Wednesday 30 June 2010

OBAMA ANAK MENTENG : Kilas Balik Masa Kecil Pembentuk Kepribadian

Cerita:
Lahir dari ibunya yang kulit putih dan ayahnya yang kulit hitam membuat Barry Obama memiliki latar belakang yang bervariasi. Pada usia 9 tahun, ia ikut ayah ibu angkatnya pindah ke Jakarta dan tinggal di Menteng. Barry kemudian bersahabat dengan anak sopir ayahnya, Slamet dan Yuniardi yang juga kakak beradik. Belum lagi ada pembantunya yang gemulai nan setia, Turdi yang selalu siap sedia menemani dan mengantarnya. Meskipun awalnya kesulitan beradaptasi, Barry menebusnya dengan kedisiplinan dalam mempelajari semua ilmu yang disodorkan padanya. Di sekolah, Barry juga bertemu dengan gadis cilik idamannya, Rebecca dan juga geng sok jago yang dipimpin Carut. Lantas apa yang dipelajari Barry disini yang mungkin saja menentukan pandangan masa depannya?

Nice-to-know:
Diproduksi oleh MVP Pictures dan gala premierenya dilangsungkan secara megah di fX pada tanggal 30 Juni 2010.

Cast:
Hasan Faruq Ali sebagai Barry
Cara Lachelle sebagai Rebecca
Yehuda Rumbindi sebagai Carut
Teuku Zacky sebagai Turdi

Director:
Kembalinya John de Rantau yang terakhir menggarap Denias : Senandung Di Atas Awan (2006) dan kali ini bekerjasama dengan Damien Dematra selaku penulis novelnya.

Comment:
Harus diakui ini merupakan salah satu proyek ambisius MVP Pictures yang berusaha sekuat tenaga mengumpulkan fakta-fakta minimalis dari masa kecil orang nomor satu Amerika Serikat tersebut yang sempat dihabiskan di Indonesia itu. Melalui berbagai riset, jadilah film ini yang rasanya masih sulit dikatakan semi-autobiografi, saya lebih suka menyebutkan terinspirasi dari kisah nyata. Mengambil lokasi syuting dari Cimahi hingga Kota Tua, suasana tahun 70an coba dihadirkan lewat pernak-pernik jaman dahulu dan penggunaan ejaan-ejaan lama. Dari segi cerita, berbagai potongan mozaik coba dirangkai mulai dari permainan pingpong dan catur, pembelajaran dini hari, perkelahian, persahabatan sejati dan berujung pada perpisahan yang pada akhirnya membawa kenangan tersendiri. Cukup? Masih kurang inspiratif menurut saya. Hasan membawakan karakter Barry kecil dengan datar walaupun tidak bisa disebut buruk. Interaksinya dengan tokoh-tokoh di sekitarnya masih kurang maksimal apalagi dengan pemeran ayahnya yang terasa miscasting. Sutradara de Rantau yang sempat berselisih dengan Dematra paska produksi film ini tidak mampu mengulangi keluguan dan kenaturalan Denias dalam film ini. Apalagi dialog-dialognya masih kurang tajam, kalau tidak mau dibilang agak mengganggu di nyaris sebagian besar scene yang diusungnya. Alhasil Obama Anak Menteng secara keseluruhan tidaklah memukau, hanya keseriusan penggarapannya saja yang patut diapresiasi.

Durasi:
105 menit

Overall:
7 out of 10

Movie-meter:
6-sampah!
6.5-jelek ah
7-rada parah
7.5-standar aja
8-lumayan nih
8.5-bagus kok
9-luar biasa

Tuesday 29 June 2010

CHLOE : Kecurigaan Istri Berbuntut Obsesif Kompulsif

Tagline:

If the one you love was lying to you, how far would you go to find out the truth?

Storyline:

Saat kecewa karena suaminya David ketinggalan pesawat untuk menghadiri acara ultah yang sudah disiapkan, Catherine mulai berpikir buruk. Akumulasi hubungan suami istri yang mulai mendingin membuatnya nekad menyewa jasa Chloe, gadis misterius yang sering wara-wiri dekat tempat prakteknya. Ketika Chloe mulai menceritakan interaksinya dengan David, Catherine menjadi cemburu dan semakin kehilangan kendali akan akal sehatnya. Benarkah perselingkuhan itu terjadi hingga rumah tangga pasutri Stewart harus berakhir?

Nice-to-know:

Saat proses syuting berjalan pada bulan Maret 2009, Liam Neeson sempat meninggalkan lokasi beberapa hari karena istrinya Natasha Richardson mengalami cedera otak akibat kecelakaan ski es. Pada akhirnya Richardson meninggal, Neeson pun dengan sukarela melepaskan kepergiannya dan kembali meneruskan perannya dalam 2 hari setelah filmmaker sepakat mengubah skripnya.

Cast:

1 dari 4 proyek film yang dikerjakannya di tahun 2009 termasuk A Single Man, Julianne Moore bermain sebagai Catherine Stewart

Baru saja mendukung remake Jennifer’s Body (2009), Amanda Seyfried berperan sebagai Chloe

Liam Neeson sebagai David Stewart

Max Thieriot sebagai Michael Stewart



Director:

Atom Egoyan mulai dikenal luas setelah meraih nominasi Oscar kategori Sutradara Terbaik lewat The Sweet Hereafter (1997).

Comment:

Dengan kumpulan berbagai premis film-film thriller erotis tahun 1990an terciptalah film yang skripnya ditulis oleh Erin Cressida Wilson ini. Sepasang suami istri yang kehidupan rumah tangganya mulai goyah ditambah dengan kehadiran wanita muda penggoda. Sounds such an old twist and turns memang, tapi untungnya berhasil diremajakan sedemikian rupa untuk sebuah citarasa baru yang tidak kalah fresh. Nicely done!

Saya harus katakan ini adalah filmnya Julianne Moore. Totalitas aktingnya patut diacungi jempol karena bersedia beradegan nudis hingga menjurus aksi seksual. Emosinya pun benar-benar terpancing natural baik saat berhadapan dengan Neeson, Seyfried, Thieriot ataupun figurnya sebagai dokter ginekolog sukses. Kerapuhannya dapat dimengerti oleh penonton yang mungkin pernah merasakan pengalaman pribadi serupa dengannya.

Bagaimana dengan Amanda Seyfried? Peran gadis baik-baik yang biasa dilakoninya berubah 180 derajat kali ini. Yang menarik kesan lugu yang terpancar dari mata bundarnya seakan mengartikan hal lain, sesuatu yang dirahasiakan sekaligus berbahaya. Kecantikannya pun sedikit berkesan dewasa dari cara berpakaiannya yang apik. Berhadapan dengan Moore setelah Streep jelas semakin memperkaya pengalaman aktrisnya di masa mendatang.

Sutradara Egoyan menghadirkan sinematografi modern yang nyaman di mata dengan penggunaan setting lokasi yang minimalis tetapi maksimal hasilnya. Berpadu apik dengan scoring musik dari Mychael Danna yang merambat lurus searah dengan elemen suspensi yang dituangkan. Perubahan yang dilakukan Egoyan terhadap akhir cerita menyesuaikan kabar dukacita yang menimpa Neeson menguatkan kepekaannya terhadap hubungan antar manusia itu sendiri

Chloe adalah sebuah drama thriller yang solid dan mampu mengikat penonton untuk terus mengikutinya sampai akhir. Endingnya mungkin masih dapat dikategorikan predictable tetapi tetap sebuah cara manis nan realistis untuk mengakhirinya demikian. Insting alamiah seorang manusia kadang lebih berbahaya apalagi jika diikuti dengan asumsi-asumsi tak berdasar yang menjurus pada tingkah laku responsif yang berlebihan. Berhati-hatilah!

Durasi:

95 menit



U
.S. Box Office:

$3,074,838 till July 2010

Overall:

7.5 out of 10

Movie-meter:



Monday 28 June 2010

ALPHA DOG : Jeratan Muda-Mudi Narkoba dan Seks Bebas

Quotes:
Angela Holden-So you're like... ransom.
Julie Beckley-That's hot.
Zack Mazursky-It's ok. Its like another story to tell my grandchildren
Julie Beckley-Stolen boy.

Storyline:
Penyaluran narkoba di San Gabriel Valley, California di akhir tahun 1990an dimana Johnny menjadi orang termuda dalam daftar orang yang paling dicari FBI. Di usia 20, Johnny Truelove adalah pemuda yang rumahnya menjadi tempat populer buat teman-temannya untuk memakai narkoba dan melakukan seks. Tetapi semua hal baik berakhir ketika salah satu penyalur Johnny, Jake Mazursky berhutang padanya sebesar $1,200. Saudara tiri Jack yang berusia 15 tahun, Zack diculik dan disandera untuk mendapatkan uang itu kembali.

Nice-to-know:
Terpilih sebagai film penutup Festival Film Sundance 2006.

Cast:
Johnny Truelove muda diperankan oleh Emile Hirsch yang sudah bermain di puluhan serial televisi sejak usia 11 tahun.
Sang ayah Sonny Truelove dimainkan oleh aktor senior, Bruce Willis.
Ketiga sahabat utama Johnny yaitu Tiko, Elvis dan Frankie masing-masing dihidupkan oleh Fernando Vargas, Shawn Hatosy dan Justin Timberlake.
Kakak beradik Mazursky dilakoni oleh Ben Foster dan Anton Yelchin.

Director:
Nick Cassavetes yang kelahiran New York terakhir membesut Gosling dan McAdams dalam The Notebook (2004).

Comment:
Epilog film diceritakan dengan gaya yang sangat mengganggu dimana audiens diperkenalkan oleh sekumpulan anak muda kulit putih yang berdialog dengan gaya musik rap kulit hitam ditambah dengan gaya urakan satu sama lain. Namun semakin bercerita, rasanya kita akan mulai terbiasa akan semua itu kalau tidak mau dibilang bersimpati pada karakter-karakternya yang terasa nyata di kehidupan sehari-hari tersebut. Dari semuanya, Timberlake di luar dugaan menampilkan akting paling cemerlang sehingga sesaat sesaat kita lupa ketenarannya sebagai vokalis R&B papan atas masa kini. Tokoh Frankie yang dibawakannya mendominasi screen dari setiap scene yang ditawarkannya dengan kharisma tersendiri. Yelchin juga terbilang sukses mewakili karakter anak manis yang terjebak dalam lingkungan keluarga yang tidak membuatnya nyaman. Selebihnya tidak terlalu menonjol kalau tidak mau dikatakan terlalu satu dimensi. Sayangnya sutradara Cassavetes nyatanya berusaha terlalu banyak dalam mengangkat kisah yang diinspirasi dari kejadian nyata ini sehingga penonton akan bingung sekaligus tidak nyaman sepanjang durasinya yang cukup panjang itu apalagi dijejali dengan ratusan kata-kata kasar nyaris di setiap dialognya. Alpha Dog memiliki potensi yang baik dengan mood depresi yang diusungnya, great film but not comfortable watching it.

Durasi:
110 menit

U.S. Box Office:
$15,229,325 till mid Feb 2007.

Overall:
7 out of 10

Movie-meter:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent

Independence Day Cartoons



This week we have a look at Independence Day as Hollywood saw it. We’ll get to Cary Grant on Thursday. Today, a few wildly different Independence Day images from animated cartoons.




“Bunker Hill Bunny” (1950) gives us Yosemite Sam as a Hessian fighting more for himself more than for King George III. This one shows us how Bugs Bunny won the Revolutionary War. Remember that for your SATs.





Here is Bugs again, this time doing his bit for the United States World War II effort, urging movie goers to buy bonds in “Any Bonds Today” (1942). He is the personification of Uncle Sam, with the famous image of the painting called “Spirit of ‘76” by Archibald MacNeal Willard behind him, as if they are backing him up. This was painted in 1875 to commemorate the Centennial of the American Revolution. I wonder how often this image has been used, or parodied and lampooned?



Here in “Patriotic Popeye” (1957), we have the much more sedate depiction of a peaceful 4th of July celebration with Popeye watering his flower garden grown in the pattern of the American flag. The conflict disrupting his bucolic scene is caused by his nephews, who want to light “atomic” fireworks.” He tries to take the danger out of the holiday and ends the adventure by blowing up red, white, and blue balloons for them. No brave patriots this time, just a desperate wish for a “safe and sane” holiday. Not a bad thought, but my, how tame we’d gotten by the 1950s.

Except maybe for the atomic sky rocket.

Sunday 27 June 2010

THE LEGEND IS BORN IP MAN : Asal Usul Tokoh Wing Chun Muda

Storyline:
Setelah kematian gurunya Chan Wah Shun di Foshan, Ip Man pergi ke Hongkong untuk belajar. Di sana ia diperkenalkan pada teori Wing Chun dari Leung Pik yang memberinya kemajuan besar. Ketika ia kembali ke Foshan, Ip Man jatuh cinta dengan putri wakil walikota Cheung Wing-shing tetapi ditentang oleh ayahnya. Sementara itu gaya Wing Chun ala Ip Man juga dikatakan menyimpang dari bentuk asalnya terutama dari saudaranya Ip Tin Chi. Bagaimana ia menghadapi semua tantangan ini dan menjadi salah satu guru kungfu paling dihormati sepanjang masa?

Nice-to-know:
Berjudul asli Ye Wen qianzhuan.

Cast:
Dennis To sebagai Ip man
Fan Siu-Wong sebagai Ip Tin Chi
Sammo Hung Kam-Bo sebagai Chan Wah-shun
Huang Yi sebagai Cheung Wing-shing

Director:
Herman Yau tahun lalu cukup mencuri perhatian dengan Turning Point (2009).

Comment:
Jika satu film sukses sudah dibuatkan sekuelnya yang ternyata sukses juga maka bisa dipastikan akan ada lagi kelanjutan yang biasanya prekuelnya. Tak terkecuali dengan film yang mengangkat biografi guru kungfu legendaris pemilik aliran Wing Chun ini. Ip Man pun dikisahkan sejak masa mudanya. Problemnya adalah Ip Man sudah kadung kondang dengan nama Donnie Yen sehingga secara teori akan sulit menjual film ini.
Penggantinya adalah Dennis To, sang juara martial arts terbaru Hongkong yang memerankan Ip Man remaja. Secara postur dan penampakan, Dennis dapat dikatakan Donnie muda. Mirip sekali. Terima kasih pada tim kostum dan make-up yang mendadaninya sedemikian rupa. Namun dari akting, Dennis belum terlalu menonjol. Beruntung koreografi kungfunya cukup meyakinkan sehingga tidak mengecewakan. Aktor senior Sammo Hung dan Yuen Biao nyatanya cuma tampil sebagai pemeran pendukung. Yang cukup dominan malah Fan Siu Wong yang cukup berkarakter sebagai Ip Tin Chi. Kredit patut diberikan pada penampilan khusus Ip Chun yang merupakan putra asli Ip Man.
Fighting scene yang biasanya menjadi jualan film Ip Man kali ini sedikit kendor. Kebanyakan Ip Man remaja hanya berlatih tanding ataupun belajar. Memasuki pertengahan menjelang akhir barulah ada lawan seimbang dari kubu gangster Jepang era perang Sino-Japanese, itupun sudah bisa ditebak kemana arahnya. Satu hal yang menarik adalah duel antara Sammo dan Yuen di awal film dimana mata keduanya sempat ditutup saat memeragakan Wing Chun. Menarik!
Beruntung skrip Erica Lee diterjemahkan cukup baik oleh sutradara kawakan Herman Yau. Dengan demikian aspek-aspek lemah film ini dapat sedikit tertutupi dengan kemasan yang cukup menarik dari sisi sinematografi yang menggambarkan era yang dahulu sekali. Dari segi emosional yang menggerakkan penonton, The Legend Is Born rasanya belum mampu menyaingi Ip Man 1-2.

Durasi:
100 menit

Overall:
7.5 out of 10

Movie-meter:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent

Saturday 26 June 2010

KNIGHT AND DAY : Tandem Dadakan Tuntaskan Misi Tak Terduga

Quotes:
June Havens-The pilots are dead!
Milner-Yeah, they've been shot.
June Havens-By who?
Milner-By me. No, actually, I shot the first pilot then he accidentally shot the second pilot. It's just one of those things.

Storyline:
Bertekad menghadiri pernikahan adiknya akhir pekan ini, June Havens tanpa sengaja bertemu Roy Miller di bandara. Perkenalan tersebut berlanjut di pesawat dan setelahnya. Lambat laun June mengetahui bahwa Roy adalah seorang agen rahasia cekatan yang tengah diburu dua pihak yang saling berseberangan yaitu FBI yang dipimpin Fitzgerald dan sindikat internasional yang dikepalai Antonio. Hal tersebut dikarenakan Roy menyimpan sumber energi baru yang dihasilkan oleh pemuda culun, SImon lewat sebuah eksperimen. Hari-hari June yang tenang pun berubah menjadi mencekam terlebih ia harus mengandalkan Roy untuk selamat sekaligus menuntaskan misinya tersebut.

Nice-to-know:
Dari judul "All New Enemies" menjadi "Trouble Man" dan sempat dipertimbangkan "Wichita", akhirnya tetap dipakai "Knight And Day". Skripnya pun mengalami pergantian sampai 6x!

Cast:
Tom Cruise pertama kali mendapat nominasi Oscar di usia 28 tahun kategori Aktor Utama lewat Born on the Fourth of July (1989). Disini ia kebagian peran Roy Miller, agen rahasia tangkas dan cerdas yang tengah menuntaskan misi terakhirnya.
Sebaliknya Cameron Diaz memperoleh nominasi Golden Globe pertamanya di usia 26 tahun kategori Aktris Utama Drama/Musikal via There's Something About Mary (1998). Kali ini dia didaulat sebagai June Havens yang bertemu "pria" yang salah yang kemudian menyeretnya dalam petualangan penuh aksi.

Director:
James Mangold terakhir menggarap 3:10 To Yuma (2007) dan Knight And Day ini adalah karya layar lebarnya yang ke-8.

Comment:
Cruise yang nampaknya masih mempertimbangkan lanjutan Mission Impossible seperti melakukan test-pack terhadap audiens dengan film ini. Sayangnya penundaan demi penundaan syuting maupun tanggal rilis bahkan hingga saat terakhir membuat banyak orang pesimis. Oke kita bahas dari plotnya dulu yang masih formula lama tentang agen rahasia yang terlibat misi rahasia hingga melibatkan orang biasa. Terdengar biasa? Coba tengok dulu aksi Cruise dan Diaz kali ini yang faktanya melakukan sebagian besar adegan berbahaya sendiri. Keduanya berbagi chemistry dengan baik dan orisinil, tanpa ada kesan palsu ataupun dipaksakan. Cruise yang nyaris dibilang paruh baya masih cukup mahir melakukan aksi demi aksinya. Diaz seperti biasa menampilkan keanekaragaman ekspresi dan bahasa tubuh yang menarik dari seorang wanita "nol" menjadi "seseorang". Belum lagi karakter-karakter pendukung yang secara porsi jauh di bawah kedua superstar itu tapi tetap tidak mengecewakan. Skripnya terbangun dengan rapi disusul dengan eksekusi yang cermat. Sinematografinya cukup menakjubkan dengan lokasi yang bervariasi di berbagai negara. Sutradara Mangold secara gemilang menampilkan sebuah action yang untungnya dibalut unsur komedi sehingga beberapa logika tidak masuk akal dan elemen-elemen yang berlebihan terasa termaafkan. Prolog dan epilog yang tersaji juga sangat entertaining dan witty. Menonton Knight and Day seakan mengendarai mobil dengan mata tertutup dan kecepatan yang konstan, memilih belokan secara acak tanpa tahu apa yang akan kita temui sepanjang perjalanan.

Durasi:
110 menit

U.S. Box Office:
$27,288,528 in opening week end of Jun 2010.

Overall:
8 out of 10

Movie-meter:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent

Friday 25 June 2010

LETTERS TO JULIET : Terlambatkah Kesempatan Kedua Untuk Cinta?

Quotes:
Sophie-I'm sorry, I didn't know love had an expiration date.

Storyline:
Sophie mengikuti tunangannya yang seorang koki handal, Victor untuk melakukan perjalanan ke Verona, Italia. Disana Victor yang sibuk sendiri meninggalkan Sophie untuk membuat sebuah tulisan tentang romantisme Italia yang diinspirasi dari Secretary of Juliet. Disanalah sekelompok wanita paruh baya menulis jawaban atas surat-surat cinta yang dikirim oleh gadis-gadis dari seluruh dunia. Tanpa sengaja, Sophie menemukan surat cinta Claire yang telah tersembunyi selama 50 tahun dan membalasnya. Hal tersebut memicu kedatangan Claire yang sudah berusia lanjut dari Inggris bersama cucunya Charlie untuk mencari Lorenzo nya yang hilang. Petualangan tidak terduga pun dilakoni Sophie yang mungkin mengubah perspektifnya tentang cinta.

Nice-to-know:
Vanessa Redgrave dan Franco Nero merupakan pasangan sesungguhnya di kehidupan nyata.

Cast:
Karir akting Amanda Seyfried dimulai di layar gelas, As The World Turns pada tahun 2000. Kali ini kebagian peran utama Sophie yang secara sementara bergabung Secretary Of Juliet sementara tunangannya, Victor yang dilakoni oleh Gael Garcia Bernal sibuk menghadiri lelang wine.
Pernah mendukung Resident Evil : Extinction (2007), Christopher Egan bermain sebagai Charlie, pemuda Inggris yang menemani neneknya ke Italia.
Sempat memenangi Oscar kategori Aktris Pembantu Terbaik lewat Julia (1977), Vanessa Redgrave berperan sebagai Claire yang mencari cinta pertamanya justru di usia senja.

Director:
Karya penyutradaraannya pertama kali melalui Curfew (1989) dan Letters To Juliet merupakan karya ke-12 bagi Gary Winick.

Comment:
Melihat trailer film ini saya mengharapkan drama romantis yang berkualitas dan setelah menunggu beberapa minggu untuk kemudian menyaksikannya, harapan saya tidak salah. Plot ceritanya tidak jauh-jauh dari cinta dan mungkin bisa anda prediksikan apa yang akan terjadi dari menit ke menitnya. Namun yang membuat berbeda adalah intensitas scene demi scenenya disajikan dengan hangat dan tulus sehingga anda akan sabar menanti dan mengikutinya hingga berakhir. Penjiwaan Seyfried yang kaya ekspresi dan kepribadian sangat menarik. Mata bulat besarnya cukup mewakili kecerdasan dan antusiasme tokoh Sophie yang sebenarnya rapuh dan bimbang. Ia berhasil memimpin karakter lain yang juga tidak kalah mengecewakan. Redgrave memperlihatkan senioritasnya dengan tokoh Claire yang sensitif dan menyenangkan. Bernal juga menggambarkan sosok tunangan yang gila kerja dan sedikit egois. Tidak berbeda dengan Egan yang menerjemahkan tipikal pria Inggris kaku yang mengedepankan logika daripada cinta. Suasana Verona yang indah dengan lanskap bangunan tua di tengah-tengah padang rumput dan perladangan anggur juga sudah menimbulkan romantisme tersendiri. Romantisme yang sebetulnya dibungkus dengan pelukan hangat, gandengan tangan, curi pandang ataupun ciuman yang ditunggu-tunggu ini akan membuat hati audiens berdegup kencang dengan permainan emosi yang tumpah ruah. Letters To Juliet yang segmentasi utamanya wanita tetap membuat saya dan para penonton pria lainnya larut dalam antusiasme hingga durasi berakhir. Still great classic cliche romance movie that probably you've been waiting for!

Durasi:
105 menit

U.S. Box Office:
$46,754,242 till mid Jun 2010.

Overall:
8 out of 10

Movie-meter:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent

Thursday 24 June 2010

LASKAR CILIK : Kekompakan Berawal Dari Perseteruan

Cerita:
Meski sekelas di sekolah yang sama, Marisa dan Dino memiliki kubu masing-masing yang selalu berseberangan hanya karena beberapa persoalan kecil. Masa liburan tiba, Dino dan Edo pulang ke kampung halamannya untuk berkumpul bersama ayah ibunya. Di lain kesempatan, ayah Marisa juga ditugaskan untuk menangani pembangunan rumah di desa Megar dan mengajak istri dan anaknya sekaligus Ella yang juga teman setia Marisa. Sayangnya dalam perjalanan, seteru bisnis ayah Marisa menghadang mobil mereka dan menyandera suami istri tersebut. Marisa berhasil melarikan diri tetapi pingsan di tengah jalan dan diketemukan oleh Pak Kusumo ysng ternyata ayah Dino. Kini mereka harus bekerjasama untuk membebaskan ayah ibu Marisa dari kawanan preman tersebut.

Nice-to-know:
Diproduksi oleh Ganesa Perkasa Films.

Cast:
Arsenna sebagai Dino
Belinda Camesi sebagai Marisa
Cindy Valerie sebagai Ella
Derry Salim sebagai Edo

Director:
Subakti Is kali ini berkolaborasi dengan Shinta Rianasari Sh yang mengerjakan skenarionya.

Comment:
Film anak-anak ketiga pada musim liburan 2010 ini setelah Melodi yang gagal total dan Tanah Air Beta yang mengesankan itu. Lalu dimana posisi Laskar Cilik? Di luar cameo scenenya The Lucky Laki, rasanya tidak ada yang menarik. Plot ceritanya datar saja kalau tidak mau dibilang mengada-ngada. Bayangkan dua bocah berlawanan jenis yang karena hal-hal sangat sepele menciptakan konflik sendiri yang menempatkan teman-teman mereka dalam dua kubu yang saling berseberangan. Herannya dua kubu tersebut masih cukup kompak berkoreografi dan bernyanyi bareng sepanjang film meskipun kecanggungan dan dubbing yang tidak mulus terasa mengganggu mata dan telinga. Dari segi karakterisasi, tokoh Marisa yang pemalas dan manja rasanya tidak akan dapat menarik simpati penonton apalagi sampai peduli pada usahanya menolong ayah dan ibunya? Tokoh Dino meski digambarkan pintar dan baik hati tetapi tidak cukup berkharisma untuk memimpin anak-anak tersebut. Kinerja sutradara Subakti yang di bawah standar juga tidak banyak membantu. Bahkan ia terkesan menguji intelejensi anak-anak yang menjadi segmentasi yang ditujunya. Beberapa pesan moral yang berusaha disampaikannya seperti membuat pe-er sendiri, santun terhadap orangtua, setia kawan terhadap teman dsb entah kenapa menurut saya malah terasa tidak tepat caranya. Alhasil film ini terasa serba tanggung di berbagai lini. Gaya yang digunakan pun masih tergolong jadul seperti tahun 1990an. Come on! It’s 2010 already, make a good smart contemporer kids movie which enjoyable for their parents too.

Durasi:
85 menit

Overall:
6 out of 10

Movie-meter:
6-sampah!
6.5-jelek ah
7-rada parah
7.5-standar aja
8-lumayan nih
8.5-bagus kok
9-luar biasa

Callaway Went Thataway - 1951

“Callaway Went Thataway” (1951), continues our look at old movies as filler for programming on early TV, and on the “Hopalong” Cassidy phenomenon in particular. Not that Hoppy is actually mentioned, in fact the film ends with a careful disclaimer to that effect.

Fred MacMurray and Dorothy McGuire play ad executives who are making money hand over fist with their latest property, the redistribution of old “Smokey Callaway” B-movies to the hungry TV market. Even more, the merchandizing of Smokey Callaway toys, etc. But, the network execs decide this is such a good thing, they want to hire the cowpoke to make some brand new films. The problem is, Callaway is nowhere to be found. Enter a young look-alike, played by Howard Keel.

We are first introduced to the Hoppy, er, that is, Callaway phenomenon, through the montage of small children glued to the TV, watching their hero’s every move. This includes a couple of poker-faced young African-American kids, who, as discussed in this previous post on Herb Jeffries, were given little by either Hollywood or TV in the way of a black hero to emulate. Clearly, we are shown that Callaway appeals to everybody in this democratic republic. It’s a cute shot, that can’t help but ring hollow. Grownups love him, too, including a fawning Natalie Schafer, who plays the wife of the big TV boss. You may remember her as Lovey in “Gilligan’s Island.”

The team of MacMurray and McGuire are now up a creek, because the real Callaway disappeared to a life of dissipation years ago, and the look-alike cowboy they hire to play him wants nothing to do with TV. He is sincere, honest, naïve, and gentle. Howard Keel, with his choir boy haircut and soft speech, is adorable, and it’s kind of amazing to see him later on in the film playing the real Callaway, an obnoxious, womanizing boozer, with the same face, the same clothes, and yet actually appearing different. His voice booms and his face actually looks puffier, his hard, dim eyes glaring with suspicion and resentment.

But, until they find the real Callaway, they must utilize his erstwhile double, and on a coast to coast train trip, McGuire tries to impress upon Mr. Keel how important Smokey Callaway is as a role model to children. Along the way, he falls in love with her, but she is reluctant to submit to his aw-shucks charm.

She and MacMurray have that 1930s screwball comedy rapport with each other, but it’s somewhat forced and we are given to understand there is no romantic involvement between them. She undergoes a conversion when she falls in love with Howard Keel and decides the ad racket has gotten too deceitful for her. Mr. MacMurray never undergoes such a conversion, remaining a likeable, but undependable trickster to the end. MacMurray was so good playing guys on the knife edge of good and bad.

On their coast-to-coast trip we get some rear screen project of Niagara Falls, a lot of train interior shots, which is always lovely, but their stop in San Francisco appears to be really filmed there. There is also a bit at the end filmed at the Los Angeles Coliseum, so we might wonder what kind of build-up this movie had and what expense went into making it.

There are even a few star cameos. Esther Williams and her sons accost Keel in a hotel lobby, and later he meets Elizabeth Taylor and Clark Gable at the Mocambo, both of whom he greets effusively and neither of whom he recognizes.

Mr. Keel, who fairly hero-worships the (he thinks) saintly character he is playing, decides to set up a charitable foundation for children with his salary. But then, the real Smokey shows up like an evil twin, and wants all the moolah and all the swag that the team of MacMurray and McGuire have been generating. There is the inevitable fight scene between the good and evil Smokeys, and because they are wearing the same clothes, we don’t know who is who.

Finally, the real one learns of the charitable foundation set up by his look-alike, and bails out of the whole Smokey Callaway franchise. He doesn’t want any part of it if he can’t keep the money himself. The look-alike gets to keep the job.

Fred MacMurray tosses off a funny line with all seriousness, “What’s the Smokey Callaway Foundation? Have we got a girdle tie-in?”

We end with a rousing appearance at the Coliseum, and Miss McGuire’s 11th-hour commitment to being the sweetheart of a TV cowboy.

Both these films, “Dreamboat” and “Callaway Went Thataway” harken back to the screwball comedies of a previous generation, but they land squarely in the present, using it as surely as any socially conscious dramatic film of that era did to bring reality to the movies. “Callaway” ends with the interesting disclaimer, as much a signpost to the era as the fake signpost it was printed on. (The opening screen titles on a similar signpost remind me of “My Darling Clementine.”)

“This picture was made in the spirit of fun, and was meant in no way to detract from the wholesome influence, civic mindedness and the many charitable contributions of Western idols of our American youth, or to be a portrayal of any of them.”

A case of methinks they doth protest too much?


Actually, Hopalong Cassidy, is the real hero on whom this movie is based. You might remember his showing up Boris Karloff in the 1950 Macy’s Thanksgiving Parade, as discussed in this previous post. From the book “Total Television” by Alex M. Neal (Penguin Books, NY, 1996, 4th edition), we have a few stats on our hero. Hoppy made 66 B-movies from 1935 to 1948. William Boyd, who played Hoppy, cannily acquired the TV rights to his films, and re-edited them to fit 30 and 60-minute timeslots. According to author Mr. Neal, “thus, he was in a position to offer a readily available source of action programming to the rapidly expanding postwar television station market.”

Hopalong Cassidy merchandise on display at the Autry Musuem of the American West, Los Angeles (author photo)

His show ran from 1949 to 1951 on NBC, and then continued in syndication from 1952 to 1954. Hoppy was perfect for the new medium and the black and white sets: he dressed in black, and rode a white horse. Anybody remember Hoppy’s horse’s name?

Wednesday 23 June 2010

HOLLOW MAN 2 : Manusia Tak Terlihat Tebar Teror

Tagline:
There's more to terror than meets the eye...


Storyline:
Kematian misterius ilmuwan Dr. Devin Villiers di Seattle membuat pasangan detektif Frank Turner dan Lisa Martinez ditugaskan melindungi koleganya, Dr. Maggie Dalton. Sayangnya Lisa terbunuh dalam tugasnya dan Frank memaksa Maggie untuk menceritakan semua. Maggiepun mengaku pernah melibatkan tentara veteran yang bernama Michael Griffin dalam eksperimen rahasia menciptakan pasukan yang tidak terdeteksi. Sayangnya percobaan gagal dan akibat radiasi tersebut, Michael dinyatakan meninggal dan sempat dikuburkan. Hingga pada suatu ketika, sesosok tak terlihat selalu mengejar Maggie untuk mendapatkan serum terbarunya. Akankah teror demi teror tak nyata itu dapat dihentikan?


Nice-to-know:
Nama "Michael Griffin" merupakan referensi langsung dari karakter "Griffin" dalam novel "The Invisible Man" karangan H.G. Wells di tahun 1997.


Cast:

Sempat meraih penghargaan MTV Movie Awards lewat Untamed Heart (2003), Christian Slater kebagian peran sebagai Michael Griffin yang nyaris tak terlihat sepanjang film.

Sempat membintangi 9 episode Six Feet Under, Peter Facinelli bermain sebagai Detektif Frank Turner.
Laura Regan mengawali dunia akting lewat Unbreakable (2000) dan kali ini berperan sebagai Dr. Maggie Dalton.


Director:
Claudio Faeh sebelumnya menulis dan menyutradarai Coronado (2003).

Comment:
Dengan bujet rendah, film ini cukup berhasil memaksimalkan spesial efek yang diusungnya walaupun akhirnya tidak mengubah fakta dilempar langsung ke pasaran DVD. Saya menggemari prekuelnya di tahun 2000 saat baru mengakhiri masa sekolah yang menurut saya salah satu sains fiksi underrated yang masih diingat hingga sekarang.
Film ini dibuka dengan kekerasan yang dilakukan manusia-tak-terlihat lantas berpindah pada karakter ilmuwan wanita yang menyembunyikan masa lalu. Kemudian ada detektif pria yang sekuat tenaga berusaha mengendalikan situasi. Itu saja. Lebih simpel dari anda yang tidak pernah mengganti popok bayi sekalipun!
Dari segi cast, Slater yang cukup bernama di periode 1990an sudah melewati masa jayanya bisa menawarkan apa. Ia hanya menjadi "bayangan" disini dan mengisi suaranya saja. Regan juga masih kurang matang sebagai ilmuwan cerdas yang menyimpan semua kunci. Facinelli terlalu terlihat "boyish" sebagai detektif handal. Nothing's special in this department!
Sutradara Faeh menggunakan tone malam hari sepanjang film dan hal ini benar-benar membuat saya mengantuk dan tidak berselera lagi mengikuti jalinan cerita yang ditawarkan. Apalagi adegan aksinya serba tanggung dan dieksekusi dengan buruk pula. Jauh dari apa yang dicapai Paul Verhoeven dalam Hollow Man (2000). Anda yang menyukai permainan kucing-tikus Bacon dan Shue di prekuelnya sebaiknya tidak menyimpan rasa penasaran demi menemukan esensi yang sama dalam Hollow Man 2 ini.

Durasi:
90 menit

Overall:
6 out of 10

Movie-meter:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent

Tuesday 22 June 2010

NOT FOR SALE : Menjual Keperawanan Demi Uang Semata?

Quotes:
Shasi-Kesucian gue hanya gue berikan kepada orang yang bener-bener gue cinta, bukan untuk dijual!!

Cerita:
Di usia 16 tahun, May lari dari rumah karena persoalan keluarga yang dihadapinya. Di sekolah pun ia digosipkan menjual diri oleh teman-temannya dan sempat menolak perhatian tulus dari seorang siswa lugu. Adalah siswi bernama Shasi yang juga mendapat sebutan germo karena sering menjual teman-temannya sendiri dan akhirnya dikeluarkan dari sekolah. Dalam perjalanan May bertemu Shasi dan diperkenankan menumpang di kos temannya, Andhara yang berprofesi sebagai bartender di sebuah bar. May yang masih asing dengan pergaulan malam diajak Shasi dan Andhara juga berkenalan dengan Dessy yang menjadi penari di bar tersebut. Keempatnya menghadapi lika-liku kehidupan metropolitan yang bisa jadi kejam bagi gadis-gadis seusia mereka.

Nice-to-know:
Press conferencenya diadakan di fX pada tanggal 21 Juni yang lalu.

Cast:
Arumi Bachsin sebagai Shasi
Leylarey Lesesne sebagai Dessy
Chindy Anggrina sebagai May
Okkie Callerista sebagai Andhara

Director:
Baru saja menggarap Akibat Pergaulan Bebas yang cukup lama tayang di bioskop-bioskop ibukota itu, Nayato Fio Nuala kali ini bekerjasama dengan Viva Westi yang menulis skenarionya.

Comment:
Not For Sale seakan terbagi dalam dua bagian yaitu di sekolah dan di klub malam! Oke kita bahas dulu bagian sekolahnya. Disini sisi edukasi dari sebuah tempat bernama sekolah serasa terinjak-injak. Bayangkan siswa-siswi berkeliaran dengan baju dikeluarkan dan rambut dicat/ditata semaunya. Berbincang-bincang hanya masalah menjual diri dan cinta monyet dengan Blackberry di tangan masing-masing. Sampai kepala sekolah yang biasanya bijaksana berwibawa digambarkan dangkal dan mata duitan. What the f*? Bagaimana dengan bagian klub malamnya? Disini sisi hiburan dari sebuah tempat bernama diskotik/bar menjadi panggung pertemuan mucikari, lelaki hidung belang, penari telanjang yang seakan hanya peduli transaksi seks atau kesenangan semalam suntuk. Mungkin saja sangat mendekati kenyataan tetapi rasanya tidak perlu ditampilkan dengan gamblang lagi. Dari segi cast, rupanya Arumi dan Leylarey mulai "terbiasa" dengan gaya seorang Nayato. Rasanya mereka tidak perlu skrip lagi, cukup menggunakan baju minim yang mempertontonkan kemolekan tubuh dan berbicara layaknya anak broken home. Endingnya lebih konyol lagi karena memadukan unsur psikopat dan slasher dengan sedikit unsur horor thriller. Sudah cukup nampaknya 14 baris review saya kali ini. Masih tertarik menyaksikannya? Not For Sale.. or be seen!

Durasi:
80 menit

Overall:
6 out of 10

Movie-meter:
6-sampah!
6.5-jelek ah
7-rada parah
7.5-standar aja
8-lumayan nih
8.5-bagus kok
9-luar biasa

Monday 21 June 2010

ZACK AND MIRI MAKE A PORNO : Kecanggungan Dua Sahabat "Bercinta" Dalam Video

Quotes:
Zack Brown-Oh you'll be sorry when I'm giving you the best orgasms of your life.
Miriam Linky-Yeah right. As if you even know what you're doing down there.
Zack Brown-Where's the clitoris again? Is it in your ass?

Storyline:
Zack dan Miri merupakan dua sahabat berlainan jenis yang tinggal bersama dalam satu apartemen. Kehidupan keduanya nyaris serupa yaitu pecundang dalam hal asmara dan pekerjaan yang tidak bisa diandalkan. Sampai pada suatu ketika, listrik dan air di apartemen mereka diputus karena telat membayar. Saat itulah Zack dan Miri memutar otak dan memutuskan untuk merekam video porno. Casting pun dilakukan dan akhirnya terpilihlah Lester, Stacey, Barry dll. Bersama mereka merancang sebuah skrip vulgar yang diyakini akan disukai kalangan remaja cabul. Namun diam-diam tumbuh perasaan aneh antara Zack dan Miri. Akankah video tersebut dapat diselesaikan tanpa konflik?

Nice-to-know:
Awalnya poster film ini memperlihatkan kartun Miri memberikan oral seks pada Zack tetapi dilarang di Amrik. Akhirnya diganti dengan Zack dan Miri yang terpisah menggunakan pakaian lengkap. Lolos dengan rating PG-17 walau ditambahkan simbol D (Dewasa).

Cast:
Elizabeth Banks yang pernah memenangkan Young Hollywood Award kategori Exciting New Face pada tahun 2003 disini bermain sebagai Miriam Linky yang mendambakan cinta dalam hidupya.
Tiga kali dinominasikan MTV Movie Award dalam 5 tahun terakhir, Seth Rogen kali ini berperan sebagai Zack Brown yang bekerja di kedai kopi dan seringkali berpikir seks cepat dengan wanita seksi.

Director:
Kevin Smith ini merupakan salah satu talenta Hollywood yang seringkali memegang banyak jabatan dalam sebuah produksi film termasuk editor, produser, penulis, actor dsb. Penyutradaraannya sendiri diawali lewat Mae Day : The Crumblimg of a Documentary (1992).

Comment:
Sangat jarang sebuah judul bisa merangkum keseluruhan isi sebuah film tetapi film ini melakukannya! Walau terdengar lugas tetapi tujuan penggunaan judulnya sangatlah mengena. Diawali dengan pembukaan pengenalan tokoh Zack Brown dan Miriam Linky yang walaupun chemistry nya terasa aneh tapi keduanya berbaur dengan baik. Rogen yang lugu mesum seperti biasa membawakan karakter yang nyaris mirip dengan sebelum-sebelumnya. Begitupun dengan Banks yang tidak terlihat jauh berbeda dari yang terdahulu. Beruntung mereka konsisten dengan tokoh yang dilakoni masing-masing dan dialog yang tercipta antar keduanya juga cukup tajam. Nikmati Zack and Miri Make A Porno di dvd yang berkualitas gambarnya, jangan mengharapkah versi originalnya apalagi jadwal penayangan di bioskop sebab film ini penuh dengan adegan nudis, simulasi seks, kata-kata vulgar. Terlepas dari semua fakta tersebut, komedi romantis ini teramat sangat jujur dan menghibur, lucu gila sekaligus touching di beberapa bagian. Kutiplah beberapa kata pelesetan seperti Star Wars menjadi Star Whores, lengkap dengan "versi" karakter-karakter di dalamnya. Endingnya mungkin tidak seperti yang anda harapkan tetapi esensinya tetap menghibur. Jangan mematikan begitu saja begitu credit title bergulir, sebab masih ada tambahan foot-notes yang kocak untuk anda.

Durasi:
100 menit

U.S. Box Office:
$31,457,946 till end of January 2009.

Overall:
7 out of 10

Movie-meter:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent

Dreamboat - 1952


This week we have a couple of movies that illustrate that cusp of the television era, just before the so-called Golden Age of TV, when the new medium was searching for fodder to fill up the airways. Old movies filled the gap and made life easier for the network programmers. They were cheap, plentiful, and most had not been seen for a generation.

Today, we have “Dreamboat” (1952), in which Clifton Webb’s former past as a silent screen heartthrob comes back to haunt him. On Thursday, we’ll have a look at the “Hopalong Cassidy” phenomenon (through a generic replica, of course, copyrights being what they are), with “Callaway Went Thataway” (1951).

That these two films came one after the other, and dealing with the same subject matter, is some indication of the enormous impact TV was beginning to have, and how dependent it still was upon old movies to fill up hours of programming. Movies and TV have always been co-dependent. Most of us who are classic film buffs were introduced to these films on television, long before DVDs and video. We would not be film buffs without television. Evidently in the early 1950s, though Hollywood might have panicked about being challenged by television, there was still some sense of humor about their relationship with the new gadget.

“Dreamboat” is a romp, as outrageous a vehicle for Clifton Webb and Ginger Rogers as the campy silent film clips we see of them together in the typical 1920s scenarios: a Zorro-like hero, a World War I ace, a Valentino-like hero, all shown on commercial television, commercials being the operative word. Ginger, now a Hollywood has-been, has a new job hosting these old silent movies and pushing the product, which in this case is perfume.

Clifton Webb is a college professor, intelligent, severe, whose extreme dignity makes him the butt of the campus jokesters. Mr. Webb’s dignity was a tool he used, or was made use of by others, in just about any film he was in. It made him alternately pathetic, heroic, sinister, or just plain foolish. It’s amazing how much mileage he got in his career with a withering glance and a sarcastic reply.

His daughter, played by Anne Francis, who we last saw as a teenager in the last few minutes of “Portrait of Jennie” (1948), is, in attitude, nearly a carbon copy of dad, except there is an added bit of shrewish impatience which threatens to stamp out any likeability in her. But this only helps to set up her eventual conversion.

Both father and daughter set out on a quest, for vindication, and though they don’t yet know it, for conversion to adapting to the big wide world they both disdain. That world, in part, is represented by television, which Miss Francis calls the “idiot’s delight.” She is reluctantly brought to a college party where the gang gathers to watch that program hosted by Ginger Rogers showing those old movies of hers with her former co-star, Clifton Webb. And push perfume during the commercials. One of the perfumes is called “My Five Sins.”

“Five?” Clifton Webb later asks, astonished.

The gang knows this simpering, overacting, sword carrying hero with the overdose of Brilliantine on his hair is their hated college professor, and they throw this revelation in young Miss Francis’ astonished face.

Pop, who tried to hide his former career, is equally abashed, and decides to go to New York where the TV program is produced to demand they take it off the air. Not only his dignity, but his job is on the line. The board is uneasy with an English professor with this kind of unsavory background, which seems to make a mockery of their prestige. Only the college president, played by the wonderful Elsa Lanchester, is willing to give Clifton Webb a break. She is a fan, and makes several awkward and athletic attempts to seduce him.

She asks the age-old question, asked so often in melodramas, “Has it ever occurred to you I’m also a woman?”

Off father and daughter go to New York, where he meets up again with his old co-star, the now much older Ginger Rogers. Miss Rogers sinks her teeth into what must have been a fun role as an over-the-top, manipulative, self-involved, has-been, who clings ferociously to any thread of her former career as a matinee idol.

While Rogers and Webb tangle with network executives, lawyers, and their own uncomfortable partnership, which we are made to understand was never as romantic as it appeared on screen, Webb’s daughter is shown around town, and his apartment, by a network underling, a very handsome and affable Jeffrey Hunter. She begins to experience life outside of museums and lecture halls, and likes it. We know she has become a woman of the world when she takes off her glasses.

Clifton Webb has a fun scene where he gets into a bar fight. Helpless to defend himself, he sees one of his old movies on the TV above the bar which shows him vigorously fighting off a gang of ruffians. So, he watches himself, gets a few pointers, and once again, beats the bad guys. Unfortunately for him, Elsa Lanchester pursues him to New York and he has a tougher time shaking her.

The dramatic climax takes place in court, with our old friend Ray Collins as the attorney defending the TV network in its right to show these old movies. Clifton Webb dismisses his own theatric attorney with my favorite line, “You overdid it. I’m not an unwed mother lost in a snowstorm.”

A TV set is put on the stand so that Mr. Webb may demonstrate to the court that TV is not, as Ray Collins would have us believe, an instrument of education, but rather a haven of idiocy. A couple of commercials are shown, typical of the day, that parody both the disingenuous message of commercials (something which has not changed through the decades), but also frank stupidity of the audience which the makers of these commercial must assume. The hair tonic with “Penetroleum” with ingredients like “cosmotron” may get us to laugh, but compare this with the more subtly sinister commercials in “A Face In the Crowd” (1957). That is a more cynical film, but this one, for all its silliness, is hardly naïve. We may get the feeling we are sliding inexorably toward “A Face in the Crowd”.

Mr. Webb wins his case, proving that the films have been altered to make him look foolish, but loses his college professor job when he spurns the scorned Miss Lanchester. She fires him in retaliation. This was the day when sexual harassment was an accepted mode of employee relations and job security.

Left without a career, Webb is not too downhearted, for as he gloats to the now also out of work Ginger Rogers, that Hollywood has come calling back for him. We see him finally in a clip of a new movie, where his dignity is abused for laughs, and three small children throw food at him. It’s a living.

Come back Thursday for another look at the movies-cum-TV era with “Callaway Went Thataway,” with Dorothy McGuire, Fred MacMurray, and Howard Keel.

Sunday 20 June 2010

RAAVAN : Action Thriller Ramayana Versi Modern

Tagline:
Ten Heads. Ten Minds. A Hundred Voices. One man.

Storyline:
Inspektur polisi, Dev seumur hidupnya mempunyai satu tujuan yaitu membekuk seteru abadinya, Bheera yang selalu menjadi buronan hukum selama bertahun-tahun. Suatu ketika Dev dipindahtugaskan ke Lal Maati, sebuah kota kecil di India Utara. Sayangnya ia tidak tahu disanalah Bheera dianggap kepala suku yang paling berkuasa dan pada satu kesempatan berhasil menculik istri Dev, Ragini yang tengah berperahu. Dev harus memutar otak untuk menaklukkan Bheera sekaligus mendapatkan Ragini kembali meskipun permainan kucing tikus tersebut membuka rahasia masing-masing dari mereka.

Nice-to-know:
Diproduksi oleh Madras Talkies.

Cast:
Abhishek Bachchan sebagai Beera Munda
Aishwarya Rai sebagai Ragini
Chiyaan' Vikram sebagai Dev Pratap Sharma

Director:
Karya-karya Mani Ratnam pernah memenangkan penghargaan di festival film internasional sebelumnya.

Comment:
Nyaris semua orang di Asia sudah mengenal kisah klasik Ramayana yang sudah diterjemahkan ke berbagai versi di seluruh pelosok negara Asia termasuk Indonesia tentunya. Bagaimana Rama berjuang menyelamatkan istrinya Sinta dari tawanan iblis berkepala sepuluh. Kini dongeng tersebut dimodernisasi oleh sutradara handal Ratnam yang bekerjasama dengan editor Sreekar Prasad dan desainer produksi Samir Chandra. Sinematografinya memukau dan konsisten sepanjang film dengan menampilkan lanskap hutan, lembah, jurang, tebing, air terjun, laut dengan paparan langit biru yang terbentang luas, terima kasih pada kinerja Manikandan dan Santosh Sivan yang demikian baiknya. Belum lagi masuknya nama A.R. Rahman sebagai komposer handal untuk musik latarnya. Jika tim produksi sudah solid apakah mudah menciptakan film action yang baik dengan jalinan cerita yang sudah dikenal luas? Tentu saja tidak. Paruh pertama film, gaya penyutradaraannya terasa sangat monoton dan mengganggu, belum lagi karakterisasinya seakan tidak bernyawa samasekali. Di paruh kedua memang meningkat dikarenakan intensitas action semakin memuncak dan penjiwaan ketiga karakter utama semakin terungkap. Melihat deretan cast, Bachchan dan Rai yang aslinya suami istri "tampak" berusaha keras menampilkan chemistry yang baik di luar fakta mereka pihak yang berseberangan disini. Sayangnya sepanjang film, hanya Bachchan yang terlihat sekuat tenaga mengangkat film dengan permainan watak dan aksi yang dilakukannya. Penilaian saya, Raavan terlihat bagus hanya di beberapa bagian tetapi mengecewakan sebagai satu kesatuan. Terlihat antusiasme penonton di awal, termangu-mangu kebingungan di pertengahan dan menjadi tanpa ekspresi di ending, mereka-reka apa yang baru saja mereka saksikan!

Durasi:
130 menit

Overall:
6.5 out of 10

Movie-meter:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent

Saturday 19 June 2010

TOY STORY 3 : Petualangan Penutup Kumpulan Mainan Andy

Quotes:
Andy's Mom-[speaking to someone else] Andy's going to college. Can you believe it?
Andy-Mom, I'm not leaving 'til Friday.
Andy's Mom-What are you going to do with these old toys?

Storyline:
Tahun demi tahun berlalu, Andy sudah berusia 17 tahun dan sebentar lagi masuk perguruan tinggi. Lantas bagaimana nasib mainannya yang selama bertahun-tahun sudah terabaikan? Woddy, Buzz dkk hanya pasrah menunggu nasib, apakah akan ditaruh di gudang, disumbangkan atau bahkan dibuang di tempat sampah. Andy pun memilih Woody untuk dibawa serta ke kampus nan jauh dari rumahnya. Sedangkan yang lainnya ia masukkan dalam kantong sampah untuk disimpan di loteng. Sayangnya insiden terjadi, saat kantong sampah tersebut nyaris terangkut truk sampah untuk dihancurkan! Beruntung tepat pada waktunya mereka menyelamatkan diri dan memilih masuk kotak untuk disumbangkan ke Sunnyside, tempat penampungan anak-anak dari berbagai kelompok umur. Lantas apakah pilihan tersebut tepat? Rintangan apa yang menghadang mereka untuk menentukan pilihan nasib mereka sendiri?

Nice-to-know:
Meskipun Disney dan Pixar sudah berpisah pada tahun 2004-2005, ide untuk meneruskan sekuel Toy Story membuat mereka kembali bekerjasama di tahun 2009 dan sepakat menunda proyek yang sedang mereka kerjakan masing-masing demi berkonsentrasi pada film ini.

Voice:
Tom Hanks sebagai Woody
Tim Allen sebagai Buzz Lightyear
Joan Cusack sebagai Jessie
Ned Beatty sebagai Lotso
Don Rickles sebagai Mr. Potato Head
Michael Keaton sebagai Ken
Wallace Shawn sebagai Rex
John Ratzenberger sebagai Hamm
Estelle Harris sebagai Mrs. Potato Head
John Morris sebagai Andy
Jodi Benson sebagai Barbie
Emily Hahn sebagai Bonnie
Laurie Metcalf sebagai Andy's Mom
Blake Clark sebagai Slinky Dog

Director:
Setelah menjadi asisten sutradara bagi Toy Story 2, Monsters, Inc. dan Finding Nemo, Lee Unkrich dipercaya untuk "naik tahta" dalam penutup trilogi Toy Story ini.

Comment:
Masih terbayang dalam ingatan saat masih berusia belasan tahun, saya disuguhkan pionernya animasi kreatif Toy Story 1-2 yang berkualitas baik. Lantas 10 tahun setelah sekuel terakhirnya, begitu banyak perubahan yang terjadi di dunia animasi. Bagaimana Toy Story 3 menjawab tantangan tersebut? Pertama, franchise film ini terkenal dari plot ceritanya yang sangat dekat dengan kehidupan anak-anak di dunia nyata. Dan hal tersebut dipertahankan disini dengan timeline yang juga real, Andy meninggalkan masa kanak-kanaknya dan beranjak remaja. Tentunya perubahan nasib juga dialami para mainannya. Kedua, semua tokoh yang demikian beragam bentuk dan sifatnya dapat dibagi sama rata dan konsisten. Dan dengan tambahan tokoh-tokoh baru yang tidak kalah menarik disini, karakterisasinya menjadi berkembang maksimal. Ketiga, gambar animasi yang ditawarkan sangat eye-catchy dengan konsep dua dimensi yang sederhana. Dan disini transisi ke konsep 3D merupakan nilai plus tersendiri meskipun tidak terlalu dominan. Sudah cukupkah ketiga elemen dasar animasi yang baik tersebut melebur dalam Toy Story 3? Nyatanya belum. Di luar dugaan, storyline melebar dengan memperlihatkan situasi dan kondisi Sunnyside yang bisa dikatakan rumah sekaligus penjaranya mainan-mainan terbuang. Bagaimana persahabatan sejati dapat menanggulangi semua hambatan yang ada untuk tetap menjaga persatuan diuji dengan berat disini. Kesempurnaan intonasi Hanks dan Allen dalam menyuarakan Woody dan Buzz juga memuncak disini sehingga leading character keduanya terasa istimewa dalam memimpin rekan-rekan lainnya. Humor cerdas yang disisipkan di sana-sini sama sekali tidak mengganggu, bahkan memperkuat jalinan aksi petualangan yang intensif. Kreatifitas yang dirancang Unkrich membuatnya layak disebut maestro film yang dulunya dibesarkan John Lasseter ini. Endingnya ditutup dengan luar biasa brilian sehingga penonton tidak merasakan durasinya berakhir samasekali. Ada dua momen menjelang epilog yang akan meluluh-lantakkan emosi anda. Satu mengenai teori "holding on together" dan kedua tentang "farewell" yang seringkali tidak terelakkan atas alasan apapun jua. Tonton sendiri untuk mengetahuinya secara detail dan jangan gengsi untuk menyeka mata anda yang basah, sebab audiens juga akan melakukan hal yang sama! Inilah animasi perfecto timeless yang tidak akan terlepas dari ingatan dalam waktu yang teramat sangat panjang tidak peduli berapapun usia anda, anak-anak maupun orang dewasa. Penutup megah dari suatu trilogi animasi yang tidak akan tergantikan oleh apapun sampai kapanpun juga. Bisa dipastikan memenangkan Best Animated Movie pada ajang Academy Awards 2011. Percaya?

Durasi:
100 menit

U.S. Box Office:
$41,000,000 in opening week mid Jun 2010.

Overall:
8.5 out of 10

Movie-meter:
Art can’t be below 6
6-poor
6.5-poor but still watchable
7-average
7.5-average n enjoyable
8-good
8.5-very good
9-excellent