebagai pria biasa.
Thriller ini mengambil setting di Reyjavik, di atas sebuah kapal penangkap paus yang terombang-ambing di lautan beku tertutup lapisan es. Aha, lagi-lagi sebuah film Skandinavia yang mengambil unsur es ataupun salju sebagai latar belakangnya. Mudah diduga!
Beruntung plot ceritanya cukup orisinil terutama lebih karena cast internasional yang dihadirkannya lengkap dengan bahasanya masing-masing. Kita akan melihat keluarga Jepang yaitu suami istri dan putrinya. Juga ada pria Perancis yang congkak dan senang mabuk. Lalu ada tiga wanita Amerika yang sombong dan sinis. Belum lagi pria kulit hitam yang mendampingi dua gadis Kaukasia yang awalnya tidak saling mengenal. Kesemuanya berganti-ganti memandu layar sehingga kerapkali penonton bingung akan siapa yang sebenarnya menjadi fokus utama? Atau boleh juga memunculkan pertanyaan klise dalam film sejenis, siapa yang bertahan hidup pada akhirnya? Tentunya anda boleh menebak-nebak sejak menit pertama bergulir.
Reykjavik Whale Watching Massacre seakan setia pada pakem slasher thriller jaman dulu, lengkap dengan berbagai unsur black humor di dalamnya. Sutradara Kemp cukup konsisten melakukan tugasnya sehingga film ini mudah dinikmati dan kebanyakan audiens tidak akan bisa menebak caranya mengakhiri film ini. Sayang sekali Blitzmegaplex tidak melengkapinya dengan teks Indonesia, terlebih karena bermacam-macam bahasa yang dipakai, sedikit mengganggu penonton dalam menangkap isi keseluruhan. Namun beberapa adegan sadis dengan cipratan darah rasanya akan cukup memuaskan pecinta genre ini.

Durasi:
90 menit

Overall:
7 out of 10

Movie-meter:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent

Saturday 20 November 2010

HARRY POTTER AND THE DEATHLY HALLOWS PART I : Pencarian Horcrux Ungkap Rahasia Terkuat

Quotes:
Harry Potter-What do you know about the Deathly Hallows?
Mr. Ollivander-It is rumored there are three. To possess them all is to make oneself immortal. But few truly believe such objects exist. If it's true, you really don't stand a chance.

Storyline:
Kekuatan Voldermort semakin besar karena berhasil menguasai the Ministry of Magic dan Hogwarts. Harry, Ron dan Hermione bertekad melanjutkan usaha Dumbledore dan mencari Horcrux yang tersisa untuk dihancurkan sekaligus mengalahkan Voldermort. The Order tiba dan memerintahkan Harry untuk pindah dari Privet Drive. Satu-satunya cara ditempuh yaitu memberikan Polyjuice Potion untuk menciptakan kembaran-kembaran Harry sehingga membingungkan kawanan Death Eaters. Rencana tersebut berhasil walau harus mengorbankan beberapa kawan Harry. Kemudian Minister of Magic yaitu Rufus Scrimgeour menitipkan surat wasiat terakhir dari Dumbledore yang mewariskan Deluminator bagi Ron, copy buku "The Tales of the Beetle the Bard" buat Hermione dan bola Snitch pertama yang Harry tangkap dalam permainan Quidditch serta pedang Gryffindor yang hilang untuk Harry. Ketiganya sepakat melakukan perjalanan untuk mencari jawaban sekaligus menghindari kekuatan hitam yang diutus untuk menghalangi mereka.

Nice-to-know:
Dua pembatalan besar terjadi sebelum rilis filmnya yaitu durasi yang terlalu panjang sehingga dibagi dua bagian dan juga konversi ke 3D dari rencana semula.

Cast:
Daniel Radcliffe sebagai Harry Potter
Emma Watson sebagai Hermione Granger
Rupert Grint sebagai Ron Weasley
Bill Nighy sebagai Rufus Scrimgeour
Ralph Fiennes sebagai Lord Voldemort
Helena Bonham Carter sebagai Bellatrix Lestrange
Fiona Shaw sebagai Petunia Dursley
Alan Rickman sebagai Professor Severus Snape
Jason Isaacs sebagai Lucius Malfoy
Rhys Ifans sebagai Xenophilius Lovegood
Toby Jones mengisi suara Dobby

Director:
Tidak banyak yang tahu David Yates memulai karir penyutradaraannya lewat beberapa film pendek yang berujung pada film layar lebar pertamanya yaitu The Tichborne Claimant di tahun 1998.

Comment:
Harus diakui sisi gelap film ini sudah ditekankan sejak kemunculan logo Warner Bros yang membuka film, lalu dilanjutkan dengan tone warna yang dominan abu-abu dan biru gelap, belum lagi musik garapan John Williams yang kaya getaran nada-nada rendah. Beruntung saja semuanya itu dipercayakan pada tangan yang tepat yaitu sutradara Yates yang kali ini berusaha mengeksplorasi ketiga karakternya dengan kedalaman yang lebih dari prekuel-prekuelnya.
Yates memenuhi keinginan JK Rowling untuk menampilkan sisi lain dari persahabatan Harry-Ron-Hermione yaitu kedewasaan tanpa harus terkesan klise. Tentu saja, sebab 10 tahun berlalu dari awal petualangan mereka telah banyak terjadi suka duka yang mengubah persepsi masing-masing terhadap satu sama lainnya. Bagaimana komunikasi-komunikasi yang terjalin di antara ketiganya dihadirkan dalam kondisi serealistis mungkin, tak jarang terjadi jeda yang hanya diisi dengan sikap diam dan mimik penuh arti.
Tentu saja (seperti biasa) alurnya berjalan lambat, mungkin sedikit lebih lambat dari yang sudah-sudah. Walaupun beberapa adegan aksi cukup "membangunkan" anda terutama adegan di Dartfor Tunnel. Berbagai karakter di luar trio tersebut juga turut memperkuat cerita semisal karakter baru Rufus Scrimgeour, Xenophilius Lovegood, Gellert Grindelwald dsb. Belum lagi konsistensi karakter lama Bellatrix Lestrange, Lucius Malfoy dll. Jangan lupakan kemunculan Dobby yang sangat saya rindukan di penghujung cerita. Singkat tetapi sangat berarti!
Tak dipungkiri Radcliffe dan Watson menunjukkan perkembangan akting yang positif dengan kematangan mereka memerankan sosok Harry dan Hermione. Grint yang sedikit di bawah radar dibandingkan kedua rekannya itu tetap harus diacungi jempol dalam menokohkan Ron yang gegabah sambil sesekali menghadirkan tawa akibat tingkah lugunya itu. Hubungan ketiganya menjadi porsi yang utama dimana kecemburuan yang terjadi terkadang menghalangi kerjasama yang terjalin di antara mereka.
Harry Potter and the Deathly Hallows Part I ini dibalut dalam sinematografi yang brilian dan spesial efek yang bekerja dengan maksimal pada tempatnya masing-masing. Konstruksi cerita yang rapi dengan eksekusi skrip yang gemilang di luar Hogward seperti biasanya menjadikan Part II nya patut ditunggu bagi para pecinta Harry Potter pada musim panas tahun depan. Jadi bersabarlah. Ohya, sekadar catatan kecil, adegan awal yang menghadirkan 8 sosok Harry Potter secara 360 derajat cukup membangun sisi humor sekaligus rasa kagum. Awesome!

Durasi:
145 menit

U.S. Box Office:
$61,000,000 in opening week end of Nov 2010.

Overall:
7.5 out of 10

Movie-meter:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent

Friday 19 November 2010

PENGAKUAN SEORANG PELACUR : Perjalanan Transformasi Alisa Menjadi Jenny

Storyline:
Berpacaran cukup lama dengan Bayu di desa, Alisa tak kunjung dinikahi dengan alasan belum mapan. Betapa sakitnya Alisa yang sudah menyerahkan segala-galanya ketika mendapati Bayu kembali dari kota dengan membawa tunangannya setelah bertahun-tahun merantau. Demi melupakan semuanya, Alisa pergi ke Jakarta dan menumpang tinggal di rumah Rachel, teman kecilnya. Kemudian Alisa berkenalan dengan Chiko, pemuda jalanan yang bersahabat. Namun diam-diam Chiko malah memanfaatkan Alisa dengan mencekokinya obat tidur dan menjualnya ke om-om hidung belang. Putus asa dan harus menyambung hidup, Alisa mengganti namanya menjadi Jenny dan menjadi pelacur. Setelah itu ia berkenalan dengan Michael, pengusaha kaya yang tulus mencintainya. Akankah Jenny mau membuka hatinya kembali dan jujur pada Michael akan siapa dirinya sebenarnya?

Nice-to-know:
Diproduksi oleh MM Creations dan diproduseri oleh Sagar M.M.

Cast:
Jenny Cortez sebagai Alisa / Jenny
Andi Soraya sebagai Rachel
Andreano Phillips sebagai Michael
Kanz Randhawa sebagai Chiko
Rian Emanuel sebagai Bayu
Gita Prisilfia
Kissinger Mae
Ayu Yohana
Tata Liem

Director:
Andrew Timothy.

Comment:
Heran dengan duet penulis Cherryl Samantha dan Andi Lim mendapat ide dari mana untuk menulis cerita film ini? Novel-novel stensilan kah? Atau film-film akhir 80an dan awal 90an yang marak bertemakan seks? Mungkin hanya mereka yang bisa menjawabnya. Yang pasti formula expired tersebut diperparah dengan kinerja sutradara Andrew Timothy yang mencampur adukkan dengan alur flashback. Sah-sah saja sebenarnya jika ada benang merah cerita yang jelas untuk melakukannya. Tapi tidak untuk menumpang tindih plot cerita dan tidak berdampak apapun pada gaya penceritaannya. Sadis!
Dari aroma pedesaan berpindah ke ibukota, saya cukup salut pada Jenny yang awalnya berdandan noni kampung hingga “bertransformasi” menjadi wanita penghibur bergaya modern. Konon syuting hari pertama film ini bertepatan juga dengan hari pertama bulan puasa yang lalu. Sadis! Jenny memang berhasil mempertontonkan keseksian tubuhnya tetapi tidak kemahirannya berakting. Ekspresi dan bahasa tubuhnya masih tergolong datar-datar saja sebagai perempuan yang tertindas dan bernasib malang. Bahkan ketegarannya yang harusnya memuncak di akhir film tidak terlihat samasekali.
Jangan lupakan “peran” Andi Soraya yang tidak menghadiri promosi film ini karena harus masuk bui. Lagi-lagi ia hanya sebagai pelengkap derita disini walau tak dipungkiri lebih “lumayan” dalam mendendangkan lagu temanya yang berjudul Terpisahkan. Lalu ada Andreano Phillip, kekasih Lia Trio Macan berkepala plontos ini rupanya “rajin” beradegan panas dalam film apapun yang ditawarkan kepadanya, terutama keluaran K2K yang tersohor sangat itu. Tidak penting lagi rasanya melihat perkembangan karir mantan juara Mr Internasional di tahun 2006 lalu itu jika bermain dalam film-film sejenis ini. Di luar ketiganya menjadi tidak penting lagi karena setelah satu dua scene syuting lalu menghilang ditelan bumi. Sadis!
Maafkan saya jika tulisan review kali ini lebih seperti tabloid gosip karena jujur saya bingung mau mengomentari apa karena filmnya benar-benar tidak penting. Anda menontonnya dalam 10-15 menit lantas akan bisa menebak akhir ceritanya. Istilah kata seperti mahasiswa mengerjakan soal ujian hanya sepertiga durasinya yang 90 menit. Lalu untuk menunggu teman-temannya apakah ia boleh tidur? Tentu saja. Bebas kok. Ini pula yang saya lakukan di dalam bioskop, tertidur di menit ke-20, terbangun melihat kanan kiri lalu menyimak cerita yang masih disitu-situ saja, tertidur kembali di menit ke-40 hingga tersentak menjelang akhirnya. Tepat sesuai prediksi! Dan saya tidak menyesal karena tertidur tersebut, toh saya masih tetap dapat menyelesaikan review ini dan menceritakan kepada anda betapa tidak berkualitasnya Pengakuan Seorang Pelacur yang ironisnya “dipaksa” bertarung dengan Harry Potter and the Deathly Hallows Part 1 di tanggal rilis yang sama. Sadis!
Tiga kata sadis rasanya cukup mewakili jika anda tetap memaksakan diri nonton film ini dan disengat rasa kebosanan yang menyiksa karena penyajian drama kategori dewasa yang cheesy dengan alur yang amat sangat lambat. Mohon maaf bagi tim pembuat film ini jika kebetulan membaca review saya ini tetapi cobalah untuk lebih kreatif lagi di lain kesempatan demi kemajuan film nasional kita bersama.

Durasi:
75 menit

Overall:
6.5 out of 10

Movie-meter:
6-sampah!
6.5-jelek ah
7-rada parah
7.5-standar aja
8-lumayan nih
8.5-bagus kok
9-luar biasa

Mysteriously forgettable (Baat Ek Raat Ki)

Sometimes the last 30 minutes of a film turns out so good that I'm ready to forgive the otherwise tedious rest. Especially when the twists are pretty sudden and one clever ploy by the director bolsters the climax up. The mundane script makes a somersault into the fast lane and you sit tight for the proceedings. Shankar Mukherjee's nondescript thriller Baat Ek Raat Ki is a film that falls in this

Thursday 18 November 2010

Roz Russell Leaves Her Mark


Rosalind Russell left her mark in cement at Grauman’s Chinese Theater, February 19, 1959. Above her name she wrote “Auntie Mame was here”, so even then perhaps she knew it would be her “signature” role. The movie “Auntie Mame” had been released about six or seven weeks before, in December 1958.

In this post we covered another honor for Roz, under much more harrowing circumstances that happened three years previously in her hometown of Waterbury, Connecticut. No cement then, just a lot of water over the bridge.

Wednesday 17 November 2010

DETOUR : Video Online Bertahan Hidup Dari Psikopat Sinting

Tagline:
Your final hour.. Streaming online

Storyline:
Konon film ini diinspirasi dari kisah nyata! Saat mengendarai mobil kembali ke Norwegia, pasangan yang berencana menikah yaitu Martin dan Lina harus menghadapi jalan yang ditutup. Polisi patrol meminta mereka mengambil jalan pintas lain menuju hutan yang sepi dan gelap. Malang tak dapat dipungkiri, ban mobil mereka bocor setelah menerjang balok paku. Martin pun mencari bantuan dari penduduk lokal dan meninggalkan Lina di dalam mobil. Mereka berdua tidak menyadari adanya kamera-kamera yang dipasang di setiap sudut untuk mengamati gerak-gerik mereka. Akankah pasangan ini akan menjadi korban berikutnya dari sang psikopat yang mengintai dari kejauhan?

Nice-to-know:
Thriller berjudul asli Snarveien ini diputar dalam rangkaian festival WILHELM SCREAM yang sejenis dengan iNAFFF.

Cast:
Marte Christensen sebagai Lina
Sondre Krogtoft Larsen sebagai Martin
Jens Hultén sebagai Gunar
Johan Hedenberg sebagai Bosse
Malin King sebagai Lotta

Director:
Merupakan film perdana Severin Eskeland yang berusia 33 tahun ini setelah sebelumnya menggarap beberapa film pendek.

Comment:
Selama beberapa tahun terakhir ini, saya cukup mengenal Norwegia sebagai negara Eropa baru pencetak film horor/thriller yang cukup berkualitas. Lihat saja iNAFFF yang sudah berjalan 4 tahun selalu saja dihiasi karya-karyanya sebut saja Villmark ataupun dwilogi Fritt Vilt alias Cold Prey yang mencekam itu.
Dengan berpuluh-puluh tema yang sudah pernah digarap sebelumnya, lantas apa yang akan disuguhkan Detour? Rupanya kekejian “seorang” psikopat yang mendapat bayaran dengan menyiksa korban-korbannya dan menyiarkannya secara online kali ini dianggap cukup menarik. Hm, rasanya tidak terlalu orisinil karena banyak terdapat penggabungan plot dari film-film aksi ataupun thriller Hollywood sebelumnya.
Bedanya mungkin film ini diangkat dari kisah nyata, itu sebabnya banyak menghadirkan situasi sehari-hari yang seringkali dihadapi kita dan hal yang terburuk memang mungkin saja terjadi. Beberapa adegan sadis ditampilkan oleh sutradara Eskeland dengan teknik dan angle yang cukup baik. Namun sayangnya ia terlalu lama mengekspos yang satu itu sehingga para audiens menunggu dengan tidak sabar sampai dua pertiga durasi film berlalu.
Ketika pada akhirnya, tensi meningkat menuju klimaksnya, sepertiga sisa durasi rasanya tidak cukup untuk menggambarkan semuanya. Keklisean juga terjadi disini saat Marte yang memerankan karakter Lina dengan lumayan baik ini mulai bertransformasi dari pihak yang tertindas lemah sampai memberikan perlawanan.
Endingnya rasanya sudah bisa anda tebak. Namun bagaimanapun juga Detour masih cukup menyenangkan untuk ditonton terutama bagi anda pecinta thriller yang setia mempertahankan elemen-elemen thriller tradisional tetapi selalu bekerja dengan baik untuk menakut-nakuti itu.

Durasi:
75 menit

Overall:
7 out of 10

Movie-meter:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent